Menjadi Predator Negara Vs Sang Pendobrak

David Efendi
 
“Di negara penganut demokrasi, rakyat tidak percaya kepada politisi, partai politik dan pemerintah akan melayani rakyat lebih dari melayani kepentingannya sendiri” (Larry Diamond, dalam Democratic Rollback)
1292592737322711345
Kapan seseorang jadi predator yang paling berbahaya bagi negara dan masa depan anak bangsa? Adalah ketika orang dan regime/kroninya memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengakumulasi kapital untuk kemakmuran dirinya sendiri dan kelompoknya. Mereka menggunakan pajak untuk berbisnis, menggunakan kebijakan untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek dan panjang. Mereka memang memperjuangkan pelayanan sosial dan kebijakan publik bagi rakyat tapi bukan kesejahteraan dan kecerdasan rakyat sebagai tujuan tetapi hanya sebagai alat untuk melipatgandakan benefit sebagai pemegang kedaulatan atas nama demokrasi atau autokrasi. Predatory state, atau gengster elite penguasa tidak akan berani bertekad untuk mencerahkan rakyatnya. Demokrasi melalui pemilu langsung hanya ‘kedok’ yang mengandung persoalan serius jika dianggap legitimasi sempurnah sebab menurut Diamond (2008) ini sebagai “the fallacy of electoralism”—demokrasi minus orientasi kesejahteraan.

Herschel I. Grossman (2002) dalam sebuah jurnal dia berargumen bahwa di Amerika warga bisa memilih menjadi produser atau menjadi predator atau memilih dua-duanya. Pilihan ini juga dihadapi oleh penguasa atau pemegang otoritas kekuasaan sebagai pejabat politik (elected body, elected official). Di Indonesia juga tidak banyak berbeda dengan masyarakat Amerika bahkan jika sekelompok orang, keluarga, baik itu aristokrasi, penguasa hasil proses demokrasi prosedural lebih mafia ketimbang di negara asal kata mafia (Italia) dan gengster (Amerika). Kenapa bisa terjadi? Kerana penguasa yang korup di Indonesia adalah pengausa yang dibungkus agama, penguasa yang bergekar Haji atau tokoh masyarakat tetapi perbuatannya sebagai agen ‘predatory state’ sangat parah.

Indonesia, sebagai negara muslim, tentu pilihannya bukan produser dan konsumen saja, atau produsen dan predator tetapi saya lebih memilih sebagai predator atau sebagai pendobrak kekuasaan. Menjadi predator artinya menjadi parasit atau agen perusak sendi-sendi negara dan bangsa dengan kejahatan yang dilakukan baik secara tersembunyi atau terang-terangan, secara langsung atau tidak langsung. Sementara, menjadi pencerah artinya memberikan manfaat bagi masa depan bangsa baik dengan jalan kecil atau besar. Sang pencerah adalah bekerja untuk keabadian dan pengabdian kepada kebaikan. Jika menjadi polisi menjadi polisi yang menjalankan fungsinya, jika menjadi guru menjadi guru yang berdedikasi tinggi, jika menjadi apa saja menjalankan fungsinya sebagaimana seharusnya. Moralitas menjadi panduan baik berbasis agama atau kearifan.

Indonesia terhitung 12 tahun melewati reformasi banyak perubahan tetapi lebih banyak yang bertahan atau mengalami status que, konsolidasi elit lama dan pergantian aktor politik dengan karakter predator seperti zaman authoritarian. Fenomena ini dikenal sebagai ‘changing continuity’. Indonesia bisa saja berbangga mengalami amendement UUD 1945 yang dikomandanai oleh Amin Rais (Mantan ketua MPR) yang memberikan peluang besar indoneisia menjadi demokrasi (desentralisasi, pemilu langsung, otoda) dengan optimisme bahwa langka ini (1 )akan mendekatkan kesejahteraan kepada rakyat; (2) mendesakralisasi kekuasaan dari hanya untuk segolongan elit menjadi terbuka untuk masyarakat; (3) akan menjadikan Indonesia dipandang tidak sebelah mata oleh negara asing yang mana selama ini menganggap Indonesia mengidap penyakit kronis KKN dan buruknya penegakan hukum; (3) akan membawa optimisme akan memunculkan pemimpin baru, politisi muda baru yang berkepribadian, bersih dari dosa masa lalu.
Harapan itu sangat luar biasa ditambah agenda reformasi versi mahasiswa: Adili Suharto dan kroninya, hapuskan dwi fungsi ABRI, Otonomi daerah, amandemen UUD 1945, turunkan Suharto. Agenda tersebut sebagian terlaksana tetapi sebagian besar belum terlaksana secara substansial. Hal ini disebakan munculnya kelompok pembajak demokrasi yang menjadikan Indonesiaa hanya sebagai Industri demokrasi dengan sistem direct election (pemilu langsung) dan mengabaikan kesejehteraan rakyat sebagai tujuan bernegara. Bisa dikatakan demokrasi Indonesia secara kasat mata merupakan developed country tetapi pertumbuhan ekonomi dan kemampuan rakyat menghadapi krisis masih underdeveloped country atau less developing country.

Menurut Riswanda Imawan (2004) kegagalan reformasi salah satunya disebabkan oleh lahirnya partai minus ideology pasca reformasi. Partai poltiik gagal menjadikan dirinya mandiri dari negara dan kekuasaan tetapi malah asik dalam lingkaran negara, menjadi beban anggaran negara dan tidak bisa menjadi alat check and balance bagi kekuasaan. Tidak mengherankan, jika penegakan hukum lemah, pengawasan project kebijakan publik sangat minim dan proses politik antara parlemen dengan eksekutif seolah seperti kedai, jual beli, atau dikenal dengan praktik poltiik dagang sapi. Kegiatan semacam ini tidak lebih dari mengesploitasi negara untuk kepentingan kelompok sehingga ini sama persis dengan kasus predatory state di negara maju yang dimainkan oleh kaum kapitalis multi etnis dan multi nasional.

Karena momentum hebat reformasi 1998 tidak bisa menekan kelompok predator mundur, dan kelompok pencerah (tidak punya dosa masa lalu poltiik) tentu ini akan berat di kemudian hari. Rejim bisa berganti tetapi tetap tidak mempunyai orienttasi kesejehteraan untuk rakyat. Pemerintah berdalih memakmurkan rakyat dengan cara menyantuni rakyat, lebih senang memebri ikan ketimbang kail dan lokasi memancing untuk rakyat dan juga stretegi menjual hasil tangkapan ikanya. Negara predator lebih senang rakyat tidak berdaya dan membuat kebijakan semacam BLT atau SLT untuk menunjukkan dirinya peduli kepada rakyat miskin. Negara jelas mempunyai kewajiban mengurus rakyatnya, sesuai konstitusi dan bukan menyantuni atau me-zakat-i rakyat. Paradigma ini mutlak harus diubah dan diperangi. Karena rakyat adalah pemilik republik, pemegang kedaulatan dan tentu hak untuk APBN.

Lemahnya kelompok pendobrak bisa saja akibat dari truma masa lalu, atau bahkan sudah terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan, jabatan yang sudah tetap dan sebagainya. Jika NGO sudah diplatmerahkan, ormas agama sudah dijadikan ‘panitia’ negara dengan konsesi miliaran rupiah tentu ke depan, sekali lagi, sangat berat membangun bangsa ini. Predator dan penguasa untung, rakyat semakin buntung. Kalah-menang memang masih relevan untuk menganalisis Indonesia ketimbang pendekatan menang-menang. Rakyat sendiri sulit melakukan gerakkan massal (colective action) dan hanya menjadi korban politik. Menurut Mancur C. Olson (1965) hal ini diakibatkan oleh jumlah rakyat yang sangat banyak, miskin, tidak mempunyai organisasi yang modern dan rapi, dan tidak berdaya. Berbeda dengan kelompok predator yang kaya raya, terorganisasi, mempunyai kepemimpinan yang baik dan anggota yang loyal. Predator negara terorganisir sebagai interest group yang jika sebagai jenis simbiosis dengan negara maka jenis ini merupakan simbiosis parasitisme.
Jadi, rakyat adalah sebagai sang pencerah. Kebangkitan bangsa ini sangat ditentukan oleh rakyat. Karena itulah mulai hari ini dan seterusnya kita belajar untuk rakyat agar berani bangkit dan melawan.

Hi, Dec 16, 2010

0 Response to "Menjadi Predator Negara Vs Sang Pendobrak"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme