Berburu Buku, Berburu Ilmu


---Catatanku tentang ‘gerakan ilmu’

Oleh David Efendi)*

“Gerakan membaca dan gerakan ilmu adalah kembar siam. Menjadi senyawa dalam IPM. Artinya IPM tidak bisa hidup tanpa gerakan membaca-ngilmu”

Saya pribadi sudah terlanjur mengimanai dua proverb yang popular dalam kehidupanku dan tentu saja bagi pecinta buku. Pertama, saya yakin tanpa buku, tidak ada ilmu. Meski banyak alasan dan argument bahwa tanpa buku orang bisa mendapatkan ilmu, tetapi keyakinan saya  bahwa sepandai-pandai orang yang belajar dari bukan buku, masih lebih dahsyat orang yang mengasuh menimbah ilmu dari buku. Buku adalah satu-satunya guru yang tidak ada matinya. Sedangkan proverb kedua adalah saya ambilkan dari satu kalimat yang saya lupa sumbernya karena saya membaca kalimat ini dari buku beberapa tahun yang lalu, bunyinya: “Jika semua rakyat berdaulat membaca, maka tidak ada penguasa yang berdaulat kata-katanya.”. jadi, membaca buku, pengetahuan, dan ilmu bisa meledakkan revolusi social dan politik. Sekejam apa pun penguasa itu.

Sebagai aktifis gerakan membaca, kalau boleh saya mengklaim begitu, saya tentu merasakan apa yang dirasakan Taufik Ismail mengenai tragedy nol buku yang sampai sekarang nampaknya belum beranjak sedikitpun. Buktinya, seorang teman memposting berita menarik dari kompas. Berikut adalah cuplikannya: “…sekitar 70 persen buku terserap di Pulau Jawa-Bali. Tingginya biaya distribusi buku ke luar Pulau Jawa menjadi salah satu sebab timpangnya penyebaran buku. Selain menghadapi persoalan distribusi buku yang tidak merata, perbukuan di Tanah Air juga menghadapi persoalan rendahnya minat baca masyarakat. Berdasarkan kajian Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang punya minat baca tinggi. Satu buku rata-rata dibaca lima orang. Kondisi ini menempatkan minat baca Indonesia terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur.” (Kompas, Feb 11, 2011)
Kemudian, teman-teman saya menanggapinya serius. Teman-teman ini rata-rata bergerak diide yang smaa dengan saya. Mereka adalah pembaca ulung tak terkalahkan, pemburu buku di mana saja, dan dengan uang pas-pasaan ditambah hutang untuk membeli buku baik di pameran, loak, buku bekas, dan foto kopi. Teman-teman yang saya namai pemburu buku itu adalah antara lain: Mudzakkir, Moel, Paksi, Nugi, Hendra, dan beberapa yang tak saya sebut namanya. Saya benar salut atas tradisi membaca dalam kesehariannya. Karena lingkungan itulah yang menjadikan saya betah dan tahan lama di situ. Saya pun mencoba mencintai buku sebisa saya, berburu buku sebanyak saya bisa karena itu akan bisa menjadi warisan berharga.
Perdebatan hangat muncul ketika Masmulyadi memberikan satu kritik bagaimana pemerintah harus memberikan kotribusi besar untuk memerangi budaya baca yang tengkurap.  Masmulyadi merefleksikannya dengan apik sebagai berikut: “Perjuangan generasi pak Karno di mulai dari kerja wacana lewat kelompok studi dan kerja pena (nun walqalami wamaa yasthuruun). Tahun 1924, Hatta terlibat di Perhimpunan Indonesia dengan jurnalnya Indonesia Merdeka. Soekarno pada 1926 mendirikan kelompok studi Algemene Studieclub dengan jurnalnya, Indonesia Moeda disaat yang sama pak Karno juga menjadi editor di majalah Bendera Islam milik Syarekat Islam. Demikian halnya dengan Natsir di Persatuan Islam dengan jurnal Pembela Islam. Dari menulislah revolusi Indonesia dihelat ... menulis mensyaratkan membaca. Pemerintah dengan sangat baik menyiapkan bacaan bermutu kelas premium, "Serial SBY". Selamat membaca. Semoga bacaan ini menginspirasi revulusi Indonesia jilid II.

Sementara kawan Mudzakkir merospon dengan psimisme dan optimism, pesimisme terhadap political will pemerintahan mengenai kemauan mencerdaskan anak bangsa. Persoalan mendasar menurutnya adalah akses terhadap buku yang terbatas. Bisa jadi buku sangat mahal terjangkau. Dalam hal ini organisasi pelajar masih mempunyai peluang untuk berbuat banyak diantaranya baik menggandeng instansi pemerintah (membangun Taman Bacaan2), instansi swasta CSR perusahaan yang pro terhadap melek baca, hingga instansi luar negeri. Saya tertarik mengutip kata-kata Mudzakkir yang layak jadi maudlotul hasanah: “Menurut saya gerakan ini tidak boleh ditunda-tunda, karena kalau kita menunda, maka sama sj kita mendiamkan bencana peradaban. Tragadei Nol buku yang disampaikan oleh Taufiq Ismail semakin dahsyat terjadi hampir merata di seluruh negeri.”  Dia, dalam bahasa saya benar-benar mengajurkan berburu buku dan agar tangkapan bukunya besar, tentu perlu dibangun sekutu.

IPM, selamatkan anak bangsa dari kekurangan membaca? Genderang perang sudah pernah ditabuh IPM semenjak 2003 secara formal, memunculkan term 'gerakan iqro' yang tetap sampai sekarang masih menjadi subordinat dalam pikiran dan perbuatan pengurus IPM itu sendiri. Banyak hal lebih sebagai superior alias prioritas para aktifis yang butuh mengejar masa depan, karier, dan kepuasan individu lainnya. Saya memahami, bahwa negara tidak ingin rakyatnya terlalu cerdas, sehingga akses buku hanya terbatas pada buku-buku yang sudah basi, tidak menarik, buku yang ada hanya mengajarkan ketertundukan kepada sistem dominan dan hegemonik. Maka bacaan alternatif harus dipopulerkan, seperti buku-buku resist. Bahkan saya berangan-angan suatu saat saya berharap IPM menerbitkan buku dengan judul, "kiat-kiat menjadi 'nabi' di zaman modern, atau yang lebih provokatif, post nabi Mirzam, dan sebagainya yang menyulut orang berfikir berbeda dan tentu harus memegang prinisp pencerahan bukan sekedar membuat sensasi.

Sehingga kedepan, militan tidak hanya didefinisikan sebagai alumni TMU, atau yang hubungannya baik dengan elit Muhammadiyah, atau tahajud, tetapi sebagaimana buku bacaan itu mencerahkan dirinya dan menciptakan perubahan-perubahan berserta kemenangan yang diraih. Jadi tentu saja kita semua mau ikhtiar untuk selamatkan IPM dari kegagalan gerakan membacanya dan kembali mendayung atau membangkitkan bahtera NUH untuk menyelamatkan buku-buku pencerah, dan anak bangsa yang mau membacanya.  Dengan, kata lain, gerakan ilmu hanya bisa dimulai dari berburu buku dengan sekuat tenaga sebagai manifestasi dari man jada wa jada dan jika ingin mendapatkan pencerahan dan mencerahkan orang maka secara sabar harus mau menghadapi proses, membaca, mengkritisi, menuliskan dan mendisksikan dengan teman-teman sesama penumpang kapal gerakan membaca itu. Kedua ini adalah tepatnya sebagai manifestasi dari man shobaro zhofiro, barang siapa mau bersabar maka akan mendapatkan hasil yang baik (beruntung). Bukan rahasia lagi, membaca adalah aktifitas yang full of kesabaran dan kearifan serta dalam banyak hal radikal. Jadilah, sekali-kali, pembaca yang radikal.

Membaca jika berarti menyelamatkan agama, jadi Selamat berjihad untuk anda semua!

Hamilton Library, Feb 11, 2011

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme