Dalang Zaman Edan, "Negara Paripurna" dan Suatu Kesimpangsiuran

David Efendi
Fenomena alam yang ditunjukkan dengan berbagai jenis 'bencana alam' adalah disinyalir oleh banyak orang sebagai dampak ikutan dari gejala kerusakan cara berfikir manusia memandang alam, memandang manusia itu sendiri. Bencana datang di saat kapitalisme mencapai titik klimaks. Tidak heran, ulat bulu pun mengguncang ibu kota pusat pemerintahan kapitalis Indonesia. Tidak hanya fenomena bencana, berbagai fenomena lainnya seperti fenomena Nurdin Halid, fenomena keistimewaan Yogyakarta, 'legalisasi' korupsi, pengemplangan pajak, menghotelkan penjarah, statemen politisi yang dangkal dan innocent, wisata bui ala gayus, istigasah menjelang UN, Bentrok warga dan polisi, membaca takbir sebelum bunuh diri atau menghabisi nyawa orang lain akhir-akhir ini di tanah air, dan masih banyak lagi 'kegilaan' dan kesalahan berfikir dan bertindak lainnya. Ini bukan fenomena alam biasa, ini sudah menjadi sebuah absurditas jika seorang mimpi meniadakan fenomena manusia Indonesia tersebut. Ini adalah lebih dari dalang edan akhir zaman, tetapi sebuah kesimpangsiuran cara berfikir. Otak sudah kram, dan nafsu yang menggangtikan bagaimana otak itu harus dioperasikan.

Pada kesempatan ini, sederhananya, penulis hendak mengajak diskusi tiga hal yang menurut saya sedikit membantu kita menjalaskan beberapa persoalan akut dan semrawut dalam negeri sendiri mulai dunia sunyi nan gelap para koruptor, radikalisasi agama atau atas nama tuhan sebagai bagian dati fenomena tergerusnya akal sehat dan iman cerdas.Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian yang akan dimulai dari siapa dibalaik dalang kehancuran tatanan sosial budaya bangsa, negara paripurna yang terkait isu negara agama dan negara sekuler, dan penjelasan mengenai kesimpangsiuran akal penguasa dan elit negara ini.

Persoalan pertama adalah siapa dalang zaman edan ini? Jika ramalan kalabendu Ronggowarsito atau Joyoboyo benar adanya tentu kita memahami perputaran sejarah kembali jahiliyah di mana hukum moralitas menjadi relatif dan bukan persoalan utama dalam interaksi antar manusia. Siapa kuat dan menang itu satu manifestasi kekuasaan yang biasa kita saksikan di panggung sandiwara tanah air. Hukum memang bisa dibeli dengan biaya yang tidak semua orang bisa membeli, akhirnya segelintir orang yang akan menang dan berhak mengklaim kebenaran di depan hukum negara. Karena sudah hukum alam pemanang adalah satu diantara seribu, atau sedikit sekali sehingga korban pasti berjatuhan di mana-mana. Tanda zaman edan kedua adalah robohnya akhlak para pemimpin atau hilangnya ruh kepemimpinan sebagai instrumen pengabdian menjadi kekusaan yang membutakan. Di samping membutahkan, kekuasaan itu melemahkan manusia dengan berbagai cara dan melanda di semua bidang kehidupan baik sosial, ekonomi, budaya. Masyarakt mikin makin parah dan berat penderitaannya, dan semua tahu akan hal ini termasuk penguasa. Tetapi karena akhlak sudah roboh, tidak ada kewajiban untuk membelah yang lemah dan papa. Kita saksikan perjuangan Prita, para 'pejuang' di KPK, Munir, dan korban ketidakadilan hukum dan kemunafikan kekuasaan lainnya.

Lalu siapa dalangnya? Mungkin semua orang terlibat dalam tragedi kemanusiaan termasuk kita, penontonnya. Sebagaimana Iwan Fals menyindir dalam nyanyiannya bahwa dalang itu semuanya sudah edan (gila), termasuk polisi, dokter, presiden, menteri, wakil rakyat, dan seterusnya termasuk pembaca, termasuk saya. Mungkin. Namun demikian kita terus menanyakan apakah kita bagian dari kegilaan (masalah), atau bagian dari kewarasan (solusi) karena sangat sayang sekali, untuk menjaga kewarasan saja susah, apalagi menawarkan kesembuhan untuk sesama. Kemarin wajar saja, ada status FB teman yang menyatakan: "mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal". Ini psimisme yang sedang melanda, jika tidak ada penawar maka racun mematikan ini akan melumpuhkan Indonesia. Lebih dari ulat bulu.

Kedua adalah bagaimana manifestasi iman dalam keseharian kita. Jika kita merenung dan mempertanyakan diri kita apakah iman itu menjadikan manusia berani mati dan menjadi pengecut dalam hidup? apakah iman lantas membenarkan dalih pembantaian? Apakah Muhammad sang Nabi melakukan serupa kepada orang tidak beriman? Jika iya pun pasti ada konteks misalnya periode perang dan damai karena keluarga beliau saja tetap tidak beriman sampai akhir hayat. Kenyataannya, agama-agama misionaris sangat ingin menunjukkan loyalitas kepada tuhan bahwa mereka membela tuhan dengan berbagai cara termasuk mengkhianati firman/ayat-Nya. Inilah dilema mayoritas yang gampang terancam dalam keadaan paling nyaman dan kuat sekalipun. Ibarat raja hutan mengantuk tetapi merasa banyak ancaman disekelilingnya akhirnya sepanjang hidupnya menaruh curiga kepada warga hutan lainnya yang beragam tersebut.

Bentuk negara kita pancasila, meskipun banyak bilang sistem pemerintahan kita demokrasi sekuler. Pendapat itu tidak ada salahnya tetapi kita tahu ada departemen agama, ada sekolah agama milik pemerintahan, ada agama resmi dan tidak resmi, ada aliran tidak/sesat dan ada yang ekstrem digolongan sesat dan menyesatkan. Inilah salah satu kontributor kekerasan massa akibat negara satu pihak emncampuri tetapi satu pihak 'mendukung' kekerasan secara tidak langsung dengan aturan hukum multitafsir. Kelompok Islam moderat berdalih pancasila sudah final, begitu juga kelompok nasionalis dan agama minoritas, sementara keyakinan agama disebrang lain hanya meyakini bahwa hanya hukum tuhan yang kekal, tidak ada hukum manusia lebih baik dari hukum tuhan. Tidaklah mengherankan jika perdebatan asaspancasila, atau pancasila sebagai ideologi negara tidak pernah ada habisnya dibicarakan. Pahitnya, adalah ketika ini memakan korban manusia tidak bersalah yang dibantai atas nama tuhan, atau dibalik atas nama itu, adalah bentuk kosnpirasi kekuasaan iblis. Lagi pula, negara ini tidak akan pernah paripurna bagi semua orang, kemiskinan baik moral dan ekonomi tetap menjadi persoalan tersendiri selain masalah absurditas elite yang kropos dan hampa dari nilai pengabdian kekuasaan. Maka yang sesungguhnya paripurna adalah, mengutip Syafii Maarif, kehancurannya.

Terakhir dan perlu direnungkan. Ada beberapa kelompok manusia di negeri ini, jumlahnya tidak banyak, tidak lebih dari lima persen dari jumlah penduduk 238 juta. Tetapi mereka menguasasi bisa jadi 80% sumber perekonomian dan penghidupan masyarakat. Jadi, pperan negara yang 'memonopoli hajat hidup orang banyak' sebenarnya sudah lama dialihkan atau diswastakan kepada keluarga atau pemilik perusahaan namun masyarakat tidak menyadarinya. Ketidaksadaran ini karena pemerintah menyembunyikan kebenaran (bohong) demi melanggengkan kekuasaan. Cara berfikir, cara melihat persoalan kerakyatan itu mengalami kesimpangsiuran, tidak bisa membedakan mana pangkal dan ujung masalah. Inilah kenyataan yang sedang kita hadapi, betapa pemerintah kita saat naive jika harus berkorban dan bekerja keras untuk rakyat. Kemenangan di negeri ini adalah kemenangan slogan, kejayaan image para penguasa melalui rekayasa penipuan ala media dan berlindung dibalik angkah-angka dan data statistik untuk mendapatkan apresiasi dunia intrenational (kapitalis global). Kesimpangsiuran berfikir itu melanda juga di masyarakat kita, karena pragmatis nya semua hubungan sosial harus dikomersialkan atau paling tidak ada keuntungan ketika bergabung dalam komunitas tertentu atau berinteraksi dengan orang tertentu dalam keseharian. Wajar dan tidak mengagetkan jika para penguasa itu berusaha sekuat tenaganya melipatgandakan keuntungan ketika korupsi itu bukan tabuh. Korupsi sudah disimpangsiurkan dalam otak para aktifis koruptor menjadi sesuatu yang dilegalkan oleh nurani lantaran berfikir bahwa "jika bukan aku yang mengkorupsi, pasti orang lain yang mempunyai kesempatan akan mengkorupsinya", "mumpung ada kesempatan, mumpung yang lain belum datang menghabiskan,", "itung-itung untuk balik modal pemilu yang lalu dan modal untuk pemilu ke depan." Itulah bentuk kesimpansiuran kenapa korupsi itu melenggang kangkung, karena dalih agama dan moralitas gagal merasuk dalam benak dan otak pelaku.

Parahnya, tidak hanya itu termasuk 'surga' yang manusia hanya punya sedikit pengetahuan itu pun dimonopoli kelompok tertentu dengan mengklaim kebenaran dan atas nama tuhan membumihanguskan kemanusiaan. Inilah sesungguhnya klimak dari kesimpangsiuran berfikir. Kalau pun tobat hari ini, mungkin sudah sangat terlambat?. Too late.

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme