Bangsa yang (Terus) Membayangkan

Agung Y. Achmad, Wartawan.
 

SEBAGAI bangsa, Indonesia masih berusia muda, terutama bila dibanding negara-negara besar di dunia dalam merumuskan, membangun, dan menjalani kontrak sosial secara kolektif, hal yang sering disebut sebagai negara bangsa (nation state), pada beberapa abad silam. Hingga awal abad ke-20, Indonesia-negeri kepulauan yang panjangnya setara dengan jarak London dan Teheran dengan potensi aneka ragam budaya, ras, suku, dan agama di dalamnya-masih berupa negara bangsa yang dibayangkan.

Keragaman tersebut, ternyata, bukan faktor penyebab penting, apalagi satu-satunya, kenapa negara ini pernah terbelah-belah dan lemah. Pendidikan modern dan pengalaman sebagai negeri terjajah selama tiga abadlah yang, antara lain, mengantarkan kaum terpelajar-aktivis organisasi sipil memasuki kesadaran baru untuk “menjadi Indonesia “-meminjam istilah Erich Fromm.

Tanpa bingkai pemikiran ini, serasa absurd ketika kita membaca peristiwa bersejarah Kongres Pemuda di Waltevreden (kini Jakarta), 82 tahun silam. Momentum itu melahirkan deklarasi yang sangat terkenal, yakni: Pertama, Kami Poetra dan Poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, Tanah Air Indonesia; Kedua, Kami Poetra dan Poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia; Ketiga, Kami Poetra dan Poetri Indonesia menjoenjoeng tinggi bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Ini kisah lama. Tapi, elan vital Sumpah Pemuda sebagai momentum “kebangsaan” dan peristiwa bahasa penting terasa relevan ketika Indonesia yang tak lagi imajinatif ini seperti tak memiliki catatan progresif sebagai negara bangsa. Mungkin benar, sebagian besar masyarakat kita belum sampai ke pemahaman paripurna tentang nation state. Penyebabnya jamak, seperti kebodohan atau fanatisme terhadap doktrin tertentu.
Maka, berbagai konflik sosial yang dilatarbelakangi perbedaan agama atau keyakinan tertentu di lapis bawah seperti terjadi akhir-akhir ini senantiasa bersifat potensial. Hal itu setara dengan yang terjadi di level elite, yakni tindak korupsi secara gila-gilaan dan kebijakan eksplorasi sumber daya alam yang merugikan Indonesia, baik secara lingkungan maupun sosial-budaya-ekonomi. Yang terakhir ini, mengingat kaum elite pada umumnya terpelajar, merupakan manifestasi paling mengerikan tentang stagnasi wacana “menjadi Indonesia” dalam tatanan negara bangsa.
Tak sekadar menjadi momentum bagi cikal bakal kelahiran lingua franca, Sumpah Pemuda adalah sebuah tanda zaman, yakni tetenger yang menandai era pembelajaran paling dini masyarakat heterogen di negeri ini untuk menjadi sebuah bangsa. Momentum tersebut bisa kita sebut sebagai katalisator ke arah pembentukan negara bangsa. Peranan bahasa ibu dalam konteks itu, apalagi sejak ditetapkan sebagai bahasa negara, menjadi sepenting gagasan nation state itu sendiri.

Dan, inilah perkembangan paling positif dari proses “menjadi Indonesia”, karena konsep negara bangsa dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditulis dalam bahasa Indonesia. Itulah kenapa, bisa jadi, upaya-upaya ideologisasi tentang konsep negara yang disertai pemunculan nomenklatur baru yang bertentangan dengan konstitusi yang sah akan dianggap sebagai bukan Indonesia.

Peristiwa Proklamasi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 7 Agustus 1949 mungkin merupakan contoh paling menarik dalam hal ini. Kata “darul”, sebagaimana “qonun asasi” (konstitusi DI), tidak dikenal dalam nomenklatur Indonesia. Mereka beranggapan bahwa upaya pendirian Negara Islam Indonesia (NII) adalah tindakan legal lantaran Indonesia sebagai negara pada waktu itu telah bangkrut-akibat dipecah-pecah Belanda menjadi Republik Indonesia Serikat.
Kecenderungan orientasi komunitas pengikut NII terhadap konsep ummah dan mengingkari keniscayaan Indonesia menjadi sebuah negara bangsa sudah tumbuh pada masa penjajahan Belanda. Mereka selalu menghadapkan secara keras realitas sosial politik yang heterogen kepada ideologi Islam. Di era pascakemerdekaan, dalam catatan Taufik Abdullah (1987), pandangan itu melahirkan sikap fundamentalitik, yakni mengharuskan kemutlakan dalam pelaksanaan syariah Islam secara utuh dan total serta mengingkari secara total pula keabsahan kekuasaan yang dianggap tidak berlandaskan hukum dan ajaran Islam.
Penolakan untuk “menjadi Indonesia” semacam itu, belakangan, tampak pada gerakan Republik Maluku Selatan, Gerakan Papua Merdeka, atau Gerakan Aceh Merdeka, sekadar menyebut beberapa. Pembacaan yang gagal dalam melihat Indonesia seperti itu setara dengan cara berpikir para koruptor.

Peristiwa bahasa dalam konteks politik, dan beberapa contoh manifestasi pemahaman yang pincang tentang negara-bangsa, adalah refleksi dari sikap heterodoks dan ahistoris sebagian masyarakat terhadap arus besar “menjadi Indonesia”. Kita bisa menganggap catatan-catatan sejarah tersebut sebagai tanda zaman, yakni tetenger bahwa proses menuju pemahaman negara bangsa belum selesai.

Majalah Tempo, 18 Okt 2010

Sumpah

Agung Y. Achmad: Wartawan. SELALU ada sumpah di sepanjang peradaban manusia. Sejarah mencatat sumpah palapa Gajah Mada, atau sumpah Napoleon Bonaparte, sekadar menyebut beberapa, yang mengawali cita-cita besar dalam membangun suatu negeri. Sumpah memang sering berkaitan dengan nilai-nilai kepahlawanan, seperti ditulis di banyak legenda, semisal kisah Bisma dalam dunia pewayangan yang berikrar tidak menikah seumur hidup. Ucapan Mbah Maridjan (almarhum), “Nek aku mudhun diguyu pitik-jika saya turun akan ditertawai ayam,” (Suara Merdeka, 28 Oktober 2010) bisa dikatakan sebagai refleksi sumpah seorang juru kunci.

Kisah percintaan anak manusia sering menghasilkan banyak sumpah, contohnya: “Sumpah, kau cinta matiku.” Ijab kabul pada dasarnya juga merupakan sebuah persumpahan. Kata sumpah sering digunakan untuk menguji suatu kesungguhan, seperti: “Sumpeh, lo?” Dalam situasi ketika ada dua pihak yang sama-sama merasa benar atas suatu persoalan, sebagian masyarakat kita sesekali menempuh cara ekstrem, yakni sumpah pocong, atau muhabalah.
Tak sama dengan nazar, yakni janji kepada diri sendiri hendak berbuat sesuatu jika harapan tertentu tercapai, sumpah selalu diucapkan di depan banyak orang atau saksi. Bahkan saksi di pengadilan pun harus disumpah. Sumpah, karena itu, merupakan peristiwa bahasa, yang melibatkan ingatan publik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan sumpah sebagai pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap suci; janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu). Kesakralan itulah yang selama ini dihadirkan di setiap seremoni pengambilan sumpah jabatan para elite negara atau petinggi pemerintah. Ada juga kitab suci dan teks-teks sakral di sana. Pihak yang berwenang-sebelumnya mereka telah bersumpah-memimpin upacara tersebut menjadi bagian dari konsep upacara yang mengesankan suasana takzim dan berwibawa. Tujuannya agar orang-orang yang petah berkata: “Demi Allah, saya bersumpah…,” senantiasa menghayati apa-apa yang mereka ucapkan.
Pembacaan teks sumpah perlu dipublikasikan agar saksi (rakyat) mengetahui taraf kesadaran seorang calon pejabat atau pemimpin pada saat menerima amanah. Sebab, sumpah adalah pernyataan kesanggupan (seseorang) menerima penderitaan alias hukuman bila ia melanggar sumpahnya; pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar (KBBI). Mungkin, dari sisi itu tindakan Mbah Maridjan bisa dimengerti.

Dalam sistem demokrasi, daulat rakyat atau suara Tuhan adalah alasan utama kenapa negara dipahami sebagai sesuatu yang sakral. Karena itu, tidaklah istimewa bila seorang pejabat negara menjalankan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Negara, selanjutnya, memberikan berbagai fasilitas yang cukup memadai kepada si pejabat itu agar, antara lain, tidak menyalahgunakan wewenangnya-sumpahnya-untuk kepentingan di luar urusan negara. Demikian aturan yang berlaku di negeri ini, juga di mana pun.
Maka berhati-hatilah terhadap sumpah-sekecil apa pun sumpah itu. Sebab, sumpah juga bermakna negatif, yakni kata-kata yang buruk (makian); kutuk; tulah (KBBI). Orang yang tega mengutuk pihak lain biasanya lantaran ia diperlakukan secara tidak adil alias dizalimi berkali-kali.
Dus, apa yang bisa kita katakan bila di negeri yang amat kaya potensi sumber daya alam ini jumlah rakyat miskin tetap saja tinggi? Publik mafhum, selama ini banyak kebijakan strategis ekonomi-bisnis di tingkat negara dan pemerintahan yang diperebutkan para elite. Bahasa politik elite, untuk tidak langsung menyebut korupsi, seperti itu telah diterima para politikus di negeri ini.
Artinya, telah terjadi banyak pelanggaran sumpah jabatan dalam penyelenggaraan negara selama ini. Selain menunjukkan problem mentalitas yang krusial, fenomena tersebut merupakan refleksi dari kualitas berbahasa yang buruk para elite. Mereka lupa bahwa sumpah memiliki makna ganda ibarat dua sisi pada sekeping uang. Bila makna di sisi yang pertama (positif) gagal dikukuhkan, sumpah-secara moral-berpotensi membentuk substansi arti di sisi yang lain (negatif).

Rakyat, bila dalam kondisi lapar selalu menyaksikan manifestasi sumpah palsu para elite, bahkan ketika mereka (masyarakat Kepulauan Mentawai) tertimpa musibah, alih-alih segera mendapatkan bantuan, malah menerima kiriman “pantun” Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie: “Kalau takut kena ombak, jangan tinggal di tepi pantai,” bisa saja balik menyumpah-nyumpah pemimpin di negeri ini lantaran merasa dikibuli. Rakyat menjadi kaum mustadafin. Sumpah (doa) kaum tertindas diyakini umat manusia di muka bumi dari generasi ke generasi selalu mendapat respons prioritas Tuhan-saksi hakiki segala sumpah.

Bila Anda kebetulan seorang pejabat negara, percayakah Anda terhadap dampak sumpah (negatif) rakyat di atas? Bila tidak yakin, kini, Anda berani bersumpah untuk itu?

Majalah Tempo, 20 Des 2010.

Sekali Lagi, Partai Politik Mati!

Total Read 111Total Comment9, 2 dari 3 Kompasianer menilai Aktual.

David Efendi

“Ketika Pemerintah Baru Terbentuk, Partai Politik berakhir”
(When the new ruler begins, The political Party ends)
(Dekpendi 2010)


Bagi politicolog, Riswandha Imawan (2004)* hambatan terbesar bagi partai politik di Indonesia untuk segera menemukan jati dirinya disebabkan oleh dua hal. Pertama, partai-partai di Indonesia bingung dengan kodratnya. Kedua, kesalahan kita mempersepsikan gerakan Reformasi 1998. Padahal sejatinya gerakan Reformasi 1998 telah menyediakan ruang bagi partai politik untuk bisa memainkan peran penting membangun struktur dan mekanisme baru dibidang politik menuju ke kehidupan yang lebih demokratis. Komitmen politik untuk melakukan perubahan secara normatif sudah diwujudkan kedalam bentuk perubahan sistem pemilihan umum maupun rekonstruksi struktur lembaga negara melalui UU bidang politik, yakni UU no. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik, UU no. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Annggota DPR, DPD dan DPRD, UU no. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, serta UU no. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi sejauh ini partai politik tidak mampu memanfaatkan momentum emas yang tersedia. Partai politik pun tidak bisa memberikan warna kepada rejim yang berkuasa. Partai politik justeru dikendalikan oleh rejim masuk kedalam format demokrasi yang diimajinasikan oleh rejim itu sendiri. Ini sebuah kesalahan yang sangat mendasar, sebab bila dikembalikan ke jati dirinya, partai politik sebenarnya merupakan aktor pembentuk rejim dan format politik disatu negara (Beck and Sorauf, 1992:478-480; Montero and Gunther, 2002: 5-6).

Sudah menjadi pembicaraan umum dari belahan bumi mana saja sampai di warung kopi di kampung-kampung pelosok ketika mengobrolkan jagat politik Republik ‘Maling’ Indonesia akan menyimpulkan bahwa partai politik mati setelah usai pemilu.Orang awam pun yakin dengan penuh seluruh bahwa partai politik hidup menjelang pemilu diselenggarakan dan dengan berbagai bentuk tipu daya mereka berbaik-baik pada rakyat, menyatakan janji setia, meneken kontrak sosial atau politik sampai juga kontrak dengan bangsa bukan manusia lewat berbagai ritual mistiknya. Ada pula yang sampai berdoa di depan ka’bah, ada yang minta doa di kuburan dan kuburan wali dan seterusnya. Mereka menyibukkan diri dengan nadzar politik masing-masing.
Ketika pemilu usai, jika gagal akan ‘gila’, jika berhasil bertambah pula ke-’gila’-anya. Jadi istilahnya, menang jadi arang kalah jadi abu toh dua-duanya akan lenyap di makan waktu. Tapi sebagaimana banyak pengamat menyatakan, bahwa demokrasi di negeri ini ppenuh kepalsuan, penuh tipu daya yang membayakan kemanusiaan lantaran politisi minus ideologi, partai politik sekedar jargon ber-ideologi tapi praktiknya selalu anti-ideologi. Ideologi hanya simbul kepalsuan agar terkesan sebagai pembala agama tuhan, atau pembela rakyat miskin dan tertindas. Kata rakyat yang menjebak nalar lantaran rakyat sekedar jadi komuditas. Berbagai kelompok masyarakat kini mulai tidak percaya pada proses politik setelah reformasi 10 tahun belum ada tanda-tanda membaiknya hidup bahkan makin berat melilit.

Prof.Riswandha Imawan, guru besar ilmu politik pernah memberikan pemikiran dalam ceramah ilmiahnya tahun 2004 yang lalu. Bahwa partai politik gagal memanfaatkan momen reformasi untuk memperbaiki diri keluar dari ketiak penguasa tapi malah terjadi sebaliknya partai politik justru mencangkokkan dirinya dalam gelimang kekuasaan sehingga tidak ada kemandirian, tidak ada oposisi, selain hanya basa-basi politik. Koalisi adalah simbul pragmatisme yang jauh dari nalar membangun bangsa secara lebih serius dan bertanggung jawab. Koalisi macam sekarang sekedar dalam rangkah mengabdi pada kekuasaan bukan pada bangsa atau rakyat. Beliau juga menyinggung fungsi partai yang paling mendasar ppun tidak dilakukan olah partai secara konsekuen apalagi fungsi inovasi yang menjadikan demokrasi makin bersinar dan segar. Ini yang membuat Wakil Presiden Mohammad Hatta kecewa dan mengungkapkan bahwa “Parties… have been made into an end in themselves, the state being their tool … the standing of the government has become that of a messenger boy of the political parties” (Feith, 1962: 511).

Sementara, sebagai basis pengetahuan kita, bahwa partai politik berdasarkan political scientist Partai politik setidaknya atau minimal harus menjalankan empat fungsi: parties structure the popular vote; integrate and mobilize the mass of the citizenry; aggregate diverse interests; recruit leaders for public office; and formulate public policy (Mair, 1990:1) atau mengikuti Hague, Harrop, Breslin (1998:131) yang memformulasikan  fungsi partai sebagai: agents of elite recruitment, agents of interest aggregation; serve as a point of reference; and offers direction to government.

Fenomena pilkada, pemilukada dan pilpres-pileg justru yang terjadi sebaliknya, kegiatan politik semakin mengkerdilkan partai dan membesarkan pperan individu yang ditopang oleh kekuatan kapital sehingga wajar saja kalau hampir semua pemilu menelan biaya besar dari APBN, miliaran bahkan trilyun rupiah amblas untuk pemilu yang ujung-ujungnya sudah bisa ditebak bahwa pemenang adalah pemilik kapital. Dalam demokrasi-kapitalis ideologi musnah, kejujuran sirna, dan orang baik cukup menjadi simbol kekalahan yang pahit. Dalam demokrasi yang liberal yang menganut kedaulatan uang, suara rakyat dibajak dan tetap dilabeli sebagai suara tuhan. Tapi tuhan ini sudah berubah dari tuhan yang tidak nyata menjadi nyata yaitu keuangan yang maha esa!
Masih berdasarkan pemikiran Riswanda Imawan, karena fungsi partai yang fital tersebut tentu harus diperkuat dengan karakter partai dan politisi dengan menjadikan ideologi yang hilang kembali dijadikan pegangan (bringing the ideology back in) dalam rangka menjalankan fungsi tersebut secara baik dan benar serta bertanggung jawab. Tidak ada elemen lain yang akan menjalankan fungsi tersebut sampai demokrasi qiamat selaian partai politik itu sendiri sebagai pilar demokrasi yang sementara ini diyakini banyak bangsa di dunia sebagai salah satu sistem terbaik dari yang terburuk yang berpeluang membawa kesejahteraan bagi semua rakyatnya.

Seperti ilustrasi gambar diatas. Partai politik seperti tong kosong tanpa jiwa tanpa ruh dan tanpa kekuatan yang bisa melindungi rakyatnya, melindungi pemilihnya bahkan tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari pragmatisme, oportunisme dan perbudakan atas dirinya oleh kuasa kapital. Jika Partai sudah mati, demokrasi juga sudah menjadi mayat! Innalillahi wainna ilaihi rojiun.

Honolulu, Oct 2010

)* Prof.Dr. Riswandha Imawan, M.A, dalam pidato pengukuhan guru besar Ilmu Politik tahun 2004 dengan judul: “Partai Politik di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri”

Album BersamaTragedi Kekuasaan Pak Beye

Disusun Oleh David Efendi

Judul awalnya tulisan ini, “Satoe Tahun dibawah Kekuasaan “Orde Cikeas”, lalu diubah jadi ” Setahun Tragedi Kekuasaan Pak Susi” kurang mantab lalu begitulah… Hal ini didorong oleh ‘keinginan luhur untuk merangkum berbagai pendapat baik yang pembela pak beye atau pembela rakyat. Jika ada yang belum lengkap silakan dilengkapi dan jangan lupa diposting lagi di kompasiana. Berikut saya rangkumkan refleksi dari berbagai perspektif mengenai jalan mundurnya pemerintahan Pak Beye yang melanggar konstitusi UUD 1945 terutama pasal 33. Inilah pandangan-pandangan sebagain anak bangsa silakan dinilai kejujurannya. (maaf saya tidak sampai hati menyampaikan keberhasilan pak beye karena hal tersebut akan dilaporkan oleh para jubir, pembela pak Beye baik dengan kebohongan atau secara membabi buta. Ini mungkin lebih tulus tanpa tendensi ingin berkuasa.
“Setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono diharapkan membawa perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setahun lalu masyarakat begitu yakin bahwa pasangan pemimpin ini akan membawa suasana yang lebih baik. Kenyataannya, situasi sosial ekonomi tidak lebih baik. Terorisme, kekerasan umat beragama, keamanan warga yang rendah, sampai tingkah laku elite yang semakin hari semakin membuat gerah. Situasi perekonomian juga dapat dikatakan tidak mengalami perubahan membaik. Ini semua yang membuat rakyat semakin apatis terhadap kemampuan yang dimiliki jajaran pemerintahan kali ini.” (Benny Susetyo, Sekretaris Dewan Nasional Setara)

“Ketimpangan sosial di negeri ini sangat tinggi. Paling tidak, hal ini tecermin dari perkiraan kasar Kepala BPN Joyo Winoto bahwa 56 persen aset negeri ini hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk (Dikutip oleh Prof. Dr. Kacung Marijan, Kompas, 4 Oktober 2010).
“Empat angka merah itu diberikan untuk kinerja SBY menyangkut hubungan internasional, kinerja ekonomi, kinerja hukum, dan kinerja politik. Agustinus Budi Prasetyohadi, Direktur Strategi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyatakan bahwa nilai paling buruk SBY ada pada kinerja hubungan internasional. Hal ini terlihat dari buruknya penanganan hubungan Indonesia-Malaysia.”Konflik Indo-Malay yang buat tidak puas. Misalnya masalah tukar nelayan, penyiksaan TKI, dan sebagainya. Pemerintah dianggap lemah terhadap Malaysia yang lebih kecil,” (Kompas.com)

“Negara yang korup dan manipulatif terhadap nilai-nilai cenderung mendidik masyarakat bermental instan, egoistis, dan materialistis. Masyarakat pun menganggap nilai yang benar adalah nilai yang menguntungkan dalam jangka pendek.Sikap pragmatis itu mendorong masyarakat meyakini kekerasan sebagai pilihan untuk menyelesaikan persoalan. Masyarakat berderap-derap melakukan demi bertahan hidup.Negara kehilangan martabat karena mangkir dalam berbagai persoalan publik. Negara telah kehilangan watak solider dan menjadi soliter (terasing dan menyendiri) karena kuasa kapital.” (INDRA TRANGGONO, Pemerhati Budaya dan Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa; Tinggal di Yogyakarta)


“Tingkat kemiskinan versi Badan Pusat Statistik yang relatif masih tinggi, 31 juta orang di bawah garis kemiskinan, merupakan salah satu tolok ukur luasnya kondisi rawan pangan di Indonesia. Bahkan, pada kasus yang ekstrem, tingkat kemiskinan Provinsi Papua mendekati 40 persen. Hampir separuh dari rakyat provinsi ini miskin meski sudah dikucurkan dana Otonomi Khusus tidak kurang dari Rp 29 triliun. Namun, tingkat kemiskinan yang sebenarnya jauh lebih luas. Kementerian Kesehatan yang mengukur dengan cara lain menemukan, tidak kurang dari 76 juta orang masuk kategori miskin, rawan kesehatan, dan rawan pangan.” (Didik J Rachbini, ekonom)

“Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida menyatakan bahwa dalam evaluasi kinerja pemerintahan SBY dan Boediono selama satu tahun ini di bidang pemberantasan korupsi justru lebih parah ketimbang rezim Soeharto”Soeharto kita benci karena diktator dan korupsinya, tapi sekarang di era SBY kita sedang membiarkan korupsi dalam skala besar di berbagai belahan Indonesia,”. (kompas.com)
“…Presiden sibuk meningkatkan citra politiknya dengan berbagai cara, termasuk merekam dan menyebarluaskan lagu-lagu ciptaannya. Politisi ribut soal perebutan kursi di kabinet, pimpinan DPR RI dan Komisi III DPR RI berebut dekat dengan calon Kapolri. Kekuasaan seakan tak ada kaitannya dengan nasib rakyat, kesejahteraan rakyat, dan rasa aman masyarakat.Penyelenggaraan negara juga berjalan apa adanya, seolah tidak ada persoalan kritis yang perlu ditangani. (Ikrar Nusa Bakti, LIPI)
“Di samping perubahan-perubahan menggembirakan, terlihat juga perubahan yang menunjukkan kemunduran. Paling mendasar dari gejala ini adalah bertambah besarnya jumlah anak-anak miskin yang tidak mampu bersekolah. Persentase penduduk miskin masih sangat tinggi dan karena itu persentase siswa-siswa yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya—karena kemiskinan—juga sangat tinggi. Jumlah sekolah telantar dan memprihatinkan masih banyak di sejumlah daerah dan tidak ada tanda-tanda pemerintah turun tangan.” (Mochtar Buchori, Kabinet dan Pendidikan.)
“Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia menilai pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono - Wapres Boediono gagal total setelah enam tahun memimpin. Penilaian itu didasarkan atas kajian terhadap enam sektor yaitu hukum, kesehatan, ekonomi, pangan, energi, dan pendidikan.Di bidang kesehatan, mahasiswa menilai jaminan kesehatan masyarakat gagal diimplementasikan. Di bidang pendidikan, terjadi komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Di bidang lingkungan, kerusakan lingkungan merajalela sehingga memicu bencana.” (Kompas.com)

“Jika Presiden Cile rela begadang tiga hari tiga malam menunggui penyelamatan para petambang, Presiden Yudhoyono hanya berkunjung selama tiga jam di Wasior! Presiden dan para orang dekatnya juga seakan meremehkan bencana Wasior dengan menyalahkan ”hujan” sebagai penyebab bencana dan bukan pembalakan liar, dan mengecilkan jumlah korban dibandingkan dengan bencana tsunami di Aceh, 24 Desember 2004. Tanpa sadar, para petinggi negara ini telah melakukan diskriminasi rasial!( Ikrar Nusa bakti, Sebelum Prahara).
“Batal ke Belanda, Pak Beye ikut menonton pertandingan PSSI melawan Uruguay di Stadion Senayan (8/10). Padahal, 4 Oktober pagi terjadi banjir bandang di Wasior, Papua Barat. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton bergegas mengirimkan surat ikut berdukacita kepada Presiden pada 6 Oktober. Sampai saat itu, Pak Beye belum memberikan pernyataan langsung terkait bencana Wasior. Semoga ironi atau tragedi pencitraan tidak terus berlanjut ke tahun kedua. Salah-salah, rakyat makin rindu pada sosok semacam SBP: Sebastian bin Pinera, yang pencitraannya dekat dan tulus kepada rakyat.” (EFFENDI GAZALI, Satu Tahun Tragedi Pencitraan)
“Dalam hal perlindungan pada produksi dalam negeri, pemerintah perlu memberikan perhatian pada ekonomi domestik. Sekarang ini, impor kita murah sehingga mematikan produk dalam negeri. Kalau impor mahal, orang pasti akan beli barang produksi dalam negeri,” (Aviliani)

“…angka kematian ibu masih bertengger pada 228 per 100.000 kelahiran hidup (2007), masih jauh dari target 102 tahun 2015. Angka itu setara dengan tiga pesawat jumbo yang penuh ibu hamil jatuh dan membunuh semua penumpang tiap bulan.Sayang sekali, kematian para ibu tersebut masih dinilai sebagai kematian biasa, tidak ada berita dan upaya besar yang dilakukan. Program jaminan biaya persalinan semua penduduk tahun depan sangat bagus. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kecukupan dan ketidakbocoran dana. (Hasbullah Thabrany, Pembenahan Strategis Belum Tampak)
Menurut World Food Programme (Program Pangan Dunia) 2010, indeks kelaparan global Indonesia masuk kategori serius. 

“Sekitar 14,7 juta orang kurang gizi dan prevalensi anemia pada anak dan perempuan tinggi. Dari 245 juta penduduk, 35 juta orang berpendapatan kurang dari 65 sen dollar AS atau Rp 6.000 sehari dan 127 juta orang kurang dari 2 dollar AS, setara dengan subsidi sapi di Eropa. (Rachmat Pambudy, Hak dan Kewajiban atas Pangan)
“Sebagai seorang kepala negara berlatar militer, SBY diharapkan mengirimkan pesan tegas, sedikit menyentil arogansi Pemerintah Malaysia, dan meningkatkan harga diri bangsa. Namun, harapan itu tak kesampaian.SBY seharusnya bisa menangkap pesan penting dari serangkaian protes rakyat, baik berupa demonstrasi di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, inisiatif warga membentuk kelompok anti-Malaysia, maupun—barangkali—ratapan veteran pejuang yang merasa dipecundangi dengan isi pidato yang tak mencerminkan semangat nasionalisme pejuang.” (Kurniawati Hastuti Dewi, LIPI)

“Harian Kompas menurunkan dua berita yang penting, di bawah judul ”Negara Seakan Tak Hadir” dengan mengutip pendapat Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, bahwa ada jarak yang kian lebar antara komitmen politik dan pilihan tindakan kekuasaan (negara) dalam pengurusan kehidupan publik.Rakyat berada dalam situasi batas menakutkan dengan ketidakpastian perlindungan sosial, politik, dan ekonomi memadai dari negara. Selama sebulan terakhir kesaksian kritis ini mendapatkan pembenaran yang tidak terelakkan.” (Max Regus, Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI; Direktur Parrhesia Institute Jakarta)
”Di Indonesia hukuman untuk Koruptor terlalu ringan. Di China, koruptor bisa dihukum mati dan masyarakat senang terhadap proses itu. Karena itu, jika tak ada ketegasan sikap seperti ini, tak ada kata jera bagi koruptor” ( Mahfud MD, Ketua MK).
Catatan: mengingat sifat penakutnya Pak Beyemenghadapi Belanda sebagai tamu, kutipan ini penting diturunkan disini melengkapi rekam jejak sang peragu ini:
“…saya pikir Presiden SBY segeralah berangkat mengunjungi negeri Belanda. Ratu Beatrix menunggunya. Sebelum abdikasi menyerahkan takhta kepada putra mahkota Alexander, Ratu Beatrix ingin menyambut kunjungan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tugasnya terakhir demi hubungan baik Belanda-Indonesia.( Rosihan Anwar, Jurnalis lima zaman)
Mengingat banyaknya kebijakan Negara yang memiskinkan rakyat dan mematikan juga kekerasan komunal kedzaliman FPI dan preman berjubahkutipan ini penting membuka kesadaran kita: “Izinkanlah saya mengutip nasihat seseorang dari lima abad silam yang paling banyak dihujat sekaligus diikuti dalam politik: Niccolo Machiavelli. ”Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji, tak peduli agama,” demikian tulisnya, ”tidak dapat disebut kegagahan. Cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, tetapi bukan kemuliaan.” (F Budi Hardiman, Politik yang Bermartabat)

“Jika tahun 2004-2009 “JK is the real president”, maka tahun 2009-sampai hari ini The Real President itu adalah Aburizal Bakri. Dia beribu kali lebih hebat dari pak Beye yang bukan presiden sesungguhnya lantaran ABR bisa menembak lebih cepat dari bayangannya”
(Depkpendi, 2010)
“Namun, kekuatan yang dimiliki pemerintahan SBY-Boediono seakan-akan hanya kalkulasi mati di atas kertas, bukan kekuatan nyata yang dapat mendukung realisasi kebijakan-kebijakannya. Oleh karena itu, meskipun dalam merespons berbagai bencana alam dan manusia (seperti Lapindo) SBY cukup sigap, tindak lanjutnya dirasakan tidak tuntas dan menyisakan masalah.” (J KRISTIADI)

“Indonesia ini seperti kampung tak bertuan. Ada pemimpin, ada elit, tapi tidak dirasakan kerjanya”
( Buya Syafii Maarif, Detiknews.com, 10/6/2010)

“Hingga 2010, hardware Indonesia demokrasi tapi software tetap Autoritarian, mabokrasi, kleptokrasi, oligarki, dan despotic.” (Defendi, Dari berbagai sumber)
Inilah kutipan dari the real president yang lebih licin dari belut dan dapat menembak lebih cepat dari bayangannya:
”Kalau wilayah taktis, kita harus lebih rileks sedikit, pandai membaca arah angin, mendesak jika diperlukan, merangkul dan memberikan ruang gerak jika memang kondisinya menghendaki.” (Aburizal yang juga Ketua Harian Setgab)
SIlakan ditambah panjang….

Survey: 95% Rakyat Inginkan Marzuki Mundur

Total Read586Total Comment1 dari 1 Kompasianer menilai Menarik.
 
David Efendi

“Marzuki.., marzuki…, marzuki… itu sapa? Gusti Allah? yang menentukan kematian orang di daratan atau di lautan, di darat dan di laut itu kehidupan. Bapak pejabat yang nilai geografinya tiarap silakan mundur” (tukangkritik.com)
photo/google.com"Digaji Tinggi Bukan Untuk Menyakiti"
photo/google.com"Digaji Tinggi Bukan Untuk Menyakiti"

Sebelum saya masuk ke kritik dan opini pribadi saya, saya sekedar sharing hasil survey yang saya adakan di Internet via surveymonkey.com dengan sementara responden yang mengisi 352 orang, 95.9% setuju Marzuki Ali harus mundurdari ketua DPR RI, 93% mengatakan bahwa pernyataan Marzuki Ali tidak etis dan tidak bermoral, 23,9% meminta SBY memecat Marzuki ALi dari Partai Demokrat, dan 66,6% memeinta SBY ‘memecat’ MA dari ketua DPR…(free survey). Intinya pernyataan apa pun pejabat hari-hari ini sangat mengecewakan publik jangan pernyataan diam dan lambatnya menurunkan bantuan yang notabene anggaran negara milik rakyat saja sudah menyakitkan. Bagi yg belum partisipasi silakan: http://www.surveymonkey.com/s/B9HRG56.
Judul diatas rada provokatif yang mengklaim rakyat yang meminta Marzuki Ali mundur dari jabatan sebagai ketua DPR RI. Selain survey, berbagai media internet atau jejaring sosial secara tidak langsung kecewa dan mengharapkan orang pejabat yang tidak sensitif sosial dan tidak menunjukkan empati tidak layak duduk sebagai anggota dewan atau menteri yang dianggap sebagai pemimpin. Bahkan pernyataan sadis juga diumpatkan ke sosok Marzuki ALi yang baru belajar menjadi penguasa di senayan meski masih diketiak Susilo Bambang, tapi itu bukti bahwa bawahan Beye tidak terarawat secara moral dan etika. Pak Marzuki seharusnya berangkat saja ke Yunani belajar etika tapi sayang sebelum berangkat sudah gagal di landasan lantaran pernyataannya yang membuat rakyat tersinggung dan marah dengan mengungkapkan nada sinis. Jika saya boleh mengutip kira-kira begini pernyataannya:“bencana tsunami adalah resiko penduduk yang hidup di wilayah pantai, jika tidak mau resiko pindah saja ke daratan.”

Marzuki Ali tidak pernah populer dari prestasi di dewan rakyat (tidak) terhormat. Mungkin juga karena sebab itu dia ingin cari perhatian ke publik sebagai upaya mengundi nasibnya. Untung kalau populer dan dapat gelar kehormatan dari Pak Beye sebagai bosnya. Atau malah tersungkur di sudut peradaban bangsa. Namanya judi politik, untung-untungan seperti biasanya juga dimainkan oleh Ruhut Tumpul yang kerap kontroversi alih-alih mengurangi perhatian massa agar tidak mengkritik pak beye. Di banyak wall facebook ditulis: Marzuki Ali goblok, pekok, koplok, gendeng, edan, dan sebagainya. Ini ekspresi yang dampaknya tidak seberapa dibanding kata marzuki yang terkesan halus dan indah tapi melukai luar biasa. Begitu juga pernyataan Tifatul Simbiring yang menghubungkan bencana alam terjadi pada masyarakat yang tidak beriman. Secara tidak langsung dia mengkafirkan semua korban bencana dari sabang sampai merauke.

Tidak hanya itu, pernyataan Marzuki Alie yang tentang bencana tsunami di Mentawai ternayata melukai perasaan orang-orang Mentawai, khususnya mereka yang menjadi korban. Sebagai ketua DPR, jelas pernyataan Marzuki tidak mencerminkan karakter sebagai pemimpim bangsa yang seharusnya mengayomi dan membesarkan hati para korban tsunami. Konon si Ruhut juga memarahi Marzuki Ali sebagai upaya mencuci nama partai demokrat agar yang merosot moralnya itu hanya Marzuki Ali saja meski beberapa hari yang lalu ruhut membuat pernyataan yang juga anti kemanusiaan dengan mendiskriminaiskan anak keturunan PKI. Ruhut tumpul menyatakan bahwa,”hanya anak keturunan PKI yang tidak setuju Soeharto jadi presiden”. Ini luar biasa diskriminatif, lantaran menjadikan anak PKI sebagai sesuatu yang buruk. Saya sendiri tidak terbayang bahwa anak keturunan PKI itu buruk. Di China komunisme memajukan bangsa dan membangun rakyat China. Piye tumpul?

Menanggapi pernyataan Ketua DPR itu, perwakilan dari warga Mentawai mengirim surat untuk Marzuki Ali. Adapun isi surat itu sebagai berikut:
Padang, 28 Oktober 2010
Nomor : Istimewa Hal : Protes Keras Atas Pernyataan Tak Manusiawi
Kepada Bapak Marzuki Ali
Sekaitan dengan pernyataan Bapak di Detik.com dan Kompas Online pada tanggal 27 Oktober 2010 yang tidak sedikitpun memperlihatkan simpati terhadap derita korban dan rasa keterancaman masyarakat disekitar pantai, kami dari Posko Lumbung Derma Peduli Gempa Tsunami Mentawai, mengutuk pernyataan tersebut sebagai pernyataan yang tak pantas disampaikan oleh seorang ketua DPR, yang semestinya mewakilkan derita korban kepada dirinya sendiri. Pernyataan ini sekaligus juga memperlihatkan ketiadaan sisa-sisa rasa kemanusian pada diri seorang Marzuki Ali.
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR dan pribadi, kami meminta Anda untuk meminta maaf kepada keluarga korban, masyarakat Mentawai dan seluruh masyarakat Indonesia yang tinggal di pesisir-pesisir pantai. Demikian surat protes ini kami sampaikan.
Posko Lumbung Derma Peduli Gempa Tsunami Mentawai
TTD Yosef Sarogdok Koordinator Posko
(sumber:http://hminews.com/news/ketua-dpr-kena-damprat-masyarakat-mentawai-kacian-dech-lho-zuki/)

Bagi saya, Marzuki Ali, Ruhut sama-sama tidak layak duduk di kursi terhormat di DPR. Bukan berarti yang lain layak karena jumlah anggota dewan semi bikameral ini banyak meliputi anggota  DPR RI sebanyak 560 orang, dan anggota DPD sebanyak 127. Jika ada tersisa ONI (Otak Nurani Indra) tanyakanlah pada diri sendiri.Semua itu dibiayai negara segala gerak dan gerik bahkan termasuk keluarganya. Perlu diingat juga bahwa Setiap bulan Anggota DPR menerima penghasilan sebesar Rp. 58.841.500. (Dari banyak sumber).
Terakhir, jika ada kata yang benar silakan diikuti, yang salah dibuang, ini hanya sekedar curhat bukan hasil karya ilmiah apalagi karya sejarah yang dapat dijadikan referensi. Moga ada benernya, ada manfaatnya untuk terutama menyentil penguasa. Dan terakhir saya minta maaf jika judul terlalu bombastis dan mengklaim responden yang mengikuti servey sebagai rakyat yang biasanya dikonotasikan jumlahnya ratusan juta di Indonesia. Ini hanya survey biasa ditambah opini yang tidak istimewa sebagai tukang kritik amatir dan tidak bergizi.

Samudra Pacifik, Oct 10/28/2010

Bencana, Saatnya Kembalikan Uang Rakyat!

Total Read 60 Total Comment 1 Nihil.
 
David Efendi

“APBN, sebagaimana Bumi dan air dan yang terkandung di dalamnya se(harus)nya di gunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat termasuk di didalamnya korban bencana alam. Ini republik bung, uang negara adalah hak rakyat bukan milik presiden atau menteri.” (Tukangkritikmakinganas.com)

Pak Beye dimarahinSoekarnoSebelum saya masuk ke kritik dan opini pribadi saya, saya sekedar sharing hasil survey yang saya adakan di Internet dengan sementara responden yang mengisi 152 orang, 95.9% setuju Marzuki Ali harus mundurdari ketua DPR RI, 93% mengatakan bahwa pernyataan Marzuki Ali tidak etis dan tidak bermoral, 23,9% meminta SBY memecat Marzuki ALi dari Partai Demokrat, dan 66,6% memeinta SBY ‘memecat’ MA dari ketua DPR(free survey). Intinya pernyataan apa pun pejabat hari-hari ini sangat mengecewakan publik jangan pernyataan diam dan lambatnya menurunkan bantuan yang notabene anggaran negara milik rakyat saja sudah menyakitkan. Bagi yg belum partisipasi silakan: http://www.surveymonkey.com/s/B9HRG56.


Selama 10 tahun terakhir ini ada mindset yang sangat keliru terkait hubungan Negara-Masyarat (State-Society), atau negara dengan rakyat. Berbagai kebijakan pemerintah menunjukkan adanya ketimpangan yang serius yaitu negara menganggap rakyat sebagai obyek belas kasihan yang tak ubahnya seperti relasi majikan dan buruh (mastery-slavery) dalam arti negara atau pemerintah merasa menjadi ‘dewa penyelamat’, “pemilik negara’ yang baik hati dengan menyantuni korban bencana, kekerasan fisik, atau karena kemiskinan dengan BLT, LPJ dan sebagainya. Perbuatan itu jangka pendek dan tidak terlalu banyak menolong kehidupan di hari yang akan datang. kebijakan instan hasilnya juga temporal.

Pemegang jabatan politik dan publik tidak sadar bahwa negara ini adalah republik, pemilik kedaulatan, bumi dan air serta yang terkandung di dalamnya adalah rakyat jadi salah besar manakalah pemerintah menteri merasa sudah banyak memberikan bantuan kepada korban bencana alam di mana saja. Kalau negeri ini sifatnya republik, tentu mendapatkan bantuan adalah hak rakyat, kewajiban membantu atau menyalurkan barang dan anggaran adalah keniscayaan bagi sebuah agen pemerintahan yang dipilih rakyat (presiden, dpr/d) dan juga yang digaji rakyat (menteri, pns, pejabat pemda, sekda, dan sebagainya).

Karena republik, presiden bukanlah raja, presiden bukanlah pemegang kedaulatan tertinggi meski secara simbolik dipilih langsung. Presiden hanyalah ‘pelayan’ rakyat dalam konsep negara republik, dan kekuatan rakyat sebenarnya bukanlah presiden tapi anggota dewan baik di pusat atau daerah, meliputi DPR(mewakili orang), DPD (yang mewakili ruang) dan MPR (join session dalam semi bikameral). Karena negeri ini republik, maka tentu bukan aristokrasi yang mana negeri ini hanya dihakmiliki sekelompok partai politik, keluarga dan sekretaris gabungan. Karena negara ini bukan kerajaan yang rajanya berhak melakukan apa saja, maka kita harus kembalikan status republik yang menempatkan kepentingan rakyat diatas kepentingan keluarga presiden, partainya presiden, dan gerombolan penjilat dan jongosnya presiden. Ini republik bung, ketua DPR Marzuki ali yang tidak pro rakyat bisa saja dilengserkan “jika rakyat menghendaki” meminjam bahasa Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Selain, rakyat korban bencana berhak menggunakan anggaran uang negara dalam ABN, rakyat juga berhak meminta bantuan TNI dan Polisi sebagai alat negara, alat untuk melindungi rakyatnya. Ini kesempatan memperbaiki nama untuk para tentara dan polisi yang sering berkelahi dan perang-perangan berebut kue anggaran dan bantuan asing dalam memberantas teroris. Kini, jika negara atau pemerintah membiarkan rakyatnya kesusahan, maka negara itu sudah menjadi teroris dan secara langsung melanggar konstitusi baik pasal 33, 34, atau UUD 1945 secara substansial. (silakan dibaca dan diresapi UUD 1945 atau bahkan yang amandemen. Tentara dan polisi adalah dari,oleh, dan  untuk rakyat. Haram jika hanya bertugas memerangi orang yang dianggap musuh negara apalagi hanya melindungi kepentingan istana (kata istana negara ini bermasalah, sebab negara kita republik bukan kerajaan kenapa pakai istilah istana, wajar saja ada raja yang dzolim).

Kesimpulannya, di saat bencana alam dan sosial yang melanda sepanjang barisan pulau, kemiskinan pasti banyak menggeliat dan rakyat sekarat maka sangatlah bijak kalau APBN dan APBD serta sumber pendapatan negara lainnya dialokasikan untuk membantu rakyat secara sungguh-sungguh dan sebenar-benarnya. Di saat bencana, berapa uang yang digunakan untuk study banding, belajar etika, kunjungan negara, dan sebagainya yang tidak memberikan dampaak nyata bagi pengurangan kesusahan masyarakat korban bencana. Kita merindukan, kapan ada presiden, menteri, dan wakil rakyat yang gajinya dialokasikan untuk rakyat 100% karena selama ini sudah banyak mengambil uang yang bukan haknya. Hari ini saatnya tiba, uang rakyat itu dikembalikan kepada pemiliknya: RAKYAT.

Semoga ada manfaatnya. Termasuk buat Marzuki Ali, Tifatul  Simbiring, dan staf ahlinya agar berani mengingatkan bos-nya dan tidak hanya imannya pada ABS (asal bosgue senang). Peace!:p

Oct 27,2010

Komunitas Islam Rayakan Idul Fitri di Hawaii

David Efendi


Ramadan berakhir bagi beberapa orang memang sangat menyedihkan dimana pada bulan ini mahasiswa Islam sering berkumpul buka sahur bersama dan tarawih. Demikianlah yang dilakukan mahasiswa Islam Indonesia selama bulan ramadan mereka jugaseirng mengadakan potluck sejenis makan bersama dengan membawa makanan lalu dimakan bersama-sama dengan mahasiswa islam lainnya baik untuk berbuka atau sahur. Ramadan memang istimewa dana banyak orang menghormati termasuk di dormitory (asramah mahasiswa Indonesia) yang disedikan fasilitas dapur 24 jam bagi mahasiswa Islam untuk sahur dan sebagainya.

Sehari sebelum idul Fitri ada suasana sedih terlihat di raut muka mahasiswa asal Indonesia. Mereka rata-rata mengaku ingat rumah apalagi di Indonesia sudah mendahului lebaran sebab selesih 17 jam sehingga terasa sekali perasaan ingin dekat keluarga dan ingin mudik. Orang bilang ini namanya homesick mendadak sebab banyak memori dan hal yang menyenangkan di hari kemenangan jika dirayakan di kampung halaman. Ada  8 Mahasiswa baru di University of Hawaii yang memang pertama kali idul fitri jauh dari keluarga dan merasakan sangat berat jauh denga keluarga sehingga mereka saling curhat dan memasak bersama untuk meringankan rasa sedih dan kangen rumah. Pada malam hari menjelang idul fitri 3 mahasiswa Indonesia malakukan sholat isyah berjamaah di dormitory dan membaca takbir bersama-sama layaknya di kampung halaman. Suasana yang hening itu sangat menyentuh hati dan penuh penghayatan diikuti tetesan air mata sesekali.

Di saat memanasnya isu pembakaran Al qur-an di USA oleh kelompok Pendeta fundamentalis di Florida yang direspon ummat islam di berbagai negara disertai kecaman keras atas rencana tersebut, suasana damai damai dan penuh toleransi kita jumpai di Hawaii. Komunitas Islam yang terdiri dari berbagai negara menyelenggarakan sholat idul fitri di Manoa Park, Honolulu pada hari jumat tanggal 10 september 2010. Sekitar 300 jamaah hadir meramaikan idul fitri tahuan ini. Jumlah ini sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah ummat islam di Hawaii yang menurut Mike, warga Hawaii sekitar tiga ribu orang.
Semenjak pukul 8.00 takbir versi timur tengah sudah diihentakkan dan mahasiswa Indonesia agak sulit mengikuti nada-iramanya karena sangat berbeda. Kata Agussalim, Mahasiswa PhD di University of Hawaii at Manoa nada takbiran tetap lebih bagus di Indonesia sayang kita tidak bisa merebut komando takbirnya. Sholat Id dimulai pukul 9.30 oleh Imam Ismail dan penceramah oleh Imam Abdullah dari Australia yang menyampaikan banyak pengetahuan mengenai kontribusi ummat Islam dalam membangun peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan yang memang tidak diragukan lagi kebenarannya. Beliau mengutip buku baru dari ilmuwan sejarah bahwa tanpa Islam tidak ada yang namanya Eropa modern seperti hari ini.

Seusai sholat id dan ceramah sebagai bagian tidak terpisahkan, panitia sudah menyiapkan beragam kue dan minuman untuk jamaah sebagai breakfast dan ramah tamah dengan jamaah lain yang berlatar belakang negara,ras dan suku yang berbeda-beda. Barangkali inilah nilai islam yang sebenarnya terlihat dalam unity of diversity mulai dari kulit gelap, hitam, warna,sampai putih ada semua dalam persaudaraan Islam universal yang seharusnya menjadi pembelajaran bagi penghuni bumi di mana pun berada.

Honolulu, Hawaii, USA

“Selamat Natal” atau “Marry Christmas"


David Efendi

 Natal tidak ada kaitannya dengan kelahiran nabi isa as (materi kristologi). MUI telah menfatwakan haram hukumnya umat islam ikut-ikutan merayakan natal bersama!”(Burhanuddin Susamto, status Facebook December 17 at 8:15pm)

“[1]Katakanlah (wahai Muhammad): “Hai orang-orang kafir! [2] “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. [3] “Dan kamu tidak mahu menyembah (Allah) yang aku sembah. [4] “Dan aku tidak akan beribadat secara kamu beribadat. [5] “Dan kamu pula tidak mahu beribadat secara aku beribadat.
[6]“Bagi kamu ugama kamu, dan bagiku ugamaku.” (Q.S. Al Kafirun[109]:1-7)

Islam adalah agama saya, sering disebut sebagai agama misionaris begitu juga Kristen di Indonesia dianggap sebagai agama yang terus mengancam eksistensi agama Islam di tengah krisis ekonomi. Ummat Kristen dianggap sebagai pembawa konflik social dengan dukungan sumber financial international kemudian merektur kelas ekonomi miskin untuk bergabung menjadi Kristen. Kelompok anti misionaris Kristen menyebutnya sebagai proyek kristenisasi Indonesia yang diperkirakan tahun 2025 akan melipatgandakan jumlah kelompok Kristen di Indonesia. Ummat islam diajak berfikir curiga oleh sebagian pemimpin mereka. Akibatnya, peristiwa intoleransi merambah. Saya tidak menyalahkan ummat islam, saya hanya tidak begitu paham apa yang dipikirkan ummat Kristen terhadap ummat islam.
Sikap keberagamaan saya adalah bahwa semua agama mengajarkan agar kita memanusiakan manusia dan memperlakukan saudara seperti kita memperlakukan diri sendiri, menghormati tetangga dan saling menolong antar manusia. Bahkan, di Yunani dan Romawi, penganut agama ‘kuno’ mengajarkan sikap moral untuk tetap menghormati lawan dan memuliakannya (Film Troy). Karena itu, tidak ada pembenaran mayoritas boleh melumpuhkan minoritas, tidak dibenarkan minoritas memusuhi mayoritas dan sebaliknya. Jika mayoritas boleh melakukan kreistenisasi atau islamisasi tentu minoritas juga boleh malakukan hal yang sama sehingga aspek keadilan itu tegak kokoh dan kuat. Nabi Muhammad sendiri mengajarkan melindungi orang kafir, menghargai kekafiran tanpa mencampuri ‘ibadah’ mereka dengan berlandaskan firman Allah sebagaimana kutipan tersebut di atas. Artinya agama itu dasarnya adalah ajaran untuk saling memuliakan manusia dan bukan ajaran klaim kebenaran yang dihitung dengan statistic atau sensus penduduk. Jika semua agama berlomba menjadi penguasa atas nama tirani mayoritas, maka perang akan terus terjadi tanpa kunjung padam.
Dengan demikian apakah kita ((ummat islam) boleh mengucapkan ‘selamat merayakan natal’ sebagaimana ummat non islam mengucapkan ‘selamat menunaikan puasa, idul fitri, atau ‘ied mubarak’? ini memang bukan keahlian saya tetapi saya harus bicara sebagai manusia yang lahir dalam monokultur islam kemudian dewasa membaur saling menghargai eksistensi keyakinana agama lainnya sampai bahkan ke negeri di mana Islam menjadi sangat minoritas. Secara pribadi saya tidak punya landasan agama untuk mengatakan ‘selamat merayakan natal’ atau saya juga tidak punya landasan yang kuat untuk tidak mengatakan selamat natal jika memang saat tepat mengucapkannya. Hal ini berdasarkan fatwa MUI tahun 1981yang dilarang hanya merayakan natal bersama dan bukan mengucapkan selamat natal (baca lampiran di bawah artikel ini). Teman saya seorang keturunanan Indo-Kanada yang juga muallaf hanya mau mengatakan happy holidays kepada teman yang mengucapkan Marry Christmas. Saya sendiri sering mendapat ucapan marry chrismass tetapi karena bahasa inggris saya jawab saja “…chrismass” dan tentu saja dengan senyum.
Setahu saya, alasan kelompok yang tidak mau mengatakan ‘selamat natal’ adalah karena jika mengucapkan tersebut dianggap telah membenarkan agama Kristen dan juga membenarkan kelahiran Isa yang salah (menurut versi Islam cerita Nabi Isa memang 180 derajat berbeda). Selain itu keegangganan mengucapkan ‘selamat natal’ bisa jadi cermin superioritas mayoritas di Indonesia yang merasa gengsi atau merasa tidak ada keuntungan mengucapkan kalimat perayaan tersebut. Tidak hanya kalangan islam klasik, tradisional tetapi kalangan terdidik pun mengalami keraguan untuk mengucapkan hal yang sama. Beberapa teman saya muslim kuliah di Amerika tetapi mereka tidak mau membalas email ucapan selamat natal (sebagian me-reply email dengan ucapan selamat natal). Alasan yang menolak mengungkapkan tidak pernah jelas, sementara yang menuliskan dan mengucapkan berargumen bahwa kita tidak sedang di Indonesia tetapi kita sekarang tinggal di Negara multikulturalisme super tinggi. Bagi saya, seharusnya sifat toleransi tidak hanya ketika berada di negeri minoritas islam, tetapi sikap cinta damai harus di bawah dan diterapkan sepanjang hidup dan tanpa mengenal tempat sebagai praksis keberagamaan. Tidak sekedar teori interaksi social tetapi merupakan praktik agam iitu sendiri—talk in action.
Sebenarnya perdebatan mengenai tanggal lahir nabi Isa saya sudah mendengar semenjak saya duduk di bangku SMA di Kota ketika terdapat siswa beragam agama. Perdebatan ini ketemu kembali ketika saya sekolah di Amerika. Di awal desember tahun 2010 di beberapa sudut kampus dan juga super market diedarkan semacam bulletin yang memuat pro kontra kelahiran Isa (Sumber: Awake, Dec 2010). Ketika say baca di facebook ternyata sudah ada yang memuat versi Indonesia. Dalam selebaran itu kira-kira pihak yang menentang hari lahir Isa 25 Desember demikian bunyinya: Pertama, saat Nabi Isa as lahir, ibunda beliau menggoyang2 pohon kurma, sehingga berguguran buah kurma yg telah masak. Buah kurma masak di bulan2 Agustus-Oktober, lalu daun2 berguguran di musim gugur. Saat pertengahan Desember-Awal Februari, sudah t...dk ada lagi buah kurma masak di pohonnya. Jadi mustahil itu terjadi di tgl.25 Desember. Kedua, konon Nabi Isa lahir di kandang domba, dan dombanya ada di padang belantara. Berarti itu tdk terjadi di Bulan Desember. Bulan Desember awal-Februari adalah musim salju. Biasanya domba2 selalu ada di dalam shelter, bukan di padang belantara...! Berarti, kira2 bukan pada tgl. 25 Desember. Terakhir, Saat Nabi Isa lahir, khabarnya bintang2 bertebaran di langit. Sebatas pengetahuan saya, saat winter, yg ada di langit itu salju yg turun, bukan bintang yg bertebaran.
Saya mempertanyakan bagaimana jika kita mengucapkan selamat natal tanpa bertendensi membenarkan atau menyalahkan keabsahan hari lahir Isa? Jawabannya menurut saya BOLEH. Jika ada saran dan masukan saya akan sangat gembira. Meski kita tidak yakin untuk mengucapkan selamat natal, tentu kita tetap menghormati dan tidak menjadikan mereka tersinggung. Sebagai hubungan sesama manusia tidak akan pernah terjadi ajaran agama itu memerintah memutuskan interaksi social, silaturhamii sendiri menduduki derajat tinggi di samping hablum minallah yang sifatnya pribadi dan sangat privat sebab doa dan ibadah hanyalah hubungan antar makluk dan sang pencipta. Tidak ada keraguan soal ini, akan tetapi ibadah private harus disempurnakan dengan ibadah social yang di sinilah nilai toleransi sebagaimana piagam madina tetap relevan untuk dibaca dan diteladani dalam kehidupan nyata kemasyarakatan (bukan menjadi ilmu kebathinan). Agama itu, menurut para pemikir progresif, adalah amal dan perbuatan bukan hanya sekedar keyakinan dalam hati dan pikiran. Jika ini toleransi mewujud dalam tindakan sehari-hari maka konflik agama akan reda, kerukunan akan langgeng dan kesatuan akan memperkuat dan memberdayakan bangsa.

Dec 28, 2010
Lampiran:
Fatwa MUI tentang Haramnya mengikuti perayaan natal

Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, setelah :
Memperhatikan:
  1. Perayaan Natal bersama pada akhir-akhir ini disalah artikan oleh sebagian ummat Islam dan disangka dengan ummat Islam merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW.
  2. Karena salah pengertian tersebut ada sebagian orang Islam yang ikut dalam perayaan Natal dan duduk dalam kepanitiaan Natal.
  3. Perayaan Natal bagi orang-orang Kristen adalah merupakan ibadah.

Menimbang :
  1. Ummat Islam perlu mendapat petunjuk yang jelas tentang Perayaan Natal Bersama.
  2. Ummat Islam agar tidak mencampur adukkan aqiqah dan ibadahnya dengan aqiqah dan ibadah agama lain.
  3. Ummat Islam harus berusaha untuk menambah Iman dan Taqwanya kepada Allah SWT.
  4. Tanpa mengurangi usaha ummat Islam dalam Kerukunan Antar Ummat Beragama di Indonesia.
Meneliti kembali :
Ajaran-ajaran agama Islam, antara lain:
  1. Bahwa ummat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan, berdasarkan atas:
    1. Al Qur`an surat Al-Hujurat ayat 13: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan Kamu sekattan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang bertaqwa (kepada Allah), sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
    2. Al Qur`an surat Luqman ayat 15:"Dan jika kedua orang tuamu memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikutinya, dan pergaulilah keduanya di dunia ini dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian kepada-Ku lah kembalimu, maka akan Ku-berikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan."
    3. Al Qur`an surat Mumtahanah ayat 8: "Allah tidak melarang kamu (ummat Islam) untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (beragama lain) yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
  2. Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqiqah dan peribadatan agamanya dengan aqiqah dan peribadatan agama lain berdasarkan :
    1. Al Qur`an surat Al-Kafirun ayat 1-6:"Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku."
    2. Al Qur`an surat Al Baqarah ayat 42: "Dan jika kedua orang tuamu memaksamu untuk mempersatukan dengan aku sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikutinya dan pergaulilah keduanya di dunia ini dengan baik Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Kita, kemudian kepada-Kulah kembalimu, maka akan Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan."
  3. Bahwa ummat Islam harus mengakui kenabian dan kerasulan Isa Al Masih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain, berdasarkan atas:
    1. Al Qur`an surat Maryam ayat 30-32: "Berkata Isa: Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat dan menunaikan zakat selama aku hidup. (Dan Dia memerintahkan aku) berbakti kepada ibumu (Maryam) dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka."
    2. Al Qur`an surat Al Maidah ayat 75: "Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rosul yang sesungguhnya telah lahir sebelumnya beberapa Rosul dan ibunya seorang yang sangat benar. Kedua-duanya biasa memakan makanan(sebagai manusia). Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu)."
    3. Al Qur`an surat Al Baqarah ayat 285 : "Rasul (Muhammad telah beriman kepada Al Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman) semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-Nya. (Mereka mengatakan) : Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari Rasul-rasulnya dan mereka mengatakan : Kami dengar dan kami taat. (Mereka berdoa) Ampunilah Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali."
  4. Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih daripada satu, Tuhan itu mempunyai anak Isa Al Masih itu anaknya, bahwa orang itu kafir dan musyrik, berdasarkan atas :
    1. Al Qur`an surat Al Maidah ayat 72 : "Sesungguhnya telah kafir orang-orang yang berkata : Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam. Padahal Al Masih sendiri berkata : Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidak adalah bagi orang zhalim itu seorang penolong pun."
    2. Al Qur`an surat Al Maidah ayat 73 : "Sesungguhnya kafir orang-orang yang mengatakan : Bahwa Allah itu adalah salah satu dari yang tiga (Tuhan itu ada tiga), padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu pasti orang-orang kafir itu akan disentuh siksaan yang pedih."
    3. Al Qur`an surat At Taubah ayat 30 : "Orang-orang Yahudi berkata Uzair itu anak Allah, dan orang-orang Nasrani berkata Al Masih itu anak Allah. Demikianlah itulah ucapan dengan mulut mereka, mereka meniru ucapan/perkataan orang-orang kafir yang terdahulu, dilaknati Allah-lah mereka bagaimana mereka sampai berpaling."
  5. Bahwa Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakan dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya, agar mereka mengakui Isa dan Ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab "Tidak" : Hal itu berdasarkan atas :
Al Qur`an surat Al Maidah ayat 116-118 :
"Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: Hai Isa putera Maryam adakah kamu mengatakan kepada manusia (kaummu): Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah, Isa menjawab : Maha Suci Engkau (Allah), tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya tentu Engkau telah mengetahuinya, Engkau mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya), yaitu : sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu dan aku menjadi saksi terhadapa mereka selama aku berada di antara mereka. Tetapi setelah Engkau wafatkan aku, Engkau sendirilah yang menjadi pengawas mereka. Engkaulah pengawas dan saksi atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu dan Jika Engkau mengampunkan mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana."
  1. Islam mengajarkan Bahwa Allah SWT itu hanya satu, berdasarkan atas Al Qur`an surat Al Ikhlas :
"Katakanlah : Dia Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun / sesuatu pun yang setara dengan Dia."
  1. Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan, berdasarkan atas :
    1. Hadits Nabi dari Nu`man bin Basyir : "Sesungguhnya apa apa yang halal itu telah jelas dan apa apa yang haram itu pun telah jelas, akan tetapi diantara keduanya itu banyak yang syubhat (seperti halal, seperti haram) kebanyakan orang tidak mengetahui yang syubhat itu. Barang siapa memelihara diri dari yang syubhat itu, maka bersihlah agamanya dan kehormatannya, tetapi barang siapa jatuh pada yang syubhat maka berarti ia telah jatuh kepada yang haram, semacam orang yang mengembalakan binatang makan di daerah larangan itu. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai larangan dan ketahuilah bahwa larangan Allah ialah apa-apa yang diharamkan-Nya (oleh karena itu hanya haram jangan didekati)."
    2. Kaidah Ushul Fiqih
"Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahatan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan masholihnya tidak dihasilkan)."
Memutuskan
Memfatwakan:
1.      Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.
2.      Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
3.      Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Jakarta, 1 Jumadil Awal 1401 H/7 Maret 1981
 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
 Ttd                 ttd
Ketua       Sekretaris

Negara [masih] Dalam Keadaan Darurat

David Efendi

"A citizen, first in war, first in peace, and first in the hearts of his countrymen. ( Funeral oration on the death of George Washington.)" - Henry Lee


Setiap peringatan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus selalu diselingi dengan refleksi dengan mempertanyakan sudahkah bangsa ini merdeka? siapa yang paling beruntung menikmati kue kemerdekaan dan siapa yang paling buntung dalam nestapa zaman edan: yang kaya makin kaya yang miskin menurun ke anak cucu. Rintihan lain muncul bahwa sebagain besar anak negeri ini yang sekarang miskin (40 juta jiwa) nenek moyangnya ikut membangun dan berjuang untuk memulangkan Belanda dari pulau-pulau di Indonesia. Tapi revolusi telah dibajak oleh kapitalis domestik dan manca negara untuk kemudian memangsa para palaku revolusi dan mimpi besarnya. Semakin sering diselenggarakan pesta kemenangan, semakin porak poranda masa depan anak bangsa yang masih tersungkur di belakang 'pembangunanisme'. Pemerintah yang menjebakkan dirinya dalam kubangan hutang, anak negeri miskin yang akan menanggung segala resikonya.

Negara dalam keadaan darurat ketika tidak adanya kedaulatan pangan, otonomi pemerintahan, dan tidak terjamainnya keamanan warganya. Ketiga indikator terpenting ini juga merupakan karakteristik dari sebuah negara disebut negara lemah (weak state) atau negara kuat (strong state), sukses atau gagal, bangkit atau collapse di belakang sejarah bangsa-bangsa. Ketiga indikator itu akan dibincangkan secara singkat dan semoga jelas.

Point pertama bahwa Indonesia masih jauh dikatakana sebagai bangsa yang berdaulat penuh dalam ketahanan pangan dan masa depan kemakmuran yang mana sangat tergantung kepada sektor agrikultur. Pendapat demikian sangat klasik mulai dari ekonomi merkentilism, Adam Smith sampai zaman kapitalisme #4. Bobroknya sektor pangan diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang memanjakan importer sehingga mematikan pasar dalam negeri sendiri. Negara berpenduduk petani terbesar berubah menjadi pengimpor beras terbesar. Ini sangat ironis dan dramatis jika tetap berlanjut sampai 20 tahun ke depan bangsa ini akan layu, kaku dan lumpuh sebelum berkembang menjadi developed country. Lalu apa solusina? negara harus bergerak menjamin perkembangan sektor tani, kebun, dan nelayan dengan memberikan program anti pemiskinan sebagaimana anti hama tanaman sehingga kebijakan yang pro kapitalis harus berganti haluan menjadi kebijakan anti kapitalis alias pro poor (berpihak kepada ekonomi paling rentan). Akibat dari salah kebijakan bangsa ini menderita hutang luar negeri sangat parah terhitung tahun 2010 ini hutang Indonesia mencapai 234 trilyun atau sebanyak $ 223 million (citation needed).

Poin kedua lebih menekankan kepada pentingnya negara otonom yaitu pemeirntahan yang dijalankan atas dasar konstitusi dan amanah rakyat dan menjaga jarak dari kepentingan kapitalis, mafia, baik dalam atau luar negeri. Jika kemerdekaan memerintah tidak ada maka negara memang hanya menjadi alat kaum kapitalis dan agen neoliberal untuk terus mengeksploitasi rakyat dan kekayaan bumi nusantara. Dalam kondisi ini demokrasi, desentralisasi, multi partai hanya menjadi hiasan dinding dari rumah besar kapitalis yang siap menjual, menggadaikan, dan menghancurkan apa saja yang bertentangan dengan kerakusan kaum neolib. Salah satu ciri neolib adalah campur tangan dan pembuatan undang-undang ditujukan untuk memperlancar jalannya pasar (market) memperkaya tuannya.

Keadaan ini terlihat dari pembuatan berbagai undang-undang yang didesain oleh kapitalis global dan antek-anteknya berbagai agen seperti IMF, ADB, Bank Dunia, dan sebagainya. Kita bisa lihat undang-undang keparatian dan pemilu, UU PMA, Undang-undang sisdiknas, Sumber daya air, dan berbagai piranti hukum privatisasi lainnya sebagaimana karakter kapitalis yang menjauhkan negara dari rakyatnya. Pemotongan subsidi BBM, penaikan harga BBM, pemberian BLT hanyalah salah stau contoh bagaimana strategi kelompok setan neo-lib memanfaatkan pemerintahan demokrasi. Tidak hanya di era demokrasi, era orde baru yang otoriter kapitalis juga tetap menang dan aman.

Sedangkan point terakhir adalah mengingatkan pentingnya kedaulatan teritorial dan keamanan warganya sebagai basis pembangunan bangsa. Negara sebagai pemegang otoritas kekeraan secara sah, sebagaimana ide Weber, harus memanfaatkannya untuk menegakkan kedaulatan sipil, keamanan untuk berusaha, mencapai kesejahteraan bersama dam kemakmuran untuk semua golongan tanpa memandang kelas, ras, suku, agama, dan partai politik. Jika fungsi ini tidak jalan maka yang ada kekarasan komunal, militer bermain mata dengan pengusaha dan politisi, tentara negara adalah tentara rakyat, tidak sehrausnya menjadi tentara bayaran pengausa dan pengusaha. Kita lihat kasus DOM di Aceh, oeprasi militer di Timur timur, Papau dan densus 88 yang hanya menjaidkan bisnis pengausa dan militer. Hal ini terungkap di website wikileaks.com yang menggemparkan dunia persilatan dunia karena dibelakang itu semua ada kekuatan sutrdara besar: AMERIKA SERIKAT.

Kesimpulan dari note ini adalah bahwa bangsa indonesia harus mulai menyadari dirinya bahwa negara ini belum merdeka, bahwa bangsa ini masih disandera sehingga harus berbenah. Jika ada pemilu, rakyat harus diajari kebenaran menyalurkan suara yang tepat pada orang yang bisa diandalkan sebagai agen perubahan bukan menjadi pejabat eksekutif atau hanya bermental wong kere mungga bale (orang kaya baru), atau menjadi budak dari kapitalis. Bangsa yang benar adalah bangsa yang menolak perkuliaan dan perburuhan anti manusiawi. Negara masih gawat manakalah anak bangsa ini menjadi budak dalam negeri sendiri, menggelandang di negeri orang, menjadi kuli di negeri orang, atau sebagaimana Sukarno berkoar-koar bangsa yang besar adalah bangs ayang menolak menjadi kuli bagi bangsa-bangsa lain. Sekali lagi keadaan memang belum membaik benar, jika saya boleh berkata, "negara ini benar-benar masih berada dalam keadaan darurat".

Oahu winter break, Dec 27, 2010

Demokrasi Hipokrit

David Efendi


Banyak paradok demokrasi di negara kita diantaranya adalah: demokrasi minus etika, demokrasi minus kesejahteraan, membangun dengan hutang, demokrasi berbasis angka, demokrasi elitis, demokrasi anti keragaman, demokrasi tanpa partisipasi sejati, partainya demokrat tapi anti kritik, dan sebagainya. Jika kita bahasa kupas satu persatu kisah ini akan berlangsung lama dan menjenuhkan. Demokrasi tentu masih dikampanyekan sebagai sistem terbaik dan terus mencari basis dukungan dnegan berbagai undang-undang dan pemilu.Sayang, kepura-puraan atau sifat quasi dari demokrasi terlalu menufik untuk dilupakan.

Keharanan mulai menyeruak manakalah elit penguasa memandang pemilu sebagai legitimasi paling kuat untuk melakukan kerusakan, membuat kebijakan anti kesejahteraan seperti pengurangan subsidi, penaikan harga BBM, dan komersialisasi pendidikkan. Sebagaimana kata Mosca dan Michels, para individu penguasa Indonesia sedang membangun sistem oligarkhi yang kuat dan menjadikan partisipiasi massa dalam demokrasi hanyalah bagian kecil dari tujuan mereka untuk membangun basis ekonomi yang 'abadi'. Kelompok elit berusaha dalam banyak tindakannya sedang menjalankan apa yang disebut oleh George Grant sebagai private government--di mana aktor-aktor secara pribadi atau berkelompok menjalankan apa yang mereka inginkan dan bukan berdasarkan konstitusi atau minimal tidak melanggar konstitusi secara langsung (literal). Mereka biasanya sangat lihai mengakali hukum dan prosedur.

Bagi penguasa pusat dan daerah plus pendukungnya kemenangan demokrasi elektoral adalah 'berkah' luar biasa yang perlu disukuri dan tentu saja diabadikan sehingga mereka akan cenderung mempertahankan apa yang sudah mereka capai dengan berbagai cara atas nama demokrasi. Meskipun pemerintahan korup mereka akan membela kebijakan yang anti orang miskin sampai titik darah penghabisan. Persetan dengan janji kampanye karena semua dianggap sudah lupa. Kemunafikan demokrasi adalah tergantung siapa aktor atau penguasanya. Mereka ingkar janji dan mengganti janji baru ketika pemilu datang lagi atas nama incumbent dengan jargon lanjutkan atau dengan jargon sudah terbukti dan seterusnya meski itu adalah bagian dari kebohongan untuk publik.

Banyak ilmuwan berpendapat bahwa demokrasi adalah hanya stau jenis sistem pemerintahan, tetapi banyak juga yang meyakini bahwa demokrasi memberikan peluang lebih besar untuk mensejahterakan rakyat. Demokrasi elektoral mempunyai persoalan serius mana kalah pemilu dianggap sebagai tujuan dan bukan alat. Tidak ada salahnya pendapat-pendapat tersebut. Persoalan adalah siapa yang menjalankan pemerintahan? aktor demokrat? pengusaha? mafia? preman dan gengster dalam konsep shodow state (Reno, 1993), atau model pemerintahan oleh Bos (Sidel, 1983). Jika Reno dan Sidel yang kita pakai maka Indonesia sekarang adalah pemerintahan di bawah kendalai mafia pengusaha yang merangkap politisi. Kelompok Aburizal Bakri adalah bentuk pemerintahan bayangan yang sangat berbahaya sebab kekuatannya melebihi mekanisme parlemen dan presidensial.

Tarulah contoh, koalisi di parlemen diganti dengan setgab yang diketuai oleh Aburizal Bakri. Mereka membicarakan apa saja mengenai isu politik yang menjadi tugas parlemen di rumah sendiri. Bangunan demokrasi parlementer atau prsidensial berubah menjadi kedai demokrasi swasta atau restoran demokrasi dengan pemilik personal (private ownership). Kita tidak bisa bayangkan bagaimana demokrasi yang sifatnya publik menjadi privat. Ini adalah ancaman yang serius di era demokrasi bahkan lebih parah dari sekedar mengkebiri parpol menjadi 3 yang dilakukan oleh rezim Suharto pada saat itu.

Apa yang terjadi?
Akibat serius adalah cita-cita demokrasi tidak akan terwujud di bawah bayang-bayang aktor hipokrit, merasa demokrat padahal sebenarnya hanya wayang dari sutradara kapitalis yang kuat. Akibat lain dari privatisasi atau hipokrasi demokrasi adalah menjauhnya kesejahteraan dari rakyat, lumpuhnya penegakan hukum, menguatnya kekuatan pada satu kelompok yang berujung pada kegagalan demokrasi konsosiasional di masyarakat majemuk seperti Indonesia. Lembaga negara hanya di buat sebagai simbol adanya penegakan kebenaran sementara kebenarana itu disamarkan, barang bukti disembunyikan atau dimusnakan.

Contoh pertama yang mengemuka sampai hari ini adalah cerita lapindo yang tetap aman lantaran semua calon gubernur Jawa timur disponsori pemilik Lapindo, begitu juga aktor civil society sudah dibungkam dengan damai. Contoh lainya adalah pelemahan KPK, penghasutan MK, pengaggalan pengusutan century gate, kasus Gayus yang aman-aman saja, dan kasus RUU KY yang ditelantarkan dan menjadi pemain para kapitalis untuk meluluhlantakkan keistimewaan DIY. Tidak terlupakan bahwa buruknya manajemen TIM NAS PSSI adalah akibat politisasi yang berlebihan baik oleh Golkar, Demokrat, presiden, menpora dan tentu saja semua di bawah kendali the real presiden, Abu Rizal Bakrie.

Demokrasi jika jatuh ke tangan individu atau sekelompok orang kuat dengan karakteristik mafioso, gengster, bossism maka ruh demokrasi sudaha lenyap, harapan sejahtera untuk semua hanyalah mimpi tanpa landasan sehingga kita butuh gerakan massa yang solid untuk melawan kepanikan dan juga kesewenang-wenangan pemerintah hipokrit, presiden yang tidak berani mengambil resiko, menteri yang sifatnya ABS, dan parlemen yang dirumahkan. Jika civil society masih kuat, masih ada harapan itu pula masih belum sirna. Akhirnya, rakyat harus bersatu padu, agar tidak mudah dikalahkan. Anak-anak generasi muda harus sekolah yang hebat dan tidak silau kepada jebakan kekuasaan. Kaum intelektual harus segera melawan balik sebagaia kelompok pembangun bukan pengkhianat intelektual yang berlindung dibalik ketiak kekuasaan.

Hi, Dec 27, 2010

Men-Demokratisasi-kan Telinga Istana

David Efendi

“A President’s success if measured by his domestic and international achievements, not by his popularity in the polls”.
(Richard M. Nixon) 
“The President is there in the White House for you, it is not you who are here for him.”
(Walt Whitman)


Judul yang tidak keren-keren amat tapi judul ini lambang anomali demokrasi yang kita banggakan dan dipuja-puja Barat bahwa Indonesia sekarang, hari ini adalah negara paling demokratis di muka bumi atau kalau terlalu dramatis minimal di Asia tenggara. Meski dalamnya hancur lebur, rakyat kalah tarung melawan monster pasar kapitalis yang heartless (gak punya ati kata orang-orang). Mengapa judul ini anomali? Karena bagaimana istana punya Indra (punya Deni INDRAyana) wong Istana itu terdiri dari tembok beton dan kawat berduri, dimana kita yakin istana punya telinga mendengar kita. Di negara Indonesia, pemerintah hanya mau didengar tapi tidak mau mendengar. Jika demonstra teriak, jika analis politik berkoar sana-sini, ilmuwan LIPI memberikan rekomendasi, maka mereka hanya sekedar bicara dengan tembok. Seperti kata puisi Wiji tukul “bunga dan tembok” dibawah ini (sebagai selingan):

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak Kau kehendakiadanya
Engkau lebih suka membangun Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!

Dari Puisi perlawanan sunyi itu, refleksi kita adalah anomali bangsa. reformasi lebih dari 10 tahun ini hanya mempertebal tembok istana, mempertajam duri penguasa dan makin berat kita menghadapi tembok. Andai saja tembok bisa mendengar. tentu darah tidak akan tumpah sembarangan dan sia-sia di negeri para ‘bedebah’ ini. Agar istana telinganya mau sedikit terbuka bacalah sajak ‘negeri para bedebah’ in:i

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor menjatuhkan bebatuan menyala-nyala
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau menjadi kuli di negeri orang Yang upahnya serapah dan bogem mentah
Di negeri para bedebah Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedangkan rakyatnya hanya bisa pasrah
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya


Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan !
(Adhie M Massardi,2009)
Telinga Tembok
Jika istana merasa demokratis tentu bukan melawan kritik dengan cara membabi buta dan jurus mabok tapi dijawab dengan program nyata, dijawab dengan menceraikan negara dengan sistem kapitalisme global. Tapi ironis memang kalau sekarang negara mengendus-endus cara berhutangnya kalau dengan IMF tidak berani takut dikritik aktifis, takut dicerewetin mahasiswa, takut didemo dan takut akan bayangannya sendiri yang makin gontai dan kalah cepat gerak sama partai lawannya. Rezim Cikeas, adalah periode paling ragu sepanjang sejarah Indonesia, paling penakut sepanjang kisah kekuasaan di Asia bahkan di dunia. Contohnya, ketika masyarakat marah dengan malaysia pak Beye cukup menulis surat cinta mengharu biru ke Malaysia, ketika komunitas Islam Indonesia marah dengan isu rencana pembakaran qur-an di Florida pak Beye ngirim surat ke Obama. Jika semua diselesaikan dengan surat, apa gunannya Presiden dipilih, untuk apa uang rakyat dihamburkan untuk biaya pemilu langsung yang mencapai trilyunan rupiah itu. Berdasarkan perhitungan KPU, biaya Pemilu 2009 sebesar Rp. 47.941.202.175.793, yang bersumber dari APBN dan APBD yang diturunkan pada tahun 2008 dan 2009. Dan berdasarkan pengumuman KPU tanggal 24 Oktober 2008, jumlah daftar pemilih tetap adalah 174.410.453. Jadi biaya pesta demokrasi ini per orang adalah Rp 271.376,-

Fakta yang lain menunjukkan betapa presiden kita mengalami (maaf) “disfungsi ereksi” dalam bahasa intelektual jalanan. Ketika KPK dihancurkan oleh para ‘bajingan tengik’ koruptor, oleh kekuatan jahat iblis konglemerat hitam kelas kakap, apa yang dilakukan pak beye? Ketika cicak dikunya-kunya buaya pak beye hanya diam dan beretorika bahkan nulis lirik album. Ketika konflik di Palangkaraya, ketika Ahmadiyah sebagai minoritas ditindas, ketika banjjir bandang Wasior? Apa guna presiden? nonton bola kan pak Beye. Jika boleh saya mengutip salah satu judul tulisan di media memang ada benarnya yang saya gubah: “Rakyat dan perekonomian tetap jalan, tanpa presiden”. Dan apa yang diungkapkan Syafii Maarif seratus persen saya setuju bahwa kita tidak merasakan kehadiran pemimpin negara beberapa tahun terakhir ini. Kita punya elit pejabat tapi selalu minta dilayani. Ketika butuh, ketika rakyat memerlukannya? Presiden malah Nonton Bola, Anggota dewan study banding ke Yunani. Dalam bathinku kenapa tidak sekalian saja keduanya study banding atau kunjungan kerja ke akherat atau ke alam kubur.

Capek rasanya, tapi menulis, sebagaimana kata Pram, adalah bekerja untuk keabadian. Menulis, selain tugas pribadi, adalah tugas nasional. Maka saya salut pada kompasioner, pegiat facebook yang update status politiknya, blogger yang memihak pada rakyat kecil, dan semua anak bangsa yang dalam alam pikir dan tindakannya selalu berjuang merubah keadaan. Mari kita bersatu padu samakan langkah dan perjuangan untuk meruntuhkan tembok yang menutup telinga istana. Lawan!

Oct 21.2010

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme