Makna Mudik Bagi Pejabat Publik


Oleh David Efendi, Presiden Partai Rakyat Membaca
(1)Mudik sudah menjadi ritual budaya setiap tahun tidak hanya dirayakan oleh ummat Islam semata namun sudah menjadi bagian integral dari denyut nadi anak bangsa dari sabang sampai merauke, dari pulau berpenghuni paling padat sampai pelosok pedalaman yang sepi. Mudik, mengalami perluasan makna menjadi kebudayaan bangsa di mana setiap individu merasakan arti mudik secara kolektif dengan dimensi pemaknaan masing-masing. Ada mudik dengan muka berseri-seri, ada juga yang mengalami kesulitan luar biasa semenjak di perbekalan, finansial, sampai berdesak-desakan di jalan. Kadang justru mengalami kenaasan yang menyedihkan. Kita bisa lihat data tahun lalu yang menurut perhitungan dari beberapa sumber bahwa pada tahun 2010 tercatat sebanyak 1.351 kasus kecelakan selama mudik lebaran, 302 orang meninggal, luka berat 405 orang dan luka ringan sebanyak 826 orang (KPAI, 2011).
(2)Mudik sendiri memang harus disematkan makna di dalamnya bahwa ‘kembali ke fitra’ setelah sebulan digembleng dengan keras dalam ritual bulan ramadan dengan segala kesibukan dan refleksi di dalamnya. Kembali ke fitra artinya mengembalikan hati dan fikiran ke dalam ‘kesucian’ layaknya awal manusia diciptakan. Mudik, selain diartikan membersihkan diri juga menyambung silaturahmi dengan keluarga dan sesama yang mempunyai derajat istimewa dalam ajaran Islam dan agama lainnya sekalipun mempunyai makna sosial yang serupa. Mudik, bisa juga diartikan kembali mempertautkan makna yang ilahiyah dan makna duniawiyah dalam dimensi hablum minallah dan hablum minna nass. Namun ada bebarapa pemaknaan yang berbeda dari fenomena mudik di era serba liberal ini.
(3)Bagi komunitas di kampung-kampung banyak orang tidak merasakan ‘mudik’, karena mudik sejatinya adalah fenomena kelas menengah, para pekerja di kota, dan para pejabat yang ‘reses’ panjang karena bulan mudik ini. Banyak berita menginformasikan, bagaimana para pejabat publik menghabiskan jata pekerjaan/amanah untuk liburan ala mudik ini. Para politisi juga tidak kalah heboh, berbagai model kegiatan dilakukan dalam rangkah menyapa konstituen untuk persiapan pemilu atau pilkada. Inilah faktam bahwa berlebaran tidak melulu aktifitas agama, atau budaya namun juga menjadi ajang ‘pembolosan massal’ atau juga kampanye para pejabat atau calon pejabat publik. Makna mudik, kemudian dapat disimpangsiurkan kedalam berbagai kepentingan.
(4)Jika kita mau refleksi sedikit, loyalitas anak bangsa ini ditentukan oleh minggu lebaran dimana semua orang pesta pora untuk menyenangkan diri masing-masing namun kita bisa melihat bagaimana sosok penjaga pintu air, penjaga palang kereta, polisi, seniman jalanan, tentara di perbatasan, dan para pekerja negara yang tidak bisa libur di hari H lebaran. Merekalah sejatinya para pejuang bangsa yang menyadikan bangsa dan roda ekonomi tetap jalan. Para petani di kampung-kampung juga berhenti hanya ketika sholat dan sehari saja ketika lebaran bahkan ada yang langsung kembali mengurus tanah pertanian. Karena mereka hanya berfikir lebaran bukanlah sesuatu yang perlu dilebih-lebihkan sementara pekerjaan untuk menghidupi api kompor di rumah juga kian mendesak. Berbeda dengan pejabat publik, yang bisa mempopulerkan diri di minggu ‘mudik’ dengan berbagai fasilitas negara mulai mobil dinas, THR, dan sebagainya yang ini tidak dirsakan oleh orang-orang yang tinggal desa.
(5)Lalu bagaimana harus memaknai mudik? bagi pejabat publik yang memang dipilih baik langsung atau tidak langsung oleh rakyat maka prioritas mereka seharusnya adalah untuk kepentingan umum seperti upaya mengurus jalan dan infrastruktur agar tidak terjadi kecelakaan, kekerasan, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya. Janganlah pejabat berkerah putih selalu mempersalahkan operator lapangan ketika terjadi kecelakaan padahal para pejabat publik kelas atasan itu hanya santai-santai di hari lebaran sementara bawahan harus rela tidak bertemu keluarga. Ini adalah satu fenomena bentuk-bentuk pengkambinghitaman terhadap ‘bawahan’. Kesadaran naif, bahwa bawahan selalu salah dan tidak tahu apa-apa sementara atasan adalah tahu segala-galanya dan kebal atas kesalahan harus dibuang jauh. Pejabat publik, mutlak dan aboslut harus bertanggung jawab kepada publik dan karena kita negara yang mengimani tuhan maka gerak dan langkahnya harus pula dapat dipertanggungjawabkan secara seksama dihadapan sang Pencipta.
(6) Tahun ini mudik harus lebih bermakna dan jauh dari malapetaka. Jika para pejabat publik memang amanah tentu segala daya upaya untuk membantu sesama menggapai hakikat mudik haruslah menjadi prioritas utama dari nafsu pribadi untuk merayakan mudik sementara begitu banyak kewajiban disandarkan dipundak para pejabat publik. Mudik juga harus diartikan untuk menjadikan pemerintahan lebih transparan, lebih bijak dan bajik sehingga semua pejabat berkomitmen untuk tidak lagi mengembat fasilitas negara, kekayaan dan aset negara. Mudik harus diartikan sebagai semangat bersama untuk memerangi segala kejahatan termasuk kejahatan koruptor negara. Semoga idul fitri lebih bermakna bagi para pejabat publik dan demi sebesar-besarnya kesejahteraan dan pelayanan publik.
August 24, 2011
Salam,

David Efendi, dua lebaran tidak pulang. Bang Toyib.com

Survey Pro-Kontra Pemilihan Gubernur DI Yogyakarta


Derrida Hafiz, belajar di Yogyakarta

Kepada warga dunia maya,
Di mana saja berada.

Beberapa bulan lalu, ketika tragedi merapi belum benar redanya dan ribuan pengungsi belum ada kejelasan nasib dan masa depannya. Banyak kalangan menyatakan pernyataan Pak Beye yang menyinggung system monarkhi ala Jogjakarta mengundang “emosi” publik bahkan bisa dikatakan sampai pada derajat “marah massal”.  Sebagai akibatnya, ekspresi protes pun turun ke jalan dalam berbagai bentuknya yang sampai hari ini masih digelar dalam panggung perebutan ruang publik dan wacana untuk mereka yang pro keistimewaan, penetapan dan bahkan yang referendum. Di beberapa sudut kota ada tulisan “pejah gesang nderek sultan” (hidup mati ikut sultan), lalu ada juga “siap menumpahkan darah demi penetapan gubernur dan wakil”. Ketoprak dan kesenian sebagai ekspresi cultural pun marak terlepas apakah ini sudah masuk dalam ranah politisir atau murni persoalan identitas, budaya lokal yang terancam.

Banyaknya informasi yang belum lengkap dan simpang siur bahkan banyak berita ngawur, survey siluman dan klaim pendukung dan oposan dan sebagainya. Bahkan disinyalir isu ini terus menggelinding karena RUUK DIY juga masih mangkrak di senayan dan belum ada kabar yang menggembirakan bahkan banyak versi membingungkan publik mengenai RUUK versi siapa yang harus didukung dan sesuai aspirasi rakyat. Makna demokrasi di JOGja pun bisa berbeda rupa dan rasa sehingga semua ini menjadikan kami tertarik untuk melakukan survey via online kepada kompasianer yang budiman dan budiwati.
Terkait isu tersebut, bagi teman-teman yang mempunyai pendapat baik pro atau kontra mengenai mekanisme pemilu untuk gubernur dan wakil gubernur DI Yogyakarta silakan mengklik link berikut: http://www.surveymonkey.com/s/5QMXXRJ. Suvrvey ini hanya berisi 10 pertanyaaan yang ringan dan responden bisa mengekpresikan berbagai pendapat dan argumennya di sini.

Tehnik pengisian
1. Klik link yang sudah tersedia yaitu http://www.surveymonkey.com/s/5QMXXRJ.
2. Mohon dijawab secara independen, singkat dan jelas.
3. Bebas memberikan jawaban dan informasi terkait.
4. Mengisi sesuai dengan konteks pertanyaan yang dimaksud.
5. Jangan lupa klik ‘done’ setelah menjawab semua pertanyaan di bagian paling akhir pertanyaan

Terima kasih atas partisipasinya, semoga ada manfaatnya untuk pembelajaran bangsa ini ke depan. Jika ada pertanyaan dan informasi lebih lanjut silakan kontak via email: masdavid_4all@yahoo.com.


Dalang Zaman Edan, "Negara Paripurna" dan Suatu Kesimpangsiuran

David Efendi
Fenomena alam yang ditunjukkan dengan berbagai jenis 'bencana alam' adalah disinyalir oleh banyak orang sebagai dampak ikutan dari gejala kerusakan cara berfikir manusia memandang alam, memandang manusia itu sendiri. Bencana datang di saat kapitalisme mencapai titik klimaks. Tidak heran, ulat bulu pun mengguncang ibu kota pusat pemerintahan kapitalis Indonesia. Tidak hanya fenomena bencana, berbagai fenomena lainnya seperti fenomena Nurdin Halid, fenomena keistimewaan Yogyakarta, 'legalisasi' korupsi, pengemplangan pajak, menghotelkan penjarah, statemen politisi yang dangkal dan innocent, wisata bui ala gayus, istigasah menjelang UN, Bentrok warga dan polisi, membaca takbir sebelum bunuh diri atau menghabisi nyawa orang lain akhir-akhir ini di tanah air, dan masih banyak lagi 'kegilaan' dan kesalahan berfikir dan bertindak lainnya. Ini bukan fenomena alam biasa, ini sudah menjadi sebuah absurditas jika seorang mimpi meniadakan fenomena manusia Indonesia tersebut. Ini adalah lebih dari dalang edan akhir zaman, tetapi sebuah kesimpangsiuran cara berfikir. Otak sudah kram, dan nafsu yang menggangtikan bagaimana otak itu harus dioperasikan.

Pada kesempatan ini, sederhananya, penulis hendak mengajak diskusi tiga hal yang menurut saya sedikit membantu kita menjalaskan beberapa persoalan akut dan semrawut dalam negeri sendiri mulai dunia sunyi nan gelap para koruptor, radikalisasi agama atau atas nama tuhan sebagai bagian dati fenomena tergerusnya akal sehat dan iman cerdas.Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian yang akan dimulai dari siapa dibalaik dalang kehancuran tatanan sosial budaya bangsa, negara paripurna yang terkait isu negara agama dan negara sekuler, dan penjelasan mengenai kesimpangsiuran akal penguasa dan elit negara ini.

Persoalan pertama adalah siapa dalang zaman edan ini? Jika ramalan kalabendu Ronggowarsito atau Joyoboyo benar adanya tentu kita memahami perputaran sejarah kembali jahiliyah di mana hukum moralitas menjadi relatif dan bukan persoalan utama dalam interaksi antar manusia. Siapa kuat dan menang itu satu manifestasi kekuasaan yang biasa kita saksikan di panggung sandiwara tanah air. Hukum memang bisa dibeli dengan biaya yang tidak semua orang bisa membeli, akhirnya segelintir orang yang akan menang dan berhak mengklaim kebenaran di depan hukum negara. Karena sudah hukum alam pemanang adalah satu diantara seribu, atau sedikit sekali sehingga korban pasti berjatuhan di mana-mana. Tanda zaman edan kedua adalah robohnya akhlak para pemimpin atau hilangnya ruh kepemimpinan sebagai instrumen pengabdian menjadi kekusaan yang membutakan. Di samping membutahkan, kekuasaan itu melemahkan manusia dengan berbagai cara dan melanda di semua bidang kehidupan baik sosial, ekonomi, budaya. Masyarakt mikin makin parah dan berat penderitaannya, dan semua tahu akan hal ini termasuk penguasa. Tetapi karena akhlak sudah roboh, tidak ada kewajiban untuk membelah yang lemah dan papa. Kita saksikan perjuangan Prita, para 'pejuang' di KPK, Munir, dan korban ketidakadilan hukum dan kemunafikan kekuasaan lainnya.

Lalu siapa dalangnya? Mungkin semua orang terlibat dalam tragedi kemanusiaan termasuk kita, penontonnya. Sebagaimana Iwan Fals menyindir dalam nyanyiannya bahwa dalang itu semuanya sudah edan (gila), termasuk polisi, dokter, presiden, menteri, wakil rakyat, dan seterusnya termasuk pembaca, termasuk saya. Mungkin. Namun demikian kita terus menanyakan apakah kita bagian dari kegilaan (masalah), atau bagian dari kewarasan (solusi) karena sangat sayang sekali, untuk menjaga kewarasan saja susah, apalagi menawarkan kesembuhan untuk sesama. Kemarin wajar saja, ada status FB teman yang menyatakan: "mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal". Ini psimisme yang sedang melanda, jika tidak ada penawar maka racun mematikan ini akan melumpuhkan Indonesia. Lebih dari ulat bulu.

Kedua adalah bagaimana manifestasi iman dalam keseharian kita. Jika kita merenung dan mempertanyakan diri kita apakah iman itu menjadikan manusia berani mati dan menjadi pengecut dalam hidup? apakah iman lantas membenarkan dalih pembantaian? Apakah Muhammad sang Nabi melakukan serupa kepada orang tidak beriman? Jika iya pun pasti ada konteks misalnya periode perang dan damai karena keluarga beliau saja tetap tidak beriman sampai akhir hayat. Kenyataannya, agama-agama misionaris sangat ingin menunjukkan loyalitas kepada tuhan bahwa mereka membela tuhan dengan berbagai cara termasuk mengkhianati firman/ayat-Nya. Inilah dilema mayoritas yang gampang terancam dalam keadaan paling nyaman dan kuat sekalipun. Ibarat raja hutan mengantuk tetapi merasa banyak ancaman disekelilingnya akhirnya sepanjang hidupnya menaruh curiga kepada warga hutan lainnya yang beragam tersebut.

Bentuk negara kita pancasila, meskipun banyak bilang sistem pemerintahan kita demokrasi sekuler. Pendapat itu tidak ada salahnya tetapi kita tahu ada departemen agama, ada sekolah agama milik pemerintahan, ada agama resmi dan tidak resmi, ada aliran tidak/sesat dan ada yang ekstrem digolongan sesat dan menyesatkan. Inilah salah satu kontributor kekerasan massa akibat negara satu pihak emncampuri tetapi satu pihak 'mendukung' kekerasan secara tidak langsung dengan aturan hukum multitafsir. Kelompok Islam moderat berdalih pancasila sudah final, begitu juga kelompok nasionalis dan agama minoritas, sementara keyakinan agama disebrang lain hanya meyakini bahwa hanya hukum tuhan yang kekal, tidak ada hukum manusia lebih baik dari hukum tuhan. Tidaklah mengherankan jika perdebatan asaspancasila, atau pancasila sebagai ideologi negara tidak pernah ada habisnya dibicarakan. Pahitnya, adalah ketika ini memakan korban manusia tidak bersalah yang dibantai atas nama tuhan, atau dibalik atas nama itu, adalah bentuk kosnpirasi kekuasaan iblis. Lagi pula, negara ini tidak akan pernah paripurna bagi semua orang, kemiskinan baik moral dan ekonomi tetap menjadi persoalan tersendiri selain masalah absurditas elite yang kropos dan hampa dari nilai pengabdian kekuasaan. Maka yang sesungguhnya paripurna adalah, mengutip Syafii Maarif, kehancurannya.

Terakhir dan perlu direnungkan. Ada beberapa kelompok manusia di negeri ini, jumlahnya tidak banyak, tidak lebih dari lima persen dari jumlah penduduk 238 juta. Tetapi mereka menguasasi bisa jadi 80% sumber perekonomian dan penghidupan masyarakat. Jadi, pperan negara yang 'memonopoli hajat hidup orang banyak' sebenarnya sudah lama dialihkan atau diswastakan kepada keluarga atau pemilik perusahaan namun masyarakat tidak menyadarinya. Ketidaksadaran ini karena pemerintah menyembunyikan kebenaran (bohong) demi melanggengkan kekuasaan. Cara berfikir, cara melihat persoalan kerakyatan itu mengalami kesimpangsiuran, tidak bisa membedakan mana pangkal dan ujung masalah. Inilah kenyataan yang sedang kita hadapi, betapa pemerintah kita saat naive jika harus berkorban dan bekerja keras untuk rakyat. Kemenangan di negeri ini adalah kemenangan slogan, kejayaan image para penguasa melalui rekayasa penipuan ala media dan berlindung dibalik angkah-angka dan data statistik untuk mendapatkan apresiasi dunia intrenational (kapitalis global). Kesimpangsiuran berfikir itu melanda juga di masyarakat kita, karena pragmatis nya semua hubungan sosial harus dikomersialkan atau paling tidak ada keuntungan ketika bergabung dalam komunitas tertentu atau berinteraksi dengan orang tertentu dalam keseharian. Wajar dan tidak mengagetkan jika para penguasa itu berusaha sekuat tenaganya melipatgandakan keuntungan ketika korupsi itu bukan tabuh. Korupsi sudah disimpangsiurkan dalam otak para aktifis koruptor menjadi sesuatu yang dilegalkan oleh nurani lantaran berfikir bahwa "jika bukan aku yang mengkorupsi, pasti orang lain yang mempunyai kesempatan akan mengkorupsinya", "mumpung ada kesempatan, mumpung yang lain belum datang menghabiskan,", "itung-itung untuk balik modal pemilu yang lalu dan modal untuk pemilu ke depan." Itulah bentuk kesimpansiuran kenapa korupsi itu melenggang kangkung, karena dalih agama dan moralitas gagal merasuk dalam benak dan otak pelaku.

Parahnya, tidak hanya itu termasuk 'surga' yang manusia hanya punya sedikit pengetahuan itu pun dimonopoli kelompok tertentu dengan mengklaim kebenaran dan atas nama tuhan membumihanguskan kemanusiaan. Inilah sesungguhnya klimak dari kesimpangsiuran berfikir. Kalau pun tobat hari ini, mungkin sudah sangat terlambat?. Too late.

Iman, Geser Kiri Dikit!

By David Efendi

Saya tidak tahu pasti apakah pembaca bisa menerka apa yang hendak penulis sampaikan dalam note sederhana ini. Bagi pembaca Marx atau teori social revolusioner istilah kanan dan kiri menjadi kata kunci label seseorang atau group tertentu. Beberapa dekade setelahnya banyak muncul generasi baru yang dinamakan tengah atau moderat, ada juga kiri baru, kanan baru, kanan-kanan dan seterusnya sampai menemukan titik estrem kanan dan ekstrim kiri. Orang mengidentikkan kanan sebagai kebaikan atau sisi kemalaikatan sementara kiri sebagai keburukan atau sisi iblis yang melekat pada jiwa manusia dan perilakunya.
Singkatnya, kanan adalah konservatif atau kubu religious sebagiamna dipraktekkan dalam parlemen Eropa atau Amerika yang mana kubu kanan dan kiri bersebrangan kursi dengan lainya. Sehingga muda menebak apa itu golongan kiri yaitu kelompok yang ‘anti-agama’ dengan membangun moralitas dalam kehidupan kelas pekerja atau proletar atau istilah Sukarno menyebutnya marhaen (nama petani miskin). Ideologi ini dianggap sebagai ideology yang dekat dengan kehidupan orang kebanyakan dan menentang liberalisasi yang selalu menambah keterpurukan kelompok marginal.

Iman geser kiri artinya seseorang mengalami transformasi dari kanan yang agamis menjadi sedikit ke-kiri-kirian yang berfikir bahwa berjuang untuk mustadafin atau kelompok rentan kapitalisme adalah bagian dari manifestasi religuisitas dan bukan oposisi biner yang haram. Beberapa istilah terkait in pernah dipopulerkan Amien Rais yang menyebutnya tauhid social, muslim Abdurrahman mengistilahkan islam transformative atau ada istilah di dunia akademik barat social democrat atau yang sedikit konstekstual adalah muslim democrat (Saiful Mujani & W. Liddle). Anak-anak muda kemudian mencari tahu, membaca apa yang terjadi dalam panggung sandiwara dunia yang terus saja mengalami pasang surut dan pasang naik yang muncul dari berbagai paradok modernitas dalam perang, embargo, dan pemerataan kemiskinan segala penjuruh dunia.
Saya sendiri menganggap pergeseran ini diakibatkan oleh beberapa factor diantaranya adalah pertama faktor pendidikan. Perang ideology dalam tatanan wacana belum lah usai bahkan semakin melebar yang awalnya hanya antara Eropa yang sosialis dan Amerika yang liberal, tetapu juga disusul negara-negara di timur tengah, Asia yang terus saja mengikuti konstetasi antara social demokrasi, liberal demokrasi, atau sama sekali anti demokrasi dalam konsep sosialis-komunism. Kedua adalah factor kegagalan demokrasi dan liberalisasi kapitalisme-globalisme yang justri menggusur kemakmuran untuk semua menjadi kesejahteraan yang terakumulasi pada seglolongan orang/kelompok tertentu. Lahirnya ekspoitasi manusia modern menjadikan orang kembali menanyakan kebenaran mantra komunisme-sosialisme yang menjajikan kehidupan yang lebih adil secara seosial, ekonomi dan politik.

Dunia memang sudah tunggang langgang (Tofler), ideology sudah berakhir (Bell), begitu juga sejarah kemanusiaan telah disudahi dengan kemenangan demokrasi liberal(Fukuyama) dan orientaslisme menjadi kajian para pemikir politik tanpa menyadari bagaimana hegeomoni alam pikir itu juga digunakan untuk melawan dominasi yang pada akhirnya akan berjalan langgeng karena tidak ada yang disebut common lasting enemy (musuh bebuyutan bersama), Iman saya sudah geser kiri jalan terus, bagaimana dengan Iman anda? Semoga Imin tidak maju terlalu jauh sehingga apa yang disebut Toni Blank sebagai “suatu kesimpangsiuran” itu dapat semaksimal mungkin dihindarkan!

Tontonan Politik Kita Lebih Buruk dari Senetron


David Efendi
Note 1 April, 9, 2011
Ini bagia dari testimoni pribadi yang tentu bukan dimaksudkan sebagai pemikiran politik ala pengamat politik juga bukan dimaksudkan untuk menandingi karya hebat Gramsci dalam penjarah yang beratus-ratus halaman tebalnya. Ini adalah catatan keprihatinan secara pribadi atas berbagai kejanggalan, paradok, malpracktik, atau misderection dalam jagat politik kita yang disuguhkan oleh politisi, pengambil kebijakan, yang diekspos media setiap detik setiap waktu. Orang sering complain betapa buruk muka cermin dibela sebagai bagian dari kehidupan politik atau istilah buya Syafii bahwa politik itu memecah dan membela namun di sisi lain menurut saya juga mempersatukan jika ada kesamaan nafsu dan kesamaan aib sehingga dagang sapi menjadi tontonan sehari-hari everyday phenomena dalam realpolitik show di berbagai tempat baik di pusat atau daerah. Karena itulah, orang seperti Toni (dalam toniblank show) jutsru menjadi menarik untuk menjadi tontonan 'sebagai suatu pengacakan dalam suatu kesimpangsiuran hit and run'. Ini saya sudah tertular virusnya. Karena batas intelektual tukang dengan intelektual abdi masyarakat sudah sirna. What is to be done?, kata Lenin. Tetapi saya tidak mendiskusikan apa yang bisa kita lakukan dalm note ini (maybe later).

Mengutip Gramsci dalam catatan di penjarah (Quaderni del carcere) yang ditulis antara tahun 1929-1935 memberikan satu tembok pemisah antara intelektual tradisional (traditional intelectual) dengan intelektual aktifis (organik intellectual). Ini sangat memprihatinkan, betapa banyak orang yang mengaku intelektual organik bekerja di ribuan LSM atau NGO dan juga intelektual menara gading yang tidak mau bersebelahan tempat duduk dengan masyarakat miskin (powerless society, namun bangsa ini belum beranjak kemana-mana (go nowhere) alias apa yang disebut involusi baik dalam alam pikiran atau alam pergerakan. Para intelektual tukang dan budak intelektual yang banyak baik dduduk di kampus atau di senayan mereka setali tiga uang dalam hal ini karena tidak memberika progres yang berarti bagi kelangsungan hidup manusia Indonesia yang mana angka kemiskinanan terus menanjak dengan tingkat dana kualitas penderitaan yang diambang batas. 

Karena bagi Lenin, menurut saya termasuk di Indonesia hari ini, sudah tidak ada lagi batas antara intelektual organik dan traditional, antara intelektual dan kelas pekerja maka pemikiran revolusi harus muncul dari banyak arah untuk memperbaiki rezim hegemonik. Intelektual organik sudah dibajak kekuasaan, intelektual traditional sudah sibuk mengurus adminitrasi dan birokrasi maka intelektual gelemboang berikutnya apa yang kita sebut sebagai intelektual revolusioner dimana kelompok ini harus dilahirkan tanpa memperdulikan kasta dan kelas tertentu. Kekerasan kehidupan sosial yang timpang yang akan melahirkannya dan bukan dari rezim ilmu yang berada diketiak lembaga donor yang akan menjadi benar-benar penggerak. Jenis intelektual ini tidak sulit didepatkan asalkan ada memontum yang tepat. Karena itu seringkali ini disamakan dengan lamanya menunggu "godot" atau menunggu "juru selamat."

Saya pribadi, jenuh dan bahkan sangat jenuh. Saya merasa tidak ada hal yang bisa ditulis atau diperdebatkan secara intelektual apa yang sedang dilakono pemerintah Indonesia baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kelompok civil society melempem dan bergesar sporadis kearah yang tidak diniatkan dan ini yang mengancam terwujudnya demokrasi yang substnasial. Seolah manusia politik Indonesia sudah mengalami disorientasi sejaka dalam alam pikir. Mereka saya kira kehilangan epistemologi, ontologi, dan idelogi kebaikan umum. Satu-satunya yang tersisa adalah keinginan memperbanyak kekayaan dan melanjutkan tampuk jabatan dan kekuasaanya secara membabi buta. 

Kasus agak lama lapindo dan bank century gagal dan batal ditegakkan kebenarannya dan keadilannya. Kasus Gayus dan berbagai sindikat mekelar kasus lainnya, pelemahan KPK tidak pernah ada upaya serius membela kejujuran dan martabat kemanusiaan 200 nyawa anak bangsa yang tertatih-tatih setiap hari akibat kesuliatan hidup dan kelamnya harapan akan masa depan. Di saa yang sama politisi itu seolah mengutuk kemiskinan dengan naive bahkan magic bahwa miskin sama sekali bukan akibat bobroknya pemerintah Indonesia. Nakhoda kapal Indonesia mabok daratan dan luatan, politisi sudah lupa dimana moralitas ditaruh dan bahkan akhir-akhir ini suguhan politik hanya speutar isu selangkangan poligami, sidang DPR yang diplesetkan menjadi sidang pariporno akibat anggota fraksi PKS tertangkap kamera mengakses website porno. Ini mengalami erosi besar-besaran karakter perpoliikan kita bila dibandingkan dengan perdebatan politisi awal pasca kemerdekaan di mana subtansi kehidupan berbangsa justru lebih nampak.

Melirik politik Indonesia saya kehilangan semangat untuk belajar ilmu politik. Ilmu politik, nampaknya, semakin berkembang dan beragam methode pendekatannya namun masyarakat manusia khususnya Indonesia semakin menunjukkan pola-pola purbakala--hukum rimba, siapa kuat dia menang persetan salah benar. Kasus Gayus, Lapindo, dan para mafioso yang masih berlenggang kangkung adalah bukti betapa bangsa ini memang snagat jahiliyah (anti peradaban). Bagi saya, semua nampak bukan dalam gerakan mengarah kepada pencerahan dan berbasis ilmu tetapi politik kita seolah menunjukkan bentuk-bentuk barbar, uncivilized, dan menunjukkan bangsa ini terpuruk dalam mentalitas dan kepribadian. Saya sangat terpukul akibat serentetan kejadian politik para mafia, bandit, dan sebagainya yang semakin menggejala dan dalam saat yang bersamaan para pekerja, buruh, TKI, anak TKI bergelimpangan mengadu nasib dan sering berakhir dalam tragedi baik kerusakan hubungan keluarga, anak-anak yang psikologinya bermasalah akibat kehidpan yang pahit dalam kemiskinan dan ketiadaan orientasi hidup. Pemerintah adalah mutlak, sebagai penanggung jawab atas tragedi-tragedi kemanusiaan. Jika tidka bisa mengurus rakyat, buat apa punya pemerintah!

Intelektual kita hari ini, bisa saja menikmati kekuasaan, menikmati beasiswa dengan segala kemewahan yang didapatkan lalu jika balik ke Indonesia akan menjadi abdi rakyat. Tetapi menjadi abdi rakyat tidaklah muda, sebab ada abdi lain yang jauh lebih menggiurkan yaitu menjadi abdi kekuasaan dan penguasa. Memang tidak secara langsung, tetapi dengan cara halus yang bertopeng dalam berbagai bingkai agenda riset profesional, dengan rekomendasi ratusan lembar lalu mereka laporkan ke meja kekuasaan dan dimasukkanlah almari arsip laporan tahunan. Selesai. Lalu project itu dilanjutkan seperti biasa. Saya kira trilyunan uang negara untuk beasiswa dan riset, tetapi bagaimana progress anak bangsa? adakah penurunan derajat derita mereka? adakah pola yang muncul generasi anak muda yang idealis, ideologis, dan progresif dalam kehidupan sosial? Ironisnya yang muncul adalah kaum pragmatisme muda didikan pemerintah yang super pragmatis pula yang kini sedang menuhankan angka-angka dalam survey. Angka kemiskinan diacak-acak dan dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan, claim keberhasilan, klaim pentingnya ketahan pangan melalui impor beras dan sebagainya. Bukan hanya bangsa ini ibarat kampung tidak bertuan, atau desa tanpa kepala desa, tetapi lebih dari itu bangsa ini seolah sedang dipimpin mamyat berjalan  tanpa hati tanpa perasaan. Tidak ada salahnya, kalau ada orang marah dan memaki bahwa politik sehari-hari ellit Indonesia lebih buruk dari sinetron Indonesia. Jika ada kelompok orang mengklaim sinetron tidak mendidik maka poltiik ala politisi dan penjahat kerah putih pebisnis merusak bangsa. Slowly but sure negara ini akan kolap (collapse state) ketika bumi alam sudah habis diekspolitasi dan hutang tidak mampu dibayar lagi.

Anak-anak muda, wajar, tidak tertarik kepada dunia ilmu pengetahaun, tidak suka pendidikan tinggi jika itu hanya membenai hidup sementara tradisi ilmu bukan hal utama dala m percaturan ekonomi politik Indonesia. Atas nama solidaritas group, politisi, KKN tetap bisa ditempuh. Anak muda belajar oportunis dari pengusa, bukan dari ustadznya. Sementara kyai-kyai sedang membebaskan nafsu politiknya lupa dibelakangnya ada ummat yang perlu nasehatnya, membutuhkan tauladan dan pencerahannya. Ada kalimat begini muncul,"Maaf, Kyai tidak dirumah, sedang kampanye, sedang lobi para koruptor untuk membangun pesantren. Begitu juga mantan aktifis demokrasi anti otoritarian". Naudzubillah. Ini negara, sampai kapan akan bertahan, mungkin lama dan perih kita menyaksikannya. Saya merasa capek dan jenuh melihat dunia kelam dan hitam berkabut di negeri sendiri, tetapi aku malu ketika aku tidak bisa berbuat apa-apa. Menulis adalah salah satu pembebas, minimal melepaskan belenggu dalam akal pikiranku. Itu saja.

Kebangkrutan Total?

David Efendi.
Akhir-akhir ini saya paling sering mendengar dan membaca kata bangkrut atau dalam bahasa Enggris “bankrupt’. Orang-orang kampong saya yang sepulang dari Malaysia bilangnya “bengkrat” dan bahasa ekstremnya adalah collapse. Sederhananya bangkrut dan sejenisnya adalah peristiwa yang buruk dalam kehidupan seseorang, organisasi, atau perusahaan besar. Tapi ada beberapa pengecualian yang sangat paradok. Bangkrut sering kali hanya ancaman tetapi seirng orang atau organisasi pemerintahan bisa bertahan bertahun-tahun walau hidup dalam tekanan utang.

Taruhlah contoh, negara yang dianggap hebat technologi dan pernah menglami keajaiban ekonomi yang bernama Jepang. Tahun 1980s GDPnya naik mencapai 89% kalau tidak salah, dan birokrasinya bersih dan disetir orang-orang ahli di bidangnya. Tetapi akhir-akhir ini hutangnya mencapai 192, 10% dari GDP (2009), dibayar setiap tahunnya dan lagi dikepung bencana tsunami, gempa, dan ancaman radiasi nuklir akibat bencana berturut-turut itu. Toh Jepang tidak collapse. Tetapi professor saya yang berdarah Jepang, bilang, bahwa perekonomian jepang sedang dalam bencana. Dia bilang, Japan’s economic is disastrous. Jepang, walau negaranya penghutang berat, rakyatnya bisa dibilang sangat baik dan menopang negaranya. Inilah bentuk nasionalisme paling modern yang saya tahu. Lagi, pertanyaanya kenapa Jepang tidak kolaps? Karena lagi-lagi leadership dan jiwa nasionalisme-volunterismenya yang tinggi pada rakyatnya.

Mirip dengan Jepang, rakyat terutama pemilik perusahaan raksasa America jauh lebih kaya dari America sendiri. Di beberapa website terkemuka di America ada namanya “national debt clock” yang mana setiap detik menghitung bagaimana hutang As mengalami penambahan dan rasanya tidak akan terbayar lunas sampai ‘qiamat’. Kunjungi web ini: http://www.usdebtclock.org/. sampai detik ini hutang AS secara nasional mencapai lebih dari 14 juta trilyun US dollar atau 90,8% dari GDP (see http://www.economicshelp.org/blog/economics/list-of-national-debt-by-country/). Majalah time sendiri pernah menerbitkan satu edisi tahun 2010 yang lalu dengan headline judul “America my broken country”, sementara majalah the economist yang terbit di London memuat headline dalam covernya “China will buy the world” di mana ini sebagai sindiran bahwa Amerika sudah dibawah tekanan hutang China. So, China bisa membeli apa pun termasuk Amerika. Ini memang ekstrem, tapi mengundang kecurigaan kita kenapa AS tidak kolaps. Lagi, karena perusahaan in, memalui link di China bersama-sama mensupport, meminjami dana agar AS tidak terlalu cepat masuk ke bilik sejarah. Apa kata dunia? Jika demikian terjadi begitu saja. Sebagai bangsa yang mengakui superior, polisi dunia, dan agen perdamaian dan kemanusian, hal it terus saja diperjuangkan.

Kenapa AS tidak gulung tikar? Lagi, jawaban De Tacquiville dan Robert Putnam masih saja relevan di mana “social capital” dan budaya “assosianism” atau voluntary organization yang tinggi rakyat America termasuk bagaimana orang-orang kaya di negeri Paman Sam ini merelakan memeinjamkan uangnya kepada negara, untuk perang, dan sebagainya sebagai bagian dari kecintaan atas bangsa yang dibanggakan sebagai bangsa berperadaban, civilized society, dengan patriotism yang belum tergoyahkan. Perang, di Libya, hari ini adalah dalam rankah mencegah AS hancur terlalu dini. Entah orang akan mencibir atas nama minyak dan bisnis senjata, yang jelas perbuatan ‘anti kemanusiaan’ itu sangat dimaklumi dan dipahami secara luas oleh rakyat Amerika. So, pertanyaan why US goes to war itu sudah lama tidak ditanyakan lagi ke bangsa Amerika. Pertanyaan itu hanya didebatkan dalam media negara-negara dunia ketiga, termasuk kita yang di buat bulan-bulanan sama media international.

Sementara, Indonesia sendiri hutangnya relative kecil disbanding AS dan Jepang, tetapi harga yang harus dibayar untuk menunda pembayaran hutang jauh lebih besar dari apa yang dibayar AS dan Jepang. Pemerintah Indonesia yang lemah, harus memberikan konsesi berupa berbagai macam hak ekspolitasi negara lain memalui korporasi di bumi nusantara seperti Freeport, block cepu, dan sebagainya. Banyak perusahaan underground yang beroperasi tanpa publikasi di berbagai area di Indonesia. mengerikan, jika membayangkan kerusakan alam 20 tahun ke depan. Semua orang merasa tidak peduli, sedikit saja yang snagat peduli.
Masih terkait perihal kebangkrutan, hari ini 25/4 Kompas memuat berita yang perlu saya kutipkan. Begini: “Kebangkrutan anggaran di sejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebabkan tiga hal, yaitu terlalu gemuknya birokrasi, mismanajemen, dan tekanan politik lokal. Pada saat yang sama, daerah-daerah gagal meningkatkan pendapatan asli daerah untuk menutup kebutuhan anggarannya. Tak mengherankan, banyak daerah yang berutang kepada pihak ketiga karena keuangan mereka bangkrut.” Akibatnya, 83% APBD habis hanya untuk biaya operasional, dan bebarapa kabupaten kemungkinan akan kesulitan membiayai kegiatan lainnya. Nalar liar saya, hal ini yang akan mempermudah pebisnis hitam beraksi liar pula karena investasi mereka diperlukan oleh pemda yang benar-benar butuh uang dan mendesak. Ibarat, ornag kampong miskin yang butuh uang lalu lari ke rentenir alias lintah darat untuk emergency tetapi mereka akan lebih lama menderita akibat menghampiri si lintah darat. Ini bisa dikatakan dilemma atau memang salah pilih. Bahasa jawa disebut grusah-grusuh.

Saya jadi bertanya-tanya, apakah semua kabupaten mengalami nasib yang sama? Ini adalah alamat kebangkrutan total karena sumber keuangan daerah akan bergantung kepada pemerintah pusat pada akhirnya sebagaimana kasus BLBI kali ini hal yang mirip akan terjadi dalam rangkah proyek “desentralisasi”. Masuk akal, saya kira banyak yang mengalami nasib yang sama karena dimana-mana persoalan birokrasi mengemuka, banyak pegawai dengan minim produk. Setiap hari, dimana-mana ada mismanagemen. Tetapi, setiap tahun mereka merekrut karyawan yang belum tentu jelas apa yang akan dikerjakan. Banyak yang dianggap hanya karena factor keluarga, KKN, dan seterusnya. Betul apa yang dikatakan Dahlan iskan dan Rhenald Kasali, sering sekali institusi pemerintahan mengalami apa yang disebut : the wrong man in the wrong place, padahal the right man in the wrong place saja sudah parah. Apa jadinya?
Pertanyaan pamungkasnya, jika AS dan sekutunya termasuk Jepang collapse alias gulung layar bareng-bareng, apakah kita juga sama-sama masuk dalam museum sejarah? Ada ide? Ku tunggu ide cerdas anda!

Salam super
Halemanoa, 3/24, 2011

Sampai mana Perburuanmu?

---Catatanku tentang ‘gerakan ilmu’[2]

Oleh David Efendi)*
“Tanpa membaca, peradaban kelam, langit hitam, dan kemanusiaan pun akan tenggelam”


Waktu TK ABA di Lamongan saya sama sekali saya hanya mengenal gambar-gambar ditempel di dinding dan buku cerita yang sangat tua kalau tidak dikatakan butut. Di madrasah saya, tidak disediakan perpustakaan atau ruang baca, di mushola dan masjid hanya ada kitab al qur-an yang umurnya lebih tua dari kebnayakan anak seusia saya bahkan sangat tua sampai warnanya mirip tanah terbakar. Menginjak memasuki smp saya melihat ada perpustakaan, tetapi hanya buku dari pemerintah saja alias buku paket dan saya tidak tertarik. Saya bersukur ada majalah kuntum yang waktu itu saya diberitahu pak guru bahwa yang membuat adalah pelajar Muhammadiyah di Yogykarta. Saya tidak kebayang di mana Yogyakarta itu lokasinya. Kita tidak bisa membaca di rumah hanya membaca di sekolah karena jumlahnya terbatas.

Ketika saya beranjak ke SMA di Lamongan, saya melihat perpustakaan besar tetapi sebagian besar memang buku mata pelajaran tetapi ada beberapa hanya saja kita dibolehkan ememinjam selama seminggu, dan jika terlambat dendanya 500 rupiah. Tahun 2002, saya belajar bahasa inggris di Pare dan tinggal di ponpes Darul Falah, ada perpustakaan punya tokoh islam di sana yang konon dulu dipakek Geertz meneliti. Tidak heran, jika di perspustakaan itu sebagian besar bukunya bahasa inggris, jerman, dan perancis serta bahasa belanda. Saya hanya bisa membaca judul-judul bukunya saja. Saya menyesal kenapa tidak serius belajar bahasa inggris sehingga saya hanya berhenti membaca cover buku saja.  Setahun kemudian saya masuk sebagai mahasiswa UGM, di sanalah saya menemukan perpustakaan raksasa yang tidak ada bandinganya selama hidup waktu itu, kita bisa meminjam 3 buku dan maksimal dua minggu. Saya sudah senang karena ada beberapa perpustakaan dan bisa pinjam di beberapa tempat baik di fakultas, jurusan, atau fakultas lain.


Kelebihan tinggal di Yogyakarta, kita sama sekali tidak ada kesulitan akses buku. Jika uang gak cukup beli tentu saya biasa embaca di social agency, atau di gramedia. Di shopping waktu tahun 2003-2004 masih kayak pasar biasa dan bebas membaca tidak seperti sekarang suasananya tidak nyaman untuk membaca di depan toko. Selain, itu banyak pameran buku yang menyenangkan karena selain harga murah, kita bisa berburu buku di tumpukan buku yang dipamerkan, mencari buku bermutu dan berkualitas. Biasanya, saya sangat hobi fotokopi jika menemukan buku bagus milik teman atau perpustakaan. Saya masih ingat, teman foto kopi itu banyak selain di kampus, ada teman IPM yang selalu join kopi buku yaitu Mas Mul, Mas Danan, Kapur, Arie, Nugi, Umat Iskam, dan Mudzakkir. Sebagai nostalgia, antara tahun 2005-2008 saya merasakan nikmatnya menyeruput kopi the di kantor dengan membaca dan diskusi bersama di KH dahlan atau agus salim 64a, atau di angkringan sego kucing dengan tidak melupakan membawa buku, dan tentu saja di warung pecel lele Muallimin. Walau tidak membaca secara sunguh-sungguh di tempat umum, tapi membawa buku itu memancing diskusi, membuka pertanyaan dan menjadi Sokrates satu sama lain.

Tahun berganti, benua yang aku injak pun berubah. Dari benua asia ke benua Amerika. Saya menikmati petualngan mencari buku. Di kampus saya perpustakaan ada dua bangunan masing-masing 4 lantai dan 6 lantai. Bukunya jutaan jumlahnya saya tidak tahu. Setiap hari ramai dikunjungi mahasiswa dan masyarakat bahkan homeless biasa membaca buku sebab masuk perpustakaan tidak diminta menunjukkan student ID card. Waktu pinjam pun lama yaitu 6 bulan dan tanpa batasan jumlah buku yang kita pinjam. Ini adalah saat-saat yang aku tunggu, bisa berinteraksi dan berdialog dengan jutaan ilmuwan dalam karya-karya buku terhebat dalam sejarahnya. Saya, jika dibandingkan mahasiswa lain yang notabene berkulit putih, jauh tertinggal dalam membaca. Mereka sepertinya hanya membaca dan membaca setiap waktu aku melihatnya. Mereka tidak kesulitan emmbaca karena memang bahasa mereka, sedangkan saya sedikit terseok-seok di perjalanan membaca. Tapi, perburuan ini sudah lumayan jauh, tidak ada kata lain selain harus maju terus, no retreat no regret.

Stategi lain ketika kita tidak bisa mendapatkan akses buku adalah dengan membaca ringkasan buku yang sekarang banyak dimuat di media massa, internet, dan sebagainya. Dikusi juga sarana yang penting untuk mengunyah buku dan menjadikan kita mempunyai pengetahuan yang lebih luas dan beragam pula. Dengan demikian kita diharapkan mampu mengolanya dan saat yang tepat menuliskannya entah membantah, merevisi, atau sama sekali memunculkan ide baru yang lagir dari proses pembacaan.Membaca, sebaiknya, memang atas motivasi sendiri dan bukan karena motivasi pragmatis di luar diri kita sendiri. Mengapa demikian, karena itulah yang akan menjamin kelangsungan tradisi membaca kita dan anak cucu kita.

Kesempatan akses buku zaman sekarang sangat berbeda dengan keadaan 20 tahun yang lalu atau ketika zaman orde baru misalnya dimana sensor buku diadakan, dan kebebasan menulis juga dikekang sehingga secara langsung berdampak kepada kuantitas dan ragam bacaan yang tersebar di perpustakaan, pasar, dan media. Hari ini, taman baca dan perpustakaan berkembang pesat, di Indonesia penerboit buku luar biasa berkembang pesat tinggal kita bertanya kapan kita mulai emmbaca, kualitas buku seperti apa yang kita harapkan, atau bahkan berharap pemerintah mensubsidi buku murah. Tidak bisa disangkal lagi, kita berada di lautan ilmu. Tapi, sebagian besar kita tidak memanfaatkannya. JIka perumpamaan ayam mati di lumbung padi itu berlaku dalam kehidupan dan tradisi membaca kita tentu ini sangat ironis. 

Sekedar berbagi, saya sangat menaruh perhatian trdaisi membaca di keluarga saya di mana saya mengalokasikan anggaran yang 'besar' untuk membeli buku ketimbang membeli barang lainnya. tepat dua bulan setelah anak saya lahir, Hafiz, saya dan istri membelikan kado untuknya buku dari Mizan yang kata banyak orang too expensive. Dan nampaknya anak saya merasakan kehebatan buku itu dan menekuni setiap hari berinteraksi dengan buku. Kado ulang tahun istri, tidak ada yang istimewa selain buku bacaan. Dengan uang sebesar 9 juta saya habiskan membeli buku pada tahun 2008. Selain buku untuk rumah baca ada juga buku yang siap dijual. Idealisme masih kuat, saya akhirnya mewujudkan rumah baca di desa saya diliahirkan tetapi antusiasme warga tidak dapat membahagiakan diri saya sehingga saya merasa terus tertantang. Saya juga memberikan buku ratusan mungkin kepada guru di Sedayu dan di Modo,. Lamongan agar dapat dimanfaatkan sedemikian rupa. Waktu saya di IPM saya mempunyai ambisi gerakan hibah buku nasional tetapi kurang menggigit lantaran kesibukan saya pribadi dan lemahnya tim yang ada. Walau demikian ratusan buku berhasil dikumpulkan dan didistribusikan ke beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Jember, dan Lamongan.

Hanya disini saya berhasil menjumpai, bagaimana 24 jam dalam seminggu, 30 hari dalam sebulan perpustakaan tidak ada tutupnya dan tidak ada kekurangan pengunjungnya. Namanya Library Hamilton dan Sinclair Library. Keduanya ada di University of Hawaii, USA dimana saya sedang menempuh study master saya. Suasana tenang dan nyaman begitu terkesan saya di lingkungan library, banyak teman, dan juga sumber bacaan yang tidak terbatas, jika kita butuh referensi apa saja semua tersedia, mulai buku abad pertama manusia mengenal tulisan sampai buku mutkahir yang keluaran terbaru dengan wacana paling up date di bumi. Subhanallah, lautan buku ini menguji nyali saya: apakah terus membaca atau mati di dalam tumpukan ilmu.

Tidak ada hari tanpa membaca. Itulah kesimpulan umum saya. Saya juga tidak mensia-siakan waktu bercengkerama dengan buku setiap hari. Paling tidak 6 jam membaca sehari lumayan bisa membantu mengerti dunia. Di sisni, di gedung-gedung library di sini anehnya tidak saya temukan motivasi membaca atau peringatan agar menjaga buku. Mungkin lantaran manusianya sudah sadar fungsi sesungguhnya buku ditulis. Berbeda dengan di Indonesia, plakat motivasi membaca menempel di banyak sudut library. Suatu hari di tahun 2007 saya ke perpustakaan pasca sarjana UGM, utara Graha Sabha Pramana, tertempel lukisan besar bertuliskan: Banyak baca banyak lupa, tidak baca tidak lupa. Aku tidak sulit memahami sindiran itu, tetapi setahu saya kebanyakan kita ya masuk golongan tidak baca tetapi merasa bisa dan mengerti. Ini repotnya. 

Salah satu manfaat membaca, sekiranya, adalah menjaidkan kita berproses tiada henti dari learn-unlearn-learn, atau meminjam buku yang ditulis Donals Rafsfled (2011), mantan sekretaris pertahanan USA yang diberikan judul known and unknown. Ini juga berasal dari kegiatan membaca sehinga kita tahu bahwa kita tahu, kita tahu bahwa kita tidak tahu, kita tidak tahu bahwa kita tahu, dan jangan sampai yang paling parah terjadi akibat kita ogah membaca yaitu orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.

Untuk menutup catatan ini saya akan mengutip dan mengadopsi kata Alfin Tofler,
" The illiterate of the 21 st century will not to be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn and relearn." Bahwa buta aksara zaman sekarang bukanlah orang yang tidak bisa membaca dan menulis, melainkan orang yang tidak mau membaca dan menulis sebagai pekerjaan utama manusia dalam memahami dunia sekitar dan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Fatalisme modern, adalah ketika orang menolak belajar yang diawali dari penolakan terhadap tradisi membaca dan menulis. Mari membaca untuk mengubah dunia!

Berburu Buku, Berburu Ilmu


---Catatanku tentang ‘gerakan ilmu’

Oleh David Efendi)*

“Gerakan membaca dan gerakan ilmu adalah kembar siam. Menjadi senyawa dalam IPM. Artinya IPM tidak bisa hidup tanpa gerakan membaca-ngilmu”

Saya pribadi sudah terlanjur mengimanai dua proverb yang popular dalam kehidupanku dan tentu saja bagi pecinta buku. Pertama, saya yakin tanpa buku, tidak ada ilmu. Meski banyak alasan dan argument bahwa tanpa buku orang bisa mendapatkan ilmu, tetapi keyakinan saya  bahwa sepandai-pandai orang yang belajar dari bukan buku, masih lebih dahsyat orang yang mengasuh menimbah ilmu dari buku. Buku adalah satu-satunya guru yang tidak ada matinya. Sedangkan proverb kedua adalah saya ambilkan dari satu kalimat yang saya lupa sumbernya karena saya membaca kalimat ini dari buku beberapa tahun yang lalu, bunyinya: “Jika semua rakyat berdaulat membaca, maka tidak ada penguasa yang berdaulat kata-katanya.”. jadi, membaca buku, pengetahuan, dan ilmu bisa meledakkan revolusi social dan politik. Sekejam apa pun penguasa itu.

Sebagai aktifis gerakan membaca, kalau boleh saya mengklaim begitu, saya tentu merasakan apa yang dirasakan Taufik Ismail mengenai tragedy nol buku yang sampai sekarang nampaknya belum beranjak sedikitpun. Buktinya, seorang teman memposting berita menarik dari kompas. Berikut adalah cuplikannya: “…sekitar 70 persen buku terserap di Pulau Jawa-Bali. Tingginya biaya distribusi buku ke luar Pulau Jawa menjadi salah satu sebab timpangnya penyebaran buku. Selain menghadapi persoalan distribusi buku yang tidak merata, perbukuan di Tanah Air juga menghadapi persoalan rendahnya minat baca masyarakat. Berdasarkan kajian Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang punya minat baca tinggi. Satu buku rata-rata dibaca lima orang. Kondisi ini menempatkan minat baca Indonesia terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur.” (Kompas, Feb 11, 2011)
Kemudian, teman-teman saya menanggapinya serius. Teman-teman ini rata-rata bergerak diide yang smaa dengan saya. Mereka adalah pembaca ulung tak terkalahkan, pemburu buku di mana saja, dan dengan uang pas-pasaan ditambah hutang untuk membeli buku baik di pameran, loak, buku bekas, dan foto kopi. Teman-teman yang saya namai pemburu buku itu adalah antara lain: Mudzakkir, Moel, Paksi, Nugi, Hendra, dan beberapa yang tak saya sebut namanya. Saya benar salut atas tradisi membaca dalam kesehariannya. Karena lingkungan itulah yang menjadikan saya betah dan tahan lama di situ. Saya pun mencoba mencintai buku sebisa saya, berburu buku sebanyak saya bisa karena itu akan bisa menjadi warisan berharga.
Perdebatan hangat muncul ketika Masmulyadi memberikan satu kritik bagaimana pemerintah harus memberikan kotribusi besar untuk memerangi budaya baca yang tengkurap.  Masmulyadi merefleksikannya dengan apik sebagai berikut: “Perjuangan generasi pak Karno di mulai dari kerja wacana lewat kelompok studi dan kerja pena (nun walqalami wamaa yasthuruun). Tahun 1924, Hatta terlibat di Perhimpunan Indonesia dengan jurnalnya Indonesia Merdeka. Soekarno pada 1926 mendirikan kelompok studi Algemene Studieclub dengan jurnalnya, Indonesia Moeda disaat yang sama pak Karno juga menjadi editor di majalah Bendera Islam milik Syarekat Islam. Demikian halnya dengan Natsir di Persatuan Islam dengan jurnal Pembela Islam. Dari menulislah revolusi Indonesia dihelat ... menulis mensyaratkan membaca. Pemerintah dengan sangat baik menyiapkan bacaan bermutu kelas premium, "Serial SBY". Selamat membaca. Semoga bacaan ini menginspirasi revulusi Indonesia jilid II.

Sementara kawan Mudzakkir merospon dengan psimisme dan optimism, pesimisme terhadap political will pemerintahan mengenai kemauan mencerdaskan anak bangsa. Persoalan mendasar menurutnya adalah akses terhadap buku yang terbatas. Bisa jadi buku sangat mahal terjangkau. Dalam hal ini organisasi pelajar masih mempunyai peluang untuk berbuat banyak diantaranya baik menggandeng instansi pemerintah (membangun Taman Bacaan2), instansi swasta CSR perusahaan yang pro terhadap melek baca, hingga instansi luar negeri. Saya tertarik mengutip kata-kata Mudzakkir yang layak jadi maudlotul hasanah: “Menurut saya gerakan ini tidak boleh ditunda-tunda, karena kalau kita menunda, maka sama sj kita mendiamkan bencana peradaban. Tragadei Nol buku yang disampaikan oleh Taufiq Ismail semakin dahsyat terjadi hampir merata di seluruh negeri.”  Dia, dalam bahasa saya benar-benar mengajurkan berburu buku dan agar tangkapan bukunya besar, tentu perlu dibangun sekutu.

IPM, selamatkan anak bangsa dari kekurangan membaca? Genderang perang sudah pernah ditabuh IPM semenjak 2003 secara formal, memunculkan term 'gerakan iqro' yang tetap sampai sekarang masih menjadi subordinat dalam pikiran dan perbuatan pengurus IPM itu sendiri. Banyak hal lebih sebagai superior alias prioritas para aktifis yang butuh mengejar masa depan, karier, dan kepuasan individu lainnya. Saya memahami, bahwa negara tidak ingin rakyatnya terlalu cerdas, sehingga akses buku hanya terbatas pada buku-buku yang sudah basi, tidak menarik, buku yang ada hanya mengajarkan ketertundukan kepada sistem dominan dan hegemonik. Maka bacaan alternatif harus dipopulerkan, seperti buku-buku resist. Bahkan saya berangan-angan suatu saat saya berharap IPM menerbitkan buku dengan judul, "kiat-kiat menjadi 'nabi' di zaman modern, atau yang lebih provokatif, post nabi Mirzam, dan sebagainya yang menyulut orang berfikir berbeda dan tentu harus memegang prinisp pencerahan bukan sekedar membuat sensasi.

Sehingga kedepan, militan tidak hanya didefinisikan sebagai alumni TMU, atau yang hubungannya baik dengan elit Muhammadiyah, atau tahajud, tetapi sebagaimana buku bacaan itu mencerahkan dirinya dan menciptakan perubahan-perubahan berserta kemenangan yang diraih. Jadi tentu saja kita semua mau ikhtiar untuk selamatkan IPM dari kegagalan gerakan membacanya dan kembali mendayung atau membangkitkan bahtera NUH untuk menyelamatkan buku-buku pencerah, dan anak bangsa yang mau membacanya.  Dengan, kata lain, gerakan ilmu hanya bisa dimulai dari berburu buku dengan sekuat tenaga sebagai manifestasi dari man jada wa jada dan jika ingin mendapatkan pencerahan dan mencerahkan orang maka secara sabar harus mau menghadapi proses, membaca, mengkritisi, menuliskan dan mendisksikan dengan teman-teman sesama penumpang kapal gerakan membaca itu. Kedua ini adalah tepatnya sebagai manifestasi dari man shobaro zhofiro, barang siapa mau bersabar maka akan mendapatkan hasil yang baik (beruntung). Bukan rahasia lagi, membaca adalah aktifitas yang full of kesabaran dan kearifan serta dalam banyak hal radikal. Jadilah, sekali-kali, pembaca yang radikal.

Membaca jika berarti menyelamatkan agama, jadi Selamat berjihad untuk anda semua!

Hamilton Library, Feb 11, 2011

Negara Nyaris Bangkrut itu

12967256362132255273
David Efendi

Dunia terus bersiklus menghadapi takdir dan beserta halang rintang yang dilakukan dan diperbuat manusia. Di satu sisi, orang dulu mengklaim bahawa peradaban muncul dari hilir sungai-sungai besar seperti sungai Nil, Gangga, Eufrat, dan sebagainya. Dari aliran itu falsafat hidup kokoh berdiri dan dipertahankan. Di sisi lain, bangsa-bangsa barat dengan percaya diri bahwa mereka jauh lebih beradab, dengan semangat kapitalisme, baik yang di jiwai atau tidak oleh etika protestan itu mengenalkan kepada dunia system pasar, eskploitasi, kolonilisme, dan imperalisme sampai globalisasi. Karena mereka menemukan tekhnologi lebih dulu, karena itu merasa mempunyai kekuasaan maha besar dibandingkan negara pedalam nan tertinggal jauh (backwardness countries).
Hari berbagai pergolakan dunia terjadi, bara api revolusi kembali mengangga setelah sekian ratus tahun diam di eropa, amerika, dan asia. Semua sedang menunggu kejutan besar. Bumi makin panas, merentah, dan sirna…lenyap, hilang tanpa jasadnya.

Dalam waktu bersamaan, kita lihat beberapa negara “super power ” sedang menuju kebangkrutan hebat. Amerika terjebak hutang nasional luar biasa jumlahnya sampai $14 trilyun (national debt clock-http://zfacts.com/p/461.html). Konon China adalah pemberi pinjaman uang terbesar ke Amerika). Sumber lainnya menyebutkan bahwa Hutang pemerintah Amerika sebesar $11,033,157,578,669.78. Jika semua penduduk Amerika disuruh arisan maka setiap kepala terbebani $36,000, termasuk laki-perempuan, dan anak-anak (http://www.cbsnews.com/8301-503544_162-4872310-503544.html). Hutang Amerika bertambah sebasat $1.72 million setiap menitnya selama waktu yang tidak ditentukan. Anehnya Amerika tetap bisa memberikan pinjaman kepada bangsa miskin lainnya agar bisa survive; anehnya tetap menjadi super power, anehnya, banyak negara yang menghamba kepada Amerika. Tidak bermasksud merendahkan Pak Beye, tetapi faktanya kebijakan pemeirntah Indonesia selalu didekte dan digurui oleh Amerika. Siapa yang meragukan ini?
Begitu juga Jepang yang dianggap bangsa besar juga bangsa penghutang luar biasa dan mengalami persoalan serius mengurus rumah tangga sendiri: aging, birokrasi yang tanpa reputasi, kemunduran perdagangan, dan sebagainya. Tahun 2005, menteri keuangan Jepang mengumumkan bahwa hutang pemerintahnya mencapai 795,8 trillion yen ($7,1 triilion) dan terus mengalami kenaikan; atau jika jumlah tersebut ditanggung setiap penduduknya maka setiap kepala mendapatkan beban sebesar 6.24 million yen atau sebesar $55,900. Hutang ini membebani 160% dari total GDP negara. Sebagai negara industry dan sempat mendapatkan ‘miracle’ pada tahun 1960-an pasca perang dunia 2 (Chalmars Johnson, 1982), tentu ini menghentakkan semua orang.

GDP-Gross domestic product, adalah sebagai indicator penting kesehatan suatu bangsa/negara. Jika hutang yang dimiliki lebih dari 100% dari GDP maka negara tersebut sedang dalam bencana menyambut kematiannya. Kira-kira begitu ekstreemnya. Mari kita lihat data hutang negara dan porsentasi dari GDP: Zimbabwe 304.30 %;  Jepang 192.10 %; Lebanon 160.10; Jamaica 131.70; Singapore 117.60;  Italia 115.20%; Yunani 108.10; Sudan 104.50%; Islandia 100.60%; Amerika 39.70%; Mesir 79.80%; dan Indonesia  29.80 % (http://www.economicshelp.org/blog/economics/list-of-national-debt-by-country/). Nampak, Indonesia masih mending, tetapi potensi untuk terjebak lebih parah sangat besar karena tingkat keparahan hutang Indonesia juga dipengaruhi oleh negara bosnya seperti Amerika, Jepang, dan sebagainya. Singapura yang kelihatannya mentereng juga besar hutangnya!
Secara umum, negara di Asia tenggara hampir semua mengalami persoalan kemiskinan, rawan pangan, dan jebakan hutang. Walau Jepang mengalami kemiskinan relatife serius, toh jepang bisa meminjamkan uangnya ke Indonesia dan negara lebih miskin (based on GDP), sekali lagi, untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Jadi kesimpulannya negara ‘besar’ sangat tergantung negara miskin. Dan apabila negara miskin ini mengalami revolusi rejim, secara massa, menjadikan pemerintah berganti haluan, melakukan nasionalisasi, membangun dictator independen, maka kolaps juga negara seperti Amerika dan sekutunya. Bagi saya, ini adalah hokum alam. Sesuatu yang kelihatan lemah tidak bisa diremehkan. Sebagai bukti, kita melihat Tunisia yang berhasil mengusir diktatornya, Mesir sedang dalam proses meruntuhkan Firun Hosni Mubarak, dan beberapa negara lainnya sedang menunggu hari dimana revolusi ditunjukkan kepada dunia.

Teori institutionalism desain yang saya pelajari tidak bisa menjawab, teori planned rasional atau market oriented dan sebagainya saya kira mungkin karena saya kurang paham atau memang tidak cukup bertenaga menjelaskan keragaman dan kemassifan persoalan yang muncul seluruh negara negara di bumi. Teori kehebatan kapitalisme dengan laissez faire juga amburadul di Amerika ketika bertubi-tubi dihantam badai krisis, dan sementara komunisme juga tercerai berai dan justru melahirkan perbudakan luar biasa di Jernam, Rusia, dan sebagainya (paradok modernitas; sosialisme; komunisme). Negara semakin bercampur tangan atau semakin lepas dari system kehidupan social ekonomi politik keduanya membawa bencana. Bukti kemunculan kapitalisme semu di Asia Tenggara, kegagalan kapitalisme di berbagai negara developed, juga tergunncang nya ekonomi Jepang, Taiwan, dan Korea yang bagi saya menjadi kritik bagi Kunio Yoshihara (1992) yang hanya menempatkan asia tenggara sebagai lading capitalist rented dan tergantung kepada negara.

Apakah ini arus balik zaman? Atau kah ini sedang terjadi revolusi peradaban bumi akibat penuaan yang menjadikan iklim panas dan pikiran terbakar? Atau keadilan sedang menunjukkan jati dirinya sebagai hukum alam setelah hokum manusia yang timpang, terseok, dan roboh di tangan para penguasa? Tidak ada teori yang mutlak bisa menjelaskan fenemena ini. Apakah ini menjadai justifikasi bahwa 2012 adalah akhir kehidupan di planet bumi? Saya hanya bisa mengatakan bahwa mungkin dengan pertanda berbagai kekacauan di bumi manusia ini mengamini ramalan qiamat tahun depan, 2012. Wallahu ‘alam.

Feb 3, 2011

Pak Beye, Good News itu Bad News!

David Efendi

Pakem ilmu jurnalistik itu nampaknya tidak lekang oleh waktu dan senantiasa laku untuk digunakan pada kondisi sekarang. Semakin ambisius pemerintah mengungkapkan keberhasilannya menunjukkan ""kerja kerasnya" hanya untuk menutupi kelemahannya (political image). Jubir dan penasehat presiden digunakan untuk mencounter kritik. Jadi apa pun berita bagus yang disampaikan pemerintah adalah 180 berbeda dari kenyataan. Jadi, masuk ke dalam kategori berita buruk (bad news). Baru saja detik.com melangsir berita soal kebanggan Pak Beye dalam keberhasilannya di tahun 2010 sebagai peringkat dunia nomor 16 entah bidang apa yang dia maksudkan dan indicator pun tidak bisa dipertanggungjawabkan secara nyata di hadapan rakyat Indonesia dan tentu saja tuhan yang maha esa.

Seperti biasa, pak Beye tetap mempertahankan citra baiknya dengan banyak mengadakan show of force kepada publik bahwa banyak pendukungnya dan bisa mengklaim keberhasilan dengan dukungan kaum intelektual yang sudah dijinakkan. Klaim keberhasilan selalu lebih santer disbanding pengakuan atas kegagalan dan kelambanan mengurus persoalan kronis negara baik korupsi, pemberdayaan kelompok miskin, atau persoalan premanisme dalam pemerintahan. Pak Beye, nampaknya, semakin sering pidato semakin hebat menutupi kebobrokan pemerintahannya. Ia mengungkapkan pelampiasan dalam tajuk keberhasilan pemerintah. Hal itu diutarakan SBY dalam pembukaan Raker 2011 di hadapan menteri, pimpinan lembaga negara, pimpinan BUMN, dan pengusaha, di Ruang Plenary Hall, JCC, Senin (10/1/2011).
Dalam berita itu disampaikan ada 10 keberhasilan pemerintah di tahun 2010 antara lain; (1) Pertumbuhan ekonomi yang baik; (2) Sejumlah indikator kesejahteraan rakyat meningkat seperti bidang pendidikan dan kesehatan; (3) Stabilitas keamanan dan politik terjaga. Pemilu kepala daerah umumnya lancar. Kalau ada protes itu wajar sebagai bagian dari demokrasi; (4) Minus terjadinya kelemahan hukum, tetapi pemberantasan korupsi, pemberantasan terorisme, penanggulangan narkoba terus berjalan dengan baik; (5) Keamanan dalam negeri terjaga; 6. Proses investasi dan pelayanan publik di daerah kemajuan; (7) Kemiskinan dan pengangguran dapat dikurangi; (8) Beberapa indikator eknomi mencatat rekor seperti income perkapita, cadangan devisa. Indonesia berada di peringkat 16 ekonomi dunia; (9) Upaya pengembangan UMKM makin baik di daerah;dan (10) Aktif di berbagai kegiatan luar negeri. Contohnya aktif di dalam pemeliharaan perdamaian dunia.(detik.com, Jan 8,2011)

Penulis ingin melihat realitas yang kontradiktif sebagai bantahan atas arogansi kekuasaan pemerintahan orde Cikeas juga ke dalam 10 butir utama antara lain; (1) Pertumbuhan ekonomi bisa jadi secara matematika baik tetapi realitas tidak demikian; (2) menurut pemerintah sejumlah indikator kesejahteraan rakyat meningkat seperti bidang pendidikan dan kesehatan. Kita tahu sendiri bagaimana mahalnya sekolah—hanya bisa diakses orang beruang; (3) Stabilitas keamanan dan politik  kita pertanyakan. Kekerasan etnis, kekerasan berbasis agama, dan lemahnya perbatasan negara. Sekali lagi indikatornya apa?; (4) Sangat jelas, penegakan hokum doyong dimana-mana, tidak ada kasus besar terselesaikan seperti century, Gayus, dan pelemahan terhadap KPK dan MK secara sistematis. Selain itu pemberantasan korupsi hanya bagian kecil-kecil saja; (5) Tidak ada bukti, bahwa keamanan dalam negeri benatul-betul nyata; 6. Proses investasi dan pelayanan publik hanya bagus di sebagaian kecil daerah. Pelayanan pemerintah pusat paling buruk; (7) Kemiskinan dan pengangguran dapat dikurangi secara kuantitas, tetapi kualitas penderitaan semakin parah; (8) Beberapa indikator eknomi yang digunakan pemerintah sangat developmentalis, terjebak kepada angka-angka sebagai pengikut bank dunia atau ADB; (9) Upaya pengembangan UMKM hanya program kerja setoran dan jangka pendek untuk bisa dikatakan sebagai anti-poverty policy; dan (10) Keaktifan Indonesia dalam forum international hanya sebagai pendengar setia tanpa mampu berkontribusi kepada keputusan penting. Taruhlah contoh soal global warming, perang timur tengah, penggundulan hutan, bahkan masalah dalam negeri mengatasi premanisme FPI dan Pamongpraja saja ‘impoten’.

Nampak sekali pak Beye samakin takut dengan bayangan sendiri di tengah frustasi publik yang sewaktu-waktu bisa meledak. Kita membaca pemerintah akan kembali mengeluarkan program penyantunan kepada rakyat sejenis BLT menjelang pemilu 2014 untuk menjaga lingkaran kekuasaan tidak melesat ke mana-mana dan berada tetap di bawah control Pak Beye dan pelaku bisnis besar di Indonesia tanpa mengecewakan dunia internasional, lembaga donor, dan institusi financial dunia. Kesimpulannya adalah bahwa buruk akan tetap buruk, upaya menutupinya hanya menunda kemarahan publik dan kegoncangan sosial.

Ref:
http://us.detiknews.com/read/2011/01/10/101139/1542824/10/good-news-di-tahun-2010-versi-sby?9911012)

Arogansi Kekuasaan

by David Efendi on Sunday, January 9, 2011 at 4:05am


"L'État, c'est moi" ("Negara adalah saya") 
---Louis XIV dijuluki juga sebagai Raja Matahari, Perancis

Orang atau segerombolan orang menjadi sombong (arogan) ketika mempunyai kekuasaan (power). Mereka bisa memaksakan kehendak karena punya modal kuasa dan mendominasi alat kekerasan secara 'sah'. Mereka, setelah mengantongi kekusaan baik legitimasi tradisional, karismataik atau legal-formal, lalu merasa sudah memiliki otoritas (authority) untuk bertindak atau tidak bertindak terhadap isu sosial tertentu atau kepentingannya. Jika kekuasaan itu melekat sebagai pejabat pemerintahan maka kekuasaan itu berarti kemampuan untuk berbuat, tetapi kemampuan itu tidak selalu digunakan secara tepat. Dalam banyak hal, misalnya, negara mampu membela hak kaum tertindas tetapi mereka berbuat bukan untuk itu. Mereka digerakkan untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan kelas tertentu (baca: kapitalis).

Persoalan pertama muncul akibat kesenjangan pemahaman yang sangat besar antara pemerintah dan yang diperintah mengenai apa itu sebenarnya 'kekuasaan', dan 'jabatan politik' lainnya. Para politisi terpilih dalam pemilu meyakini bahwa kekuasaan adalah bagaimana untuk mendapatkan apa dan dengan siapa akan mempercepat tercapainya tujuan utama. Sementara rakyat atau konstituen berfikir bahwa politik adalah sarana mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa dan negara dengan memperjuangkan kebutuhan rakyat. Para penguasa berhutang budi kepada para sponsor dalam pemilu sehingga 99% upaya dan daya digunakan untuk membalasa budi para investor politik secara setimpal atau bahkan lebih baik lagi jika berkeinginan menjago lagi dalam pemilu berikutnya. Rakyat yang terlalu berharap lebih, bisa menderita kecele yang sangat besar.

Kekuasaan itu punya wajah janus. Artinya, jika dipegang dan dikendalikan oleh orang yang tepat dan menjaga amanah rakyat tentu kekuasaan bisa berbuah kesejahteraan. Sebaliknya, apabila kekuasaan mutlak itu dimiliki individu atau kelompok banidt, preman baik berkerah putih atau biru maka kekuasaan itu cepat atau lambat akan merusak sendi-sendi masyarakat sipil. Di tangan pihak ini kekuasaan menjadi angker, berdarah dingin, dan sangat arogan.Ini kemudian memunculkan model pemerintahan totaliter, kleptokrasi, dan predator state, meskipun jargon yang digunakan adalah demokrasi sebagai syarat akreditasi dunia international dan akses mencari pinjaman (hutang) luar negeri.

Pertanyaannya, siapakah aktor 'jahat' itu? bukankah negara ini dikuasasi oleh intelektual dan golongan cerdik pandai dengan kredibilitas pengetahuan, teknokrasi, yang jauh melampau pemimpin bangsa setengah abad yang silam? Mengapa tidak ada tanda-tanda perbaikan sedikit pun? Jumlah kemiskinan semakin meningkat dan semakin parah di berbagai lini kehidupan.

Arogansi kekuasaan ternyata berada tidak jauh dari peran serta kaum intelektual atau cendekiawan dan profesional. Mereka atas nama legitimasi pengetahuan ikut menjadikan rakyat sengsara sebab pengetahuannya digunakan untuk mengabdi kepada penguasa dan penguasa mengabdikan dirinya kepada kekuasaan global yang bernama kapitalisme itu. Jejaring penghambaan berakhir kepada runtuhnya kemanusiaan rakyat yang notabene pemilik kedalutan negara. Golongan intelektual menjadi parasit bagi orang miskin sehingga di sinilah letak arogansi intelektual mulai dibenarkan. Dalam term Benda, disebut sebagai pengkhianatan intelektual (the betrayal of intelectual).

Mereka, kaum cendekiawan mendukung kebijakan neoliberal, mendukung pengrusakan likungan dengan riset dan survey, menolak kearifan lokal dan menganggap local value sebagai local stupidity, dan sebagainya. Barat telah mengubahnya emnjadi anti nilai-nilai luhur aseli bangsanya dan menjadi silau untuk mendapatkan kepuasan intelektual jika mampu merubah pikiran rakyat.
Kasus ini membenarkan Faucolt bahwa pengetahuan itu tidak netral dan pengetahuan yang bersekongkol dengan kekuasaan yang dzalim dan tidak berdikari akan menghasilakan dampak jangka panjang atas penderitaan rakyat. Para lulusan luar negeri, menjadi kelompok think thank yang destructif baik dalam mafia berkeley, atau geng colombus atau Ohio yang sering kita dengar. Mereka saya sebut sebagai intelectual hit man dan mempunyai arogansi melebihi pengausa itu sendiri. Dengan legitimasi jebolan universotas hebat menjadikan bisa berbuat apa saja, dalam kuantifikasi nasib rakyat melalui angka-angka yang tentu saja hanya angka dan tidak mampu menjelaskan batas etika, nilai, dan penderitaan rakyat.

Jika golongan kelas menengah terdidik ini menjadi pejabat, dia kita sebut teknokrat. Tekhnokrat selalu mengidab penyakit pemuja developmentalisme, modernism dan pro privatisasi yang berujung kepada ketidakberadayaan negara untuk memproteksi rakyat dari kejahatan pasar (invisible hand) yang tidak lain tidak bukan adalah sistem kepercayaan yang menuhankan materi. Privatisasi hasil pikiran tekhnokrat, tidak kurang dan tidak lebih hanyalah order kelompok kapitalis nasional dan global dalam rangka akumulasi kapital. Dalam kata lain, privatisasi adalah menyerahkan kesejehteraan dari rakyat kepada swasta--kaum pemodal. Di samping itu, adalah upaya menjauhkan rakyat dari negara dan merampas tanggung jawab negara sebagai penyedia jaminan sosial bagi rakyatnya.

Jadi, arogansi intelektual ini sekarang menjadi sumber persoalan. Orang belajar tinggi-tinggi bukan untuk rakyat, orang meraih gelar profesor bukan digunakan untuk menolong kesengsaran umum, memberdayakan yang lemah, dan memberikan pancing bagi yang tidak bekerja, atau mengajarkan berhitung bagi kelompok tertindas, dan sebagainya. Orang mendapatkan pengetahuan hanya digunakan untuk bemper penguasa, dan mendapatkan imbalan secukupnya untuk melanggengkan ketidakadilan sosial. Pendek kata, bencana terbesar adalah akibat dari penolakan kaum intelektual terhadap nilai-nilai kemanusiaan secara praktis, yaitu ketika kaum terdidik ini menjauhkan diri dari rakyat tertindas.

Keywords: Politik, power/knowledge, Demokrasi, Partisipasi, propublik, republik, predator state, penghkianatan intelektual

Runtuhnya Ide ber-Negara

by David Efendi on Sunday, January 9, 2011 at 11:29pm

Tulisan ini terinspirasi oleh beberapa bacaan dan diskusi dengan teman di dunia facebook. Di dunia sedang tunggang langgang ini konon negara dipertanyakan eksistensinya dan juga dinihilkan keberadaanya. Beberapa orang mengklaim tidak perlu negara, tidak relevan mencantumkan kebangsaan. Mereka utopis seperti lagu Jhon Lenon, "jika tidak ada negara". Tapi rasionalitas juga dibangun sebab kenyataanya beberapa batas geografi antar negara mulai menghilang. Di sisi lain, banyak kelompok negara yang semakin memperketat batas geografi untuk lalu lalang warganya tetapi membuka gerbang selebar-lebarnya untuk kepentingan bisnis, mengimpor barang dan tentu saja membunuh produk lokal. Artinya menghabisi masa depan rakyat sendiri atas nama perdagangan bebas. Di sinilah neoliberal berwatak iblis. Tetapi banyak yang mau berteman dan berinteraksi dengannya.
Dalam tulisan singkat ini penulis hendak mendiskusikan bagaimana ide negara itu muncul, dan bagaimana psimisme era modern yang berimplikasi terhadap pasang surut ide bernegara dalam kepala warga negara. Sampai abad 21 ini perdebatan negara didominasi oleh wacana negara demokcratik dan non-democratik, juga dikotomi antara demokrasi dan kesejehteraan. Beberapa ilmuwan menyatakan dmeokrasi tidak selalu berakhir dalam kesejahteraan umum dan ini menjadi salah satu perdebatan sengit antara kebebasan bereskpresi dengan terwujudnya kesejahteraan. Salah satu yang membela kebebasan politik penting adalah Amartya Sen dalam bukunya Development as freedom (1999).

Ide Negara
Beberapa political scientist seperti Hobbes, Locke, Roesou berpendapat bahwa lahirnya negara adalah dalam ranka menjamin kepentingan umum melalui kontrak sosial. Individu menyerahkan kedaulatannya kepada 'negara' atau dalam bahasa Hobbes divine being--kekuatan yang besar diluar diri individu. Keyakinan akan pentingnya kontrak sosial ini berakhir pada terbentuknya pemerintahan republik dimana kedaaluatan berada ditangan rakyat dan untuk melaksanakan kedaulatan itu dibentuklah institusi negara sebagai alat meonopoli kekerasan secara sah dalam rankah menciptakan ketertiban umum. Konsep ini sudah jelas tetapi dalam praktek selalu memunculkan perdebatan panjang dan tidak pernah selesai.

Jika di setiap kepala warga ada ide negara, pemilu akan berjalan dan  pemerintahan baru akan terbentukin. Begitu rutinitas negara-negara di dunia penganut demokrasi. Lalu apa yang terjadi jika demokrasi itu macet, atau meminjam bahasa Budiono (2011), mengalami disfungsi dan degenerasi? Degenerasi saya bahasakan sebagai konflik interest dalam diri aktor politik yang menjadikan negara sebagai sandera untuk kepentingan jangka pendek politisi dan aktor disekelilingnya. Degenerasi tidak lebih dari premanisme atau pemerintahan banidt yang menggusur nilai demokrasi menjadi nilai bisnis an sich. Degenerasi sebagai produk 'mutan' dari demokrasi yang merusak. Sebelumnya hal ini ditandai oleh keruskaan birokrasi, terkontaminasinya ideologi negera kesejahteraan menjadi negara feudal, predator, dan terinveksi virus neoliberalisme yang menjauhkan mastarakat dengan negara, mengeliminasi ksejehateraan dalam diri rakyat.

Ide negara, meski demikian, tetap melekat pada diri masyarakat. Satu hal yang menjadi kekhawatiran publik adalah masyarakat sudah tidak peduli terhadap pilihan demokrasi atau autocracy, bagi rakyat hal yang utama dan terutama adalah segera terpenuhinya kebutuhan jangka pendek. Hal ini mengakibatkan masyarakat akan memilih sosok pengaus ayang kuat yang mengetahui kebutuhan mereka meski secara jangka panjang totalitarian selalu berakhir dengan mengenaskan baik di pihak rakyat kebanyakan atau penguasa. Kisah dramatis ini sudah dialami oleh Perancis pada abad ke-18 yang lewat. Dalam batas tertentu, munculnya Suharto pasca pemerintahan demokrasi parlementer atau presidensial di Indonesia adalah bentuk lain munculnya sosok 'totaliter' atau pemerintahan despotic. Sebagai tambahan, kemenangan SBY (sosok militer), pasca pemerintahan sipil adalah akibat frustasi rakyat terhadap demokrasi mainstream sipil yang lemah. Rakyat ingin penguas akuat, walau sejahat apa pun. Inilah tantangan demokrasi akhir-akhir ini.
Tantangan ini belum selesai dijawab Amartya Sen, yang menolak dikotomi demokrasi dan kesejehteraan sebab beberapa kasus menunjukkan rakyat cenderung tidak peduli terhadap kebebasan berpendapat lantaran kebebasan berpolitik tidak mendatangkan kesejahteraan. kalaupun butuh proses, rakyat tidak akan sabar menunggu kemiskinan dan penderitaan menurun sampai ke anak cucu cicitnya. Mereka membutuhkan kue demokrasi itu langsung diberikan dan dinikmati sebagaimana janji-janji demokrasi. Rakyat sudah kehilangan kesabaran menunggu demokrasi kesejahteraan itu.

Kembali ke ide negara, walau kesusahan dihadapi rakyat bertahun tahun dengan tingkat akselerasi penderitaan setiap harinya rakyat nampaknya tetap setia. Tetapi kesetiaan itu akan menjadi bara dalam sekam yang suatu wkatu muntah dalam berbagai ekspresi frustasi sosial atau putus asa secara kolektif. Beratnya kehidupan, kemiskinan, dan mereka menyaksikan anak cucunya menderita tentu akan mengancam ketabahan sebagai warga negara. Hal ini ditambah dengan ketidakstabilan sosial, rendahnya keamanan, dan tidak ada jaminan akan membaiknya "nasib" di kemudian hari. Ini akan mengakumulasi dalam ritual kekerasan baik secara laten atau manifest yang dalam bahasa James C. Scott (1985) disbeut sebagai perlawanan orang-orang lemah, atau bahasa Thoreu yang dikutip Mahatma Gandhi sebagai civil disobideience (pembangkana sipil).

Jika pembangkangan sipil meluas dan massif, maka eksistensi negara menjadi goyah, kekacauan akan terjadi dimana-mana dan alat negara seperti tentara dan polisi hanya menjamin keamanan penguasa dan persetan dengan nasib orang-orang kecil tertindas. Ini pula akan menggiring konflik antara rakyat dan pemerintah/polisi dan tentara, lalu jika pemeirntah menggunakan sipil (pamong praja) untuk menghadapi sipil, maka terjadilah perang sipil yang korbannya akan sangat banyak. Ini akan menguras sumber daya ekonomi, material, dan juga mental masyarakat. Sebagai klimaknya, mengikuti para ilmuwan politik, keadaan kacau ini juga bisa berpotensi melahirkan penguasa baru bertangan besi dengan kekuasaan yang totaliter. Kata-kata Louis XIV akan kembali bergema, bahwa "negara adalah saya".

keywords: Leviathan, utopia, Ide, Kesejahteraan, Predatory state, Bandit, demokrasi, privatisasi, failed state.

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme