Tontonan Politik Kita Lebih Buruk dari Senetron


David Efendi
Note 1 April, 9, 2011
Ini bagia dari testimoni pribadi yang tentu bukan dimaksudkan sebagai pemikiran politik ala pengamat politik juga bukan dimaksudkan untuk menandingi karya hebat Gramsci dalam penjarah yang beratus-ratus halaman tebalnya. Ini adalah catatan keprihatinan secara pribadi atas berbagai kejanggalan, paradok, malpracktik, atau misderection dalam jagat politik kita yang disuguhkan oleh politisi, pengambil kebijakan, yang diekspos media setiap detik setiap waktu. Orang sering complain betapa buruk muka cermin dibela sebagai bagian dari kehidupan politik atau istilah buya Syafii bahwa politik itu memecah dan membela namun di sisi lain menurut saya juga mempersatukan jika ada kesamaan nafsu dan kesamaan aib sehingga dagang sapi menjadi tontonan sehari-hari everyday phenomena dalam realpolitik show di berbagai tempat baik di pusat atau daerah. Karena itulah, orang seperti Toni (dalam toniblank show) jutsru menjadi menarik untuk menjadi tontonan 'sebagai suatu pengacakan dalam suatu kesimpangsiuran hit and run'. Ini saya sudah tertular virusnya. Karena batas intelektual tukang dengan intelektual abdi masyarakat sudah sirna. What is to be done?, kata Lenin. Tetapi saya tidak mendiskusikan apa yang bisa kita lakukan dalm note ini (maybe later).

Mengutip Gramsci dalam catatan di penjarah (Quaderni del carcere) yang ditulis antara tahun 1929-1935 memberikan satu tembok pemisah antara intelektual tradisional (traditional intelectual) dengan intelektual aktifis (organik intellectual). Ini sangat memprihatinkan, betapa banyak orang yang mengaku intelektual organik bekerja di ribuan LSM atau NGO dan juga intelektual menara gading yang tidak mau bersebelahan tempat duduk dengan masyarakat miskin (powerless society, namun bangsa ini belum beranjak kemana-mana (go nowhere) alias apa yang disebut involusi baik dalam alam pikiran atau alam pergerakan. Para intelektual tukang dan budak intelektual yang banyak baik dduduk di kampus atau di senayan mereka setali tiga uang dalam hal ini karena tidak memberika progres yang berarti bagi kelangsungan hidup manusia Indonesia yang mana angka kemiskinanan terus menanjak dengan tingkat dana kualitas penderitaan yang diambang batas. 

Karena bagi Lenin, menurut saya termasuk di Indonesia hari ini, sudah tidak ada lagi batas antara intelektual organik dan traditional, antara intelektual dan kelas pekerja maka pemikiran revolusi harus muncul dari banyak arah untuk memperbaiki rezim hegemonik. Intelektual organik sudah dibajak kekuasaan, intelektual traditional sudah sibuk mengurus adminitrasi dan birokrasi maka intelektual gelemboang berikutnya apa yang kita sebut sebagai intelektual revolusioner dimana kelompok ini harus dilahirkan tanpa memperdulikan kasta dan kelas tertentu. Kekerasan kehidupan sosial yang timpang yang akan melahirkannya dan bukan dari rezim ilmu yang berada diketiak lembaga donor yang akan menjadi benar-benar penggerak. Jenis intelektual ini tidak sulit didepatkan asalkan ada memontum yang tepat. Karena itu seringkali ini disamakan dengan lamanya menunggu "godot" atau menunggu "juru selamat."

Saya pribadi, jenuh dan bahkan sangat jenuh. Saya merasa tidak ada hal yang bisa ditulis atau diperdebatkan secara intelektual apa yang sedang dilakono pemerintah Indonesia baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kelompok civil society melempem dan bergesar sporadis kearah yang tidak diniatkan dan ini yang mengancam terwujudnya demokrasi yang substnasial. Seolah manusia politik Indonesia sudah mengalami disorientasi sejaka dalam alam pikir. Mereka saya kira kehilangan epistemologi, ontologi, dan idelogi kebaikan umum. Satu-satunya yang tersisa adalah keinginan memperbanyak kekayaan dan melanjutkan tampuk jabatan dan kekuasaanya secara membabi buta. 

Kasus agak lama lapindo dan bank century gagal dan batal ditegakkan kebenarannya dan keadilannya. Kasus Gayus dan berbagai sindikat mekelar kasus lainnya, pelemahan KPK tidak pernah ada upaya serius membela kejujuran dan martabat kemanusiaan 200 nyawa anak bangsa yang tertatih-tatih setiap hari akibat kesuliatan hidup dan kelamnya harapan akan masa depan. Di saa yang sama politisi itu seolah mengutuk kemiskinan dengan naive bahkan magic bahwa miskin sama sekali bukan akibat bobroknya pemerintah Indonesia. Nakhoda kapal Indonesia mabok daratan dan luatan, politisi sudah lupa dimana moralitas ditaruh dan bahkan akhir-akhir ini suguhan politik hanya speutar isu selangkangan poligami, sidang DPR yang diplesetkan menjadi sidang pariporno akibat anggota fraksi PKS tertangkap kamera mengakses website porno. Ini mengalami erosi besar-besaran karakter perpoliikan kita bila dibandingkan dengan perdebatan politisi awal pasca kemerdekaan di mana subtansi kehidupan berbangsa justru lebih nampak.

Melirik politik Indonesia saya kehilangan semangat untuk belajar ilmu politik. Ilmu politik, nampaknya, semakin berkembang dan beragam methode pendekatannya namun masyarakat manusia khususnya Indonesia semakin menunjukkan pola-pola purbakala--hukum rimba, siapa kuat dia menang persetan salah benar. Kasus Gayus, Lapindo, dan para mafioso yang masih berlenggang kangkung adalah bukti betapa bangsa ini memang snagat jahiliyah (anti peradaban). Bagi saya, semua nampak bukan dalam gerakan mengarah kepada pencerahan dan berbasis ilmu tetapi politik kita seolah menunjukkan bentuk-bentuk barbar, uncivilized, dan menunjukkan bangsa ini terpuruk dalam mentalitas dan kepribadian. Saya sangat terpukul akibat serentetan kejadian politik para mafia, bandit, dan sebagainya yang semakin menggejala dan dalam saat yang bersamaan para pekerja, buruh, TKI, anak TKI bergelimpangan mengadu nasib dan sering berakhir dalam tragedi baik kerusakan hubungan keluarga, anak-anak yang psikologinya bermasalah akibat kehidpan yang pahit dalam kemiskinan dan ketiadaan orientasi hidup. Pemerintah adalah mutlak, sebagai penanggung jawab atas tragedi-tragedi kemanusiaan. Jika tidka bisa mengurus rakyat, buat apa punya pemerintah!

Intelektual kita hari ini, bisa saja menikmati kekuasaan, menikmati beasiswa dengan segala kemewahan yang didapatkan lalu jika balik ke Indonesia akan menjadi abdi rakyat. Tetapi menjadi abdi rakyat tidaklah muda, sebab ada abdi lain yang jauh lebih menggiurkan yaitu menjadi abdi kekuasaan dan penguasa. Memang tidak secara langsung, tetapi dengan cara halus yang bertopeng dalam berbagai bingkai agenda riset profesional, dengan rekomendasi ratusan lembar lalu mereka laporkan ke meja kekuasaan dan dimasukkanlah almari arsip laporan tahunan. Selesai. Lalu project itu dilanjutkan seperti biasa. Saya kira trilyunan uang negara untuk beasiswa dan riset, tetapi bagaimana progress anak bangsa? adakah penurunan derajat derita mereka? adakah pola yang muncul generasi anak muda yang idealis, ideologis, dan progresif dalam kehidupan sosial? Ironisnya yang muncul adalah kaum pragmatisme muda didikan pemerintah yang super pragmatis pula yang kini sedang menuhankan angka-angka dalam survey. Angka kemiskinan diacak-acak dan dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan, claim keberhasilan, klaim pentingnya ketahan pangan melalui impor beras dan sebagainya. Bukan hanya bangsa ini ibarat kampung tidak bertuan, atau desa tanpa kepala desa, tetapi lebih dari itu bangsa ini seolah sedang dipimpin mamyat berjalan  tanpa hati tanpa perasaan. Tidak ada salahnya, kalau ada orang marah dan memaki bahwa politik sehari-hari ellit Indonesia lebih buruk dari sinetron Indonesia. Jika ada kelompok orang mengklaim sinetron tidak mendidik maka poltiik ala politisi dan penjahat kerah putih pebisnis merusak bangsa. Slowly but sure negara ini akan kolap (collapse state) ketika bumi alam sudah habis diekspolitasi dan hutang tidak mampu dibayar lagi.

Anak-anak muda, wajar, tidak tertarik kepada dunia ilmu pengetahaun, tidak suka pendidikan tinggi jika itu hanya membenai hidup sementara tradisi ilmu bukan hal utama dala m percaturan ekonomi politik Indonesia. Atas nama solidaritas group, politisi, KKN tetap bisa ditempuh. Anak muda belajar oportunis dari pengusa, bukan dari ustadznya. Sementara kyai-kyai sedang membebaskan nafsu politiknya lupa dibelakangnya ada ummat yang perlu nasehatnya, membutuhkan tauladan dan pencerahannya. Ada kalimat begini muncul,"Maaf, Kyai tidak dirumah, sedang kampanye, sedang lobi para koruptor untuk membangun pesantren. Begitu juga mantan aktifis demokrasi anti otoritarian". Naudzubillah. Ini negara, sampai kapan akan bertahan, mungkin lama dan perih kita menyaksikannya. Saya merasa capek dan jenuh melihat dunia kelam dan hitam berkabut di negeri sendiri, tetapi aku malu ketika aku tidak bisa berbuat apa-apa. Menulis adalah salah satu pembebas, minimal melepaskan belenggu dalam akal pikiranku. Itu saja.

0 Response to "Tontonan Politik Kita Lebih Buruk dari Senetron"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme