Pak Beye, Good News itu Bad News!

David Efendi

Pakem ilmu jurnalistik itu nampaknya tidak lekang oleh waktu dan senantiasa laku untuk digunakan pada kondisi sekarang. Semakin ambisius pemerintah mengungkapkan keberhasilannya menunjukkan ""kerja kerasnya" hanya untuk menutupi kelemahannya (political image). Jubir dan penasehat presiden digunakan untuk mencounter kritik. Jadi apa pun berita bagus yang disampaikan pemerintah adalah 180 berbeda dari kenyataan. Jadi, masuk ke dalam kategori berita buruk (bad news). Baru saja detik.com melangsir berita soal kebanggan Pak Beye dalam keberhasilannya di tahun 2010 sebagai peringkat dunia nomor 16 entah bidang apa yang dia maksudkan dan indicator pun tidak bisa dipertanggungjawabkan secara nyata di hadapan rakyat Indonesia dan tentu saja tuhan yang maha esa.

Seperti biasa, pak Beye tetap mempertahankan citra baiknya dengan banyak mengadakan show of force kepada publik bahwa banyak pendukungnya dan bisa mengklaim keberhasilan dengan dukungan kaum intelektual yang sudah dijinakkan. Klaim keberhasilan selalu lebih santer disbanding pengakuan atas kegagalan dan kelambanan mengurus persoalan kronis negara baik korupsi, pemberdayaan kelompok miskin, atau persoalan premanisme dalam pemerintahan. Pak Beye, nampaknya, semakin sering pidato semakin hebat menutupi kebobrokan pemerintahannya. Ia mengungkapkan pelampiasan dalam tajuk keberhasilan pemerintah. Hal itu diutarakan SBY dalam pembukaan Raker 2011 di hadapan menteri, pimpinan lembaga negara, pimpinan BUMN, dan pengusaha, di Ruang Plenary Hall, JCC, Senin (10/1/2011).
Dalam berita itu disampaikan ada 10 keberhasilan pemerintah di tahun 2010 antara lain; (1) Pertumbuhan ekonomi yang baik; (2) Sejumlah indikator kesejahteraan rakyat meningkat seperti bidang pendidikan dan kesehatan; (3) Stabilitas keamanan dan politik terjaga. Pemilu kepala daerah umumnya lancar. Kalau ada protes itu wajar sebagai bagian dari demokrasi; (4) Minus terjadinya kelemahan hukum, tetapi pemberantasan korupsi, pemberantasan terorisme, penanggulangan narkoba terus berjalan dengan baik; (5) Keamanan dalam negeri terjaga; 6. Proses investasi dan pelayanan publik di daerah kemajuan; (7) Kemiskinan dan pengangguran dapat dikurangi; (8) Beberapa indikator eknomi mencatat rekor seperti income perkapita, cadangan devisa. Indonesia berada di peringkat 16 ekonomi dunia; (9) Upaya pengembangan UMKM makin baik di daerah;dan (10) Aktif di berbagai kegiatan luar negeri. Contohnya aktif di dalam pemeliharaan perdamaian dunia.(detik.com, Jan 8,2011)

Penulis ingin melihat realitas yang kontradiktif sebagai bantahan atas arogansi kekuasaan pemerintahan orde Cikeas juga ke dalam 10 butir utama antara lain; (1) Pertumbuhan ekonomi bisa jadi secara matematika baik tetapi realitas tidak demikian; (2) menurut pemerintah sejumlah indikator kesejahteraan rakyat meningkat seperti bidang pendidikan dan kesehatan. Kita tahu sendiri bagaimana mahalnya sekolah—hanya bisa diakses orang beruang; (3) Stabilitas keamanan dan politik  kita pertanyakan. Kekerasan etnis, kekerasan berbasis agama, dan lemahnya perbatasan negara. Sekali lagi indikatornya apa?; (4) Sangat jelas, penegakan hokum doyong dimana-mana, tidak ada kasus besar terselesaikan seperti century, Gayus, dan pelemahan terhadap KPK dan MK secara sistematis. Selain itu pemberantasan korupsi hanya bagian kecil-kecil saja; (5) Tidak ada bukti, bahwa keamanan dalam negeri benatul-betul nyata; 6. Proses investasi dan pelayanan publik hanya bagus di sebagaian kecil daerah. Pelayanan pemerintah pusat paling buruk; (7) Kemiskinan dan pengangguran dapat dikurangi secara kuantitas, tetapi kualitas penderitaan semakin parah; (8) Beberapa indikator eknomi yang digunakan pemerintah sangat developmentalis, terjebak kepada angka-angka sebagai pengikut bank dunia atau ADB; (9) Upaya pengembangan UMKM hanya program kerja setoran dan jangka pendek untuk bisa dikatakan sebagai anti-poverty policy; dan (10) Keaktifan Indonesia dalam forum international hanya sebagai pendengar setia tanpa mampu berkontribusi kepada keputusan penting. Taruhlah contoh soal global warming, perang timur tengah, penggundulan hutan, bahkan masalah dalam negeri mengatasi premanisme FPI dan Pamongpraja saja ‘impoten’.

Nampak sekali pak Beye samakin takut dengan bayangan sendiri di tengah frustasi publik yang sewaktu-waktu bisa meledak. Kita membaca pemerintah akan kembali mengeluarkan program penyantunan kepada rakyat sejenis BLT menjelang pemilu 2014 untuk menjaga lingkaran kekuasaan tidak melesat ke mana-mana dan berada tetap di bawah control Pak Beye dan pelaku bisnis besar di Indonesia tanpa mengecewakan dunia internasional, lembaga donor, dan institusi financial dunia. Kesimpulannya adalah bahwa buruk akan tetap buruk, upaya menutupinya hanya menunda kemarahan publik dan kegoncangan sosial.

Ref:
http://us.detiknews.com/read/2011/01/10/101139/1542824/10/good-news-di-tahun-2010-versi-sby?9911012)

Arogansi Kekuasaan

by David Efendi on Sunday, January 9, 2011 at 4:05am


"L'État, c'est moi" ("Negara adalah saya") 
---Louis XIV dijuluki juga sebagai Raja Matahari, Perancis

Orang atau segerombolan orang menjadi sombong (arogan) ketika mempunyai kekuasaan (power). Mereka bisa memaksakan kehendak karena punya modal kuasa dan mendominasi alat kekerasan secara 'sah'. Mereka, setelah mengantongi kekusaan baik legitimasi tradisional, karismataik atau legal-formal, lalu merasa sudah memiliki otoritas (authority) untuk bertindak atau tidak bertindak terhadap isu sosial tertentu atau kepentingannya. Jika kekuasaan itu melekat sebagai pejabat pemerintahan maka kekuasaan itu berarti kemampuan untuk berbuat, tetapi kemampuan itu tidak selalu digunakan secara tepat. Dalam banyak hal, misalnya, negara mampu membela hak kaum tertindas tetapi mereka berbuat bukan untuk itu. Mereka digerakkan untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan kelas tertentu (baca: kapitalis).

Persoalan pertama muncul akibat kesenjangan pemahaman yang sangat besar antara pemerintah dan yang diperintah mengenai apa itu sebenarnya 'kekuasaan', dan 'jabatan politik' lainnya. Para politisi terpilih dalam pemilu meyakini bahwa kekuasaan adalah bagaimana untuk mendapatkan apa dan dengan siapa akan mempercepat tercapainya tujuan utama. Sementara rakyat atau konstituen berfikir bahwa politik adalah sarana mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa dan negara dengan memperjuangkan kebutuhan rakyat. Para penguasa berhutang budi kepada para sponsor dalam pemilu sehingga 99% upaya dan daya digunakan untuk membalasa budi para investor politik secara setimpal atau bahkan lebih baik lagi jika berkeinginan menjago lagi dalam pemilu berikutnya. Rakyat yang terlalu berharap lebih, bisa menderita kecele yang sangat besar.

Kekuasaan itu punya wajah janus. Artinya, jika dipegang dan dikendalikan oleh orang yang tepat dan menjaga amanah rakyat tentu kekuasaan bisa berbuah kesejahteraan. Sebaliknya, apabila kekuasaan mutlak itu dimiliki individu atau kelompok banidt, preman baik berkerah putih atau biru maka kekuasaan itu cepat atau lambat akan merusak sendi-sendi masyarakat sipil. Di tangan pihak ini kekuasaan menjadi angker, berdarah dingin, dan sangat arogan.Ini kemudian memunculkan model pemerintahan totaliter, kleptokrasi, dan predator state, meskipun jargon yang digunakan adalah demokrasi sebagai syarat akreditasi dunia international dan akses mencari pinjaman (hutang) luar negeri.

Pertanyaannya, siapakah aktor 'jahat' itu? bukankah negara ini dikuasasi oleh intelektual dan golongan cerdik pandai dengan kredibilitas pengetahuan, teknokrasi, yang jauh melampau pemimpin bangsa setengah abad yang silam? Mengapa tidak ada tanda-tanda perbaikan sedikit pun? Jumlah kemiskinan semakin meningkat dan semakin parah di berbagai lini kehidupan.

Arogansi kekuasaan ternyata berada tidak jauh dari peran serta kaum intelektual atau cendekiawan dan profesional. Mereka atas nama legitimasi pengetahuan ikut menjadikan rakyat sengsara sebab pengetahuannya digunakan untuk mengabdi kepada penguasa dan penguasa mengabdikan dirinya kepada kekuasaan global yang bernama kapitalisme itu. Jejaring penghambaan berakhir kepada runtuhnya kemanusiaan rakyat yang notabene pemilik kedalutan negara. Golongan intelektual menjadi parasit bagi orang miskin sehingga di sinilah letak arogansi intelektual mulai dibenarkan. Dalam term Benda, disebut sebagai pengkhianatan intelektual (the betrayal of intelectual).

Mereka, kaum cendekiawan mendukung kebijakan neoliberal, mendukung pengrusakan likungan dengan riset dan survey, menolak kearifan lokal dan menganggap local value sebagai local stupidity, dan sebagainya. Barat telah mengubahnya emnjadi anti nilai-nilai luhur aseli bangsanya dan menjadi silau untuk mendapatkan kepuasan intelektual jika mampu merubah pikiran rakyat.
Kasus ini membenarkan Faucolt bahwa pengetahuan itu tidak netral dan pengetahuan yang bersekongkol dengan kekuasaan yang dzalim dan tidak berdikari akan menghasilakan dampak jangka panjang atas penderitaan rakyat. Para lulusan luar negeri, menjadi kelompok think thank yang destructif baik dalam mafia berkeley, atau geng colombus atau Ohio yang sering kita dengar. Mereka saya sebut sebagai intelectual hit man dan mempunyai arogansi melebihi pengausa itu sendiri. Dengan legitimasi jebolan universotas hebat menjadikan bisa berbuat apa saja, dalam kuantifikasi nasib rakyat melalui angka-angka yang tentu saja hanya angka dan tidak mampu menjelaskan batas etika, nilai, dan penderitaan rakyat.

Jika golongan kelas menengah terdidik ini menjadi pejabat, dia kita sebut teknokrat. Tekhnokrat selalu mengidab penyakit pemuja developmentalisme, modernism dan pro privatisasi yang berujung kepada ketidakberadayaan negara untuk memproteksi rakyat dari kejahatan pasar (invisible hand) yang tidak lain tidak bukan adalah sistem kepercayaan yang menuhankan materi. Privatisasi hasil pikiran tekhnokrat, tidak kurang dan tidak lebih hanyalah order kelompok kapitalis nasional dan global dalam rangka akumulasi kapital. Dalam kata lain, privatisasi adalah menyerahkan kesejehteraan dari rakyat kepada swasta--kaum pemodal. Di samping itu, adalah upaya menjauhkan rakyat dari negara dan merampas tanggung jawab negara sebagai penyedia jaminan sosial bagi rakyatnya.

Jadi, arogansi intelektual ini sekarang menjadi sumber persoalan. Orang belajar tinggi-tinggi bukan untuk rakyat, orang meraih gelar profesor bukan digunakan untuk menolong kesengsaran umum, memberdayakan yang lemah, dan memberikan pancing bagi yang tidak bekerja, atau mengajarkan berhitung bagi kelompok tertindas, dan sebagainya. Orang mendapatkan pengetahuan hanya digunakan untuk bemper penguasa, dan mendapatkan imbalan secukupnya untuk melanggengkan ketidakadilan sosial. Pendek kata, bencana terbesar adalah akibat dari penolakan kaum intelektual terhadap nilai-nilai kemanusiaan secara praktis, yaitu ketika kaum terdidik ini menjauhkan diri dari rakyat tertindas.

Keywords: Politik, power/knowledge, Demokrasi, Partisipasi, propublik, republik, predator state, penghkianatan intelektual

Runtuhnya Ide ber-Negara

by David Efendi on Sunday, January 9, 2011 at 11:29pm

Tulisan ini terinspirasi oleh beberapa bacaan dan diskusi dengan teman di dunia facebook. Di dunia sedang tunggang langgang ini konon negara dipertanyakan eksistensinya dan juga dinihilkan keberadaanya. Beberapa orang mengklaim tidak perlu negara, tidak relevan mencantumkan kebangsaan. Mereka utopis seperti lagu Jhon Lenon, "jika tidak ada negara". Tapi rasionalitas juga dibangun sebab kenyataanya beberapa batas geografi antar negara mulai menghilang. Di sisi lain, banyak kelompok negara yang semakin memperketat batas geografi untuk lalu lalang warganya tetapi membuka gerbang selebar-lebarnya untuk kepentingan bisnis, mengimpor barang dan tentu saja membunuh produk lokal. Artinya menghabisi masa depan rakyat sendiri atas nama perdagangan bebas. Di sinilah neoliberal berwatak iblis. Tetapi banyak yang mau berteman dan berinteraksi dengannya.
Dalam tulisan singkat ini penulis hendak mendiskusikan bagaimana ide negara itu muncul, dan bagaimana psimisme era modern yang berimplikasi terhadap pasang surut ide bernegara dalam kepala warga negara. Sampai abad 21 ini perdebatan negara didominasi oleh wacana negara demokcratik dan non-democratik, juga dikotomi antara demokrasi dan kesejehteraan. Beberapa ilmuwan menyatakan dmeokrasi tidak selalu berakhir dalam kesejahteraan umum dan ini menjadi salah satu perdebatan sengit antara kebebasan bereskpresi dengan terwujudnya kesejahteraan. Salah satu yang membela kebebasan politik penting adalah Amartya Sen dalam bukunya Development as freedom (1999).

Ide Negara
Beberapa political scientist seperti Hobbes, Locke, Roesou berpendapat bahwa lahirnya negara adalah dalam ranka menjamin kepentingan umum melalui kontrak sosial. Individu menyerahkan kedaulatannya kepada 'negara' atau dalam bahasa Hobbes divine being--kekuatan yang besar diluar diri individu. Keyakinan akan pentingnya kontrak sosial ini berakhir pada terbentuknya pemerintahan republik dimana kedaaluatan berada ditangan rakyat dan untuk melaksanakan kedaulatan itu dibentuklah institusi negara sebagai alat meonopoli kekerasan secara sah dalam rankah menciptakan ketertiban umum. Konsep ini sudah jelas tetapi dalam praktek selalu memunculkan perdebatan panjang dan tidak pernah selesai.

Jika di setiap kepala warga ada ide negara, pemilu akan berjalan dan  pemerintahan baru akan terbentukin. Begitu rutinitas negara-negara di dunia penganut demokrasi. Lalu apa yang terjadi jika demokrasi itu macet, atau meminjam bahasa Budiono (2011), mengalami disfungsi dan degenerasi? Degenerasi saya bahasakan sebagai konflik interest dalam diri aktor politik yang menjadikan negara sebagai sandera untuk kepentingan jangka pendek politisi dan aktor disekelilingnya. Degenerasi tidak lebih dari premanisme atau pemerintahan banidt yang menggusur nilai demokrasi menjadi nilai bisnis an sich. Degenerasi sebagai produk 'mutan' dari demokrasi yang merusak. Sebelumnya hal ini ditandai oleh keruskaan birokrasi, terkontaminasinya ideologi negera kesejahteraan menjadi negara feudal, predator, dan terinveksi virus neoliberalisme yang menjauhkan mastarakat dengan negara, mengeliminasi ksejehateraan dalam diri rakyat.

Ide negara, meski demikian, tetap melekat pada diri masyarakat. Satu hal yang menjadi kekhawatiran publik adalah masyarakat sudah tidak peduli terhadap pilihan demokrasi atau autocracy, bagi rakyat hal yang utama dan terutama adalah segera terpenuhinya kebutuhan jangka pendek. Hal ini mengakibatkan masyarakat akan memilih sosok pengaus ayang kuat yang mengetahui kebutuhan mereka meski secara jangka panjang totalitarian selalu berakhir dengan mengenaskan baik di pihak rakyat kebanyakan atau penguasa. Kisah dramatis ini sudah dialami oleh Perancis pada abad ke-18 yang lewat. Dalam batas tertentu, munculnya Suharto pasca pemerintahan demokrasi parlementer atau presidensial di Indonesia adalah bentuk lain munculnya sosok 'totaliter' atau pemerintahan despotic. Sebagai tambahan, kemenangan SBY (sosok militer), pasca pemerintahan sipil adalah akibat frustasi rakyat terhadap demokrasi mainstream sipil yang lemah. Rakyat ingin penguas akuat, walau sejahat apa pun. Inilah tantangan demokrasi akhir-akhir ini.
Tantangan ini belum selesai dijawab Amartya Sen, yang menolak dikotomi demokrasi dan kesejehteraan sebab beberapa kasus menunjukkan rakyat cenderung tidak peduli terhadap kebebasan berpendapat lantaran kebebasan berpolitik tidak mendatangkan kesejahteraan. kalaupun butuh proses, rakyat tidak akan sabar menunggu kemiskinan dan penderitaan menurun sampai ke anak cucu cicitnya. Mereka membutuhkan kue demokrasi itu langsung diberikan dan dinikmati sebagaimana janji-janji demokrasi. Rakyat sudah kehilangan kesabaran menunggu demokrasi kesejahteraan itu.

Kembali ke ide negara, walau kesusahan dihadapi rakyat bertahun tahun dengan tingkat akselerasi penderitaan setiap harinya rakyat nampaknya tetap setia. Tetapi kesetiaan itu akan menjadi bara dalam sekam yang suatu wkatu muntah dalam berbagai ekspresi frustasi sosial atau putus asa secara kolektif. Beratnya kehidupan, kemiskinan, dan mereka menyaksikan anak cucunya menderita tentu akan mengancam ketabahan sebagai warga negara. Hal ini ditambah dengan ketidakstabilan sosial, rendahnya keamanan, dan tidak ada jaminan akan membaiknya "nasib" di kemudian hari. Ini akan mengakumulasi dalam ritual kekerasan baik secara laten atau manifest yang dalam bahasa James C. Scott (1985) disbeut sebagai perlawanan orang-orang lemah, atau bahasa Thoreu yang dikutip Mahatma Gandhi sebagai civil disobideience (pembangkana sipil).

Jika pembangkangan sipil meluas dan massif, maka eksistensi negara menjadi goyah, kekacauan akan terjadi dimana-mana dan alat negara seperti tentara dan polisi hanya menjamin keamanan penguasa dan persetan dengan nasib orang-orang kecil tertindas. Ini pula akan menggiring konflik antara rakyat dan pemerintah/polisi dan tentara, lalu jika pemeirntah menggunakan sipil (pamong praja) untuk menghadapi sipil, maka terjadilah perang sipil yang korbannya akan sangat banyak. Ini akan menguras sumber daya ekonomi, material, dan juga mental masyarakat. Sebagai klimaknya, mengikuti para ilmuwan politik, keadaan kacau ini juga bisa berpotensi melahirkan penguasa baru bertangan besi dengan kekuasaan yang totaliter. Kata-kata Louis XIV akan kembali bergema, bahwa "negara adalah saya".

keywords: Leviathan, utopia, Ide, Kesejahteraan, Predatory state, Bandit, demokrasi, privatisasi, failed state.

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme