Privatisasi Negara, Matinya Republik

David Efendi
 "...sungguh tahun 2010 adalah bencana politik bagi kita semua. Ketika kepemimpinan republik bertubi-tubi terbelenggu kepentingan elite politik maupun privat..." (Erlangga Pribadi, Kompas 12/23/10)

Tulisan ini sedikit menyimpang dari beberapa tulisan sebelumnya mengenai kritik terhadap kecenderungan pemerintah untuk memprivatisasi (swastaniasi) badan usaha milik negara (BUMN). Model swastanisasi sektor BUMN adalah jelas sebagai skenario kapitalisme global untuk melumpuhkan negara sebagai pensubsidi kebutuhan utama rakyatnya. Kaum penganut neoliberal tidak senang jika rakyat sejahtera karena campur tangan negara. Dalam negara berbentuk republik justru negara berkewajiban mensejahterakan rakyatnya dengan berbagai cara. Artinya campur tangan negara mutlak diperlukan. Negara leviathan di era modern kemudian diartikan sebagai kekuatan negara untuk berpihak kepada rakyatnya, menggunakan segala sumber dayanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Di Indonesia ditengarai adanya sifat condong kepada mekanisme pasar itu semenjak periode Orde Baru (1966-1998) lalu dilanjutkan secara parsial dan tidak terlalu kentara pada periode pemeirntahan setelahnya sampai sekarang pada era SBY-JK (2004-2009) dan SBY--Budiono (2009-2014) di mana mereka berusaha privatisasi krakatau steel. Malangnya, pembicaraan privatisasi ini ketika bencana bertubi-tubi menghantam Indonesia, menambah jumlah kemiskinan baru di berbagai daerah mulai lapindo, wasior, mentawai, dan Yogyakarta. Inilah ketidakarifan pemerintah yang minus sense of crises, kekurangan empati dalam segala tindak tanduk dalam pembuatan kebijakan. Penulis tidak hendak membahas privatisasi BUMN tetapi lebih kepada etika berpolitik dan bernegara yang penulis beri judul provokatif: privatisasi negara dan ancamannya terhadap eksistensi nilai-nilai falsafah republik (res publica).

Privatisasi negara diartikans sebagai fenomena personalisasi jabatan atau kekuasaan pemerintahan yang melekat kepada diri baik eksekutif, legislatif, atau yudikatif bahkan dalam partai politik. Kecenderungan ini terlihat dari fenomena merumahkannya kegiatan publik-kenegaraan menjadi project atau mekanisme sempit berupa pertemuan keluarga, elit partai koalisi dan sebagainya. Demokrasi yang merupakan perdebatan publik menjadi pembicaraan private atau individu tertentu. Dari sinilah politik dijinakkan dalam arti demokrasi dipersempit sebagai kedai, restoran, atau semacam kumpulan aktor politik. Hal ini bisa terlihat dari seringnya pembicaraan isu negara oleh sekretariat gabungan dan rumah pribadi presiden di Cikeas. Secara komunikasi politik ini semakin merusak tatatnan demokrasi selama ini dibangun. Jika pemerintahan suharto eksekutif sangat kuat dari pada legislatif, jika pemerintahan mega dan gus dur lebih kuat legislatif maka pemerintahan sby jilid kedua lebih terlihat bahwa aktor diluar eksekutif dan legistaltif yang kuat. Sebut saja setgab. Fenomena setgab adalah fenomena informal government, sejajar dengan mafiaso di Italia atau bossism di Filipina.

Di bawahnya mekanisme kenegaraan ke dalam rumah pribadi atau rumah sekumpulan individu adalah upaya pelemahan terhadap negara. Aktor sangat kuat dan negara lemah/dilemahkan. Ini adalah ancaman terbesar negara dunia ketiga mengikuti model demokrasi liberal ala Amerika. Persis, di Amerika, kongres hanya mengikuti keputusan bos-bos perusahaan besar yang selama ini mensponsori perang dan program pemerintah federal. Para pemagang modal/kapital kekuatanya dan daya tawarnya di atas segalanya termasuk rakyat (konstituen) para politisi. Jadi, dalam demokrasi liberal seperti di Indonesia saat ini, rakyat tidak bisa berharap sebab hanya menjadi alat legitimasi sementara produk kebijakan bukan diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan. Meraka hanya mengalokasikan sedikit anggaran negara untuk menyantuni rakyat dalam label negara kesejahteraan seperti BLT, BOS, Keluarga harapan, dan PNPM Mandiri. Itu hanya alat justifikasi bahwa Indonesia masih pantas disebut negara kesejahteran (welfare state) atau penganut social welfare sebagaimana konstitusi UUD 1945 menyebutnya (khusunya pasal 34).

Tepat sekali, bahwa Indonesia sebagai negara sudah jatuh ditangan para pemilik kapital, bos nasional sampai lokal. Para big bos atau raja besar baik lokal dan nasional mempunyai karakter 'garong', ‘preman’, dan bersifat parasit terhadap negara. Negara tidak lagi mempunyai kekuasaan sebagaimana Weber yang mengatakan negara sebagai lebaga sah memonopoli kekerasan untuk menegakkan ketertiban dan tentu saja melekat upaya mensejahterakan pemilik republik. Karena republik itu sendiri diartikan sebagai kembali ke publik atau untuk kepentingan umum (res publica). Jika tidak, maka nama republik menjadi tidak relevan untuk digunakan.

Lalu apa, jika bukan republik?
Ketiak perdebatan mengenai keistimewaan propinsi Yogyakarta SBY menyinggung bahwa tidak bol;eh ada monarki dalam sistem demokrasi (liberal). Tetapi beberapa kalangan termasuk ilmuwan politik justru pemerintah pusat, partai penguasa menjalankan model politik feudal, monarkhi dalam batas tertentu lantaran kepengurusan partai, menteri, dan berbagai penentu kebijakan hanya berdasarkan aspirasi elite atau berasal dari keluarganya. Personalisasi kekuasaan sangat kentara dalam bingkai keluarga SBY dan antek-anteknya. Kalau pun merekrut tekhnokrat, meraka dipilih karena loyalitas dan bukan kompetensi sebagai profesional dan kemampuan menemukan soulsi dari persoalan kebangsaan. Jika pemerinatahan sekarang tidak dibilang monarkhi, tentu ada sebutan lainnya yang layak seperti shodow state, private state, autocracy, undemocratic state, atau negara swasta (kumpulan/korporasi pebisnis nasional dan global).
Apa pun sbeutannya, label-label itu mengarah kepada nihilisasi keberadaan republik secara substansial dan konseptual. Tidak ada dan tidak seharusnya teradi di negara republik demokrasi dirumahkan, diswastakan sebagai milik sekumpulan orang/bandit yang sangat menentukan kebijakan. Privatisasi demokrasi artinya membunuh republik dan sebagai akibat jangka panjang adalah kelangsungan kemiskinan, pengangguran, dan eksploitasi kemanusiaan yang berkepanjangan sebab persoalan ini hanya mungkin diatasi ketika republik ditegakkan, sendi-sendi ‘leviathan; di bawah kembali untuk tujuan kebaikan dan ketertiban umum dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama.

Dalam kata singkat, privatisasi negara sedang berlangsung mulai dari privatisasi demokrasi di mana berbagai kebijakan pemerintahan didistorsi dalam mekanisme kekeluargaan atas nama partai koalisasi atau bertukar kasus untuk saling melindungi. Sebagai akibatnya negara terus mengalami kelemahan secara subtansial dan paradigmatic. Label republik atau res publica diganti res-privata, dan akhirnya ujung-ujungnya adalah penelenataran terhadap pemilik republic itu sendiri (rakyat). Dalam keadaan ini negara tidak bisa membela rakyat dan tidak mampu menggunakan kekuasaannya untuk rakyat sebab aktornya sudah dibajak dan berpihak kepada kepentingan ekonomi politik untuk melanggengkan kekuasaanya. Sama persis, mereka adalah penganut neo-liberal an sich, demokrasi liberal yang selalu berkutat kepada siapa mendapatkan apa dan bagaimana (Laswelian), dan tentu saja mereka penggemar berat Lord Acton dengan bangga mereka mendapatkan kekuasaan yang absolute dan menyimpangkannya secara absolute. 

Keywords: Negara, Republik, black kapitalis, black market, self-government, personalisasi, relasi kuasa, capitalist hit man, state label, politisi-pengusaha, state subordinat, failing state, tragedy of the common.

Halemanoa, Jan 6, 2010

Lenyapkan Mafia, Agenda Mendesak Bangsa

David Efendi

"Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain"
— Pramoedya Ananta Toer
Manusia-manusia rakus digerakkan oleh mimpi kekuasaan ekonomi-politik mencoba menggunakan segala macam startegi untuk memperlancar tercapainya tujuan. Mereka tidak enggan menaklukkan kebenaran atas nama demokrasi atas nama hak asasi manusia. Mereka meruntuhkan tesis besar mengenai idealinya sebuah republik atau res publica menjadi res privata yaitu transformasi kapitalis dari ruang publik menjadi hak milik perseorangan. Mereka juga mengkebiri negara leviathan sehingga kewenangan dan segala penentu jatuh ke tangan kelompok individu. Kelompok tersebut hadir di banyak negara dengan nama yang beragam mulai bos lokal-nasional, gengster, mafioso, preman, Jawara, Blater, dan sebagainya.

Dua istilah yang sering dikaji adalah kelompok bandit republik, dan negara predator. Kelompok bandit lebih dilihat sebagai aktor informal government dalam negaraa lemah. Mereka meminta projek dan keuntungan dari kebijakan negara dalam berbagai subsidi atau distribusi sehingga mengalir ke tangan orang tertentu yang dekat atau mendukung terpilihnya politisi. Bentuk bandit bisa dilihat dari kasus Bossism di Filipina, Beberapa propinsi di Indonesia, kasus zaman Suharto, dan untuk kasus era SBY lebih dikenal sebagai predatory state. Predatory state diartikan bahwa negara yang dikuasi oleh aktor-aktor politisi-pengusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dari kebijakan publik untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya (Polak 2001; Sidel 1983; Robinson 2001). Misalnya dari pajak, dari pengurangan subsidi BBM, dan kenaikan harga pangan lainnya. Negara predator siap memangsa rakyat sendiri sebagai karakter utamanya. Mereka dekat dengan MNC (multinational corporation), atau TNC (transnational corporation), untuk agenda ekonomi neoliberalnya. Rezim sekarang lebih dekat ke arah ini.

Jika Amin Rais menulis banyak hal persoalan bobroknya menejemen negara dan sumber daya alam dalam buku selamatkan Indonesia, agenda mendesak bangsa (2008) maka penulis di sini ingin mengambil salah satu agenda yang tidak kalah mendesaknya yaitu pemberantasan dan pelenyapan para mafia yang berdiri terdepan di gerbong demokrasi dan disentralisasi. Para mafia tidak hanya berada di luar panggung perpolitikan, mereka adalah pemain, pelaku utama dari segala bentuk pembuatan undang-undang, sistem pemerintahan dan sebagainya. Jika di Filipina Bos, menurut Sidel (1998) berada di luar politik hanya mempengaruhi kebijakan dan menjaidkan politisi menjadi suboridnate dari kekuatan bossim maka di Indonesia bos tersebut adalah politisi kawakan. Mereka sudah banyak makan garam, keluar masuk penjarah tetap tidak gentar menjadi pengusaha dan politisi lantaran yang belum masuk sel tidak kalah buruknya dari yang sudah berpengalaman di rumahkan (dipenjarah).

Akibat dari lahirnya bandit dan negara predator ini sangat jelas terlihat jika kita konsen terhadapnya. Beberapa akibat adalah negara semakin lemah dan tidak berdaya untuk mensokong negara sebagai republik yang berorientasi welfare state atau sosial welfare sebagaimana konstitusi menyebutnya. Negara predator bisa sangat kuat, tetapi kekuatan itu bukan berpihak untuk rakyat tetapi untuk bos global dan nasional saja. Dalam berbagai kebijakan menganut model lama yaitu trickle down effect. Jika negara diuntungkan ratusan trilyun rupiah dari pemangkasan subsidi bBM dan kenaikan harga maka rakyat cukup diberikan 18 triyun dalam program BLT (Bantuan langsung tunai) atau SLT (Subsidi langsung Tunai). Hal ini berbeda dengan Mexico dan Amerika latin yang mempunyai program serupa tanpa menunggu BBM naik karena kewajiban mewujudkan kesejahteraan bukan sebagai kompensasi.

Quo Vadis Pemberantasan Mafia?
Di Indonesia ada banyak istilah yang relevan digunakan untuk melabeli para parasit negara dan masyarakat mulai dari koruptor, mafia peradilan, boss lokal, local strongman, bandit, preman, dan julukan lainnya. Mereka sangat oportunis ketika tidak menduduki kekuasaan dan sangat predatoris ketiak menjabat sebagai politisi atau pengambil kebijakan. Sebagaimana tulisan-tulisan lainnya, kaum kapitalis yang menjelma sebagai berbagai model bandit ternyata bisa survive dari berbagai rezim baik demokratik atau non-democratik, monarkhi atau republik, dan sebagainya. Inilah kesulitan yang paling besar selama ini. Sebagai contoh, demokratisasi di Indonesia yang berujung kepada meluasanya wewenang daerah dalam kerangka otoda dan desentralisasi hanya memberikan peluang sangat besar bagi para bos lokal, dan bandit mulai dari pusat, daerah, desa melakukan kongkalikong untuk menguasai sumber daya ekonomi melalui kekuasaan formal dalam pemerintahan. Sebagai contoh, partai politik harus mengucurkan dana untuk pemenangan pemilihan kepala desa agar nantinya juga akan memenangkan pemilu legislatif, pemilukada, dan pemilu presiden. Ini adalah jejaring yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh bandit politik secara sistemik.

Kebutuhan kita untuk memeranginya adalah; Pertama, kita mengidentifikasi secara sosiologi aktor-aktor yang sudah berada dalam jejaring bandit atau mafia. Kedua, kita juga petakan secara politik apakah masih ada partai politik yang bisa dijadikan parner untuk melawan mafia. Jika tidak maka unsur gerakan sosial perlu diperkuat, diberdayakan, dan dijadikan organisasi perlawanan untuk bandit desa sampai pusat. Ketiga, kita harus bergerak untuk merebut simpati massa agar tidak terkontaminasi alam pikirnya oleh kekuasaan mafia dan bisa memilih calon politisi yang kredibel atas dasar kebutuhan dan tentu saja benar-benar pro-rakyat. Terakhir, kita harus percaya kepada kekuatan sendiri. Perjuangan memang beresiko tetapi tidak ada yang tidak mungkin bahwa kita bisa mengubah keadaan buruk ini.

Akhirnya, kepercayaan kita mesti kita tumbuhkan. Pemerintah sudah membentuk KPK dan lembaga pemberantasan mafia yang dipimpin Deny Indrayana. Salah satu tugas kita adlaah meyakinkan bahwa mesin itu mampu menangkap dan melibas habis mafia dan kaum bandit berkerah putih. Kita harus mengawalnya dengan berbagai cara sambil kita juga mengawasi tingkah pola dan manufer bandit di daerah dan di desa. Kelompok anti abndit dan mafia harus ditumbuhkan di berbagai daerah spesifik atau lokal. Jika ini bisa maksimal maka rantai bandit akan diputus, Kekuatan rakyat kebanyakan yang anti bandit masih jauh lebih besar. Hanya kekuatan rakyat yang bisa menghentikan bandit, hanya dengan cara menolak memilih politisi bandit masyarakat kita akan berubah menjadi lebih baik.

Keywords: Bakrie, Bossism, kedaulatan, weak state, gengster, informal government, failed state.

Honolulu, Jan 4, 2011 (editan dari Dec 28 2010)

8 Dosa Sosial Pemerintah


David Efendi

“It is better in prayer to have a heart without words than words without a heart.” (Mahatma Gandhi)
Tentu pembaca akan sebagian setuju dengan pendapat bahwa menghitung dosa lebih baik dari pada menghitung-hitung pahala yang kita merasa sudah banyak melakukan. Menghitung dosa artinya kita instropeksi dan evaluasi sedangkan menghitung pahala artinya pamrih, riya, pamer dan ujungnya akan menjadikan manusia sombong dan terbuai oleh kekuatan yang ia sendiri tidak memilikinya. Lalu kenapa kita perlu berhitung dosa pemerintah? Tugas manusia adalah mengoreksi diri sendiri dan berbuat untuk sesama, jika kita tidak mengoreksi pemerintah lalu siapa yang akan mengevaluasinya? jika pemerintah salah bukankah akan membawa dampak yang besar menyangkut hajat hidup orang banyak?

Hal inilah kenapa manusia dibumi ini harus menaruh perhatian yang serius kepada pemimpinnya. Jika pemimpin baik akan dicintai rakyatnya dan jika buruk dosa sosial yang akan dihasilkannya. Ada dua hal yang harus dipahami yaitu dosa sosial, dan pemerintah. Pertama, dosa sosial (social sins, meminjam istilah Mahatmagandi) kita artikan sebagai dosa yang dilakukan orang perorang sebagai individu, kelompok, dan lembaga kekuasaan yang mempunyai dampak langsung di muka bumi atas kehidupan banyak orang baik langsung maupun tidak, baik terang atau tersembunyi. Sedangkan Pemerintah atau governmant sebagai lembaga atau isntitusi yang mengatur kehidupan komunitas tertentu dengan aturan hukum yang sudah menjadi kesepakatan umum melalui kontrak sosial atau politik. Anggota komunitas sudah emmberikan haknya kepada lembaga tersebut dan berharap mendapatkan perlindungan dan pelayanan sebagai simbiosis mutualisme  (saling menguntungkan).

Masa 32 tahun bukanlah sebentar, karena itu setapak demi setapak sepak terjang Orde Baru itu berdampak luas terhadap perilaku masyarakat secara keseluruhan. Akhirnya di dalam masyarakat terbangun sikap dan perilaku yang oleh Mahatma Gandhi disebut sebagai “dosa sosial”. Menurutnya, masyarakat terpuruk hebat karena berlangsungnya 7 (tujuh) macam “dosa sosial”, yaitu: politics without principle; wealth without work; commerce without morality; education without character; pleasure without conscience; science without humanity; dan workship without sacriifice. Apakah dalam masyarakat kita sekarang ini “dosa-dosa” sosial tersebut masih ada? Saya kira masih! Bahkan mungkin lebih merajalela. Berikut adalah 7 dosa sosial pemerintah Indonesia terutama orde cikeas yang dianalisi menurut pemikiran cemerlang seorang Mahatma Gandi yang ditulis tahun 1925 dan satu tambahan dosa sosial menurut Arun Gandi. Berikut adalah detailnya semoga menjadikan manfaat dan bukan mudhorat dari catatan singkat ini.

Pertama, Politics without Principle. Hal ini secara bebas dapat diartikan bahwa perilaku politisi yang tidak mempunyai prinsip yang memegang teguh nilai-nilai kebaikan umum, kebenaran dan kejujuran sehingga mereka semakin memperkuat pandangan negatif orang awam bahwa politik itu kotor lantaran pemainnya yang berlumpur dosa dan bukan politiknya. Orang yang mempunyai prinsip, pejabat yang memegang teguh prinsip dengan nurani maka output yang dihasilkan seharusnya progres untuk kepentingan poltiik kebangsaan yang bermartabat. Belajar prinsip, etika, atau moral pejabat tidak perlu mahal dan jauh ke Yunani.di bagian terkecil bangsa ini penuh dengan ayat-ayat moralitas dan kebajikan.
Kedua adalah Wealth Without Work artinya memperkaya diri dengan cara-cara melawan hokum dan keadilan seperti cuci uang, rentenir, koruptor dan segala jenis model penyuapan yang sudah dipraktikkan sekian lama meski dalam konteks Indonesia masih ada perdebatan apakah kebiasaan KKN diajarkan oleh colonial Belanda atau bahkan semenjak jauh sebelum belanda datang ke pulau nusantara ini. Kita bisa mempertanyakan soal rekening gendut para petinggi polri dan tentara, calon presiden dan kepala daerah yang begitu besarnya diumumkan KPU menjelang event pemilihan umum. Ketiga, Pleasure Without Conscience. Kesenangan yang minus nurani yang mengakibatkan lunturnya toleransi, hilangnya solidaritas lantaran mementingan kesenangan dan kepuasan pribadi diatas kepentingan orang banyak. Hal ini diekpresikan oleh berbagai kebijakan Negara yang tidak pro rakyat, tidak menguntungkan grassroot sehingga seolah elit politik yang panen raya capital seentara rakyat bawah menderita kematian yang mengancam.

Keempat, Knowledge without Character. Miskinnya karakter pemerintah menjadikan bangsa kaya raya ini berubah menjadi bangsa pengemis lantaran para elitnya selalu didete kapitalisme global seperti IMF dan Bank Dunia (Pramudya ATour, The new ruler of the wordl). Keunggulan pengetahuan, kepandaian hanya digunakan untuk memperpuruk keadaan bangsa seperti munculnya kelompok tekhnokrasi, meritokrasi tahun 1970-an yang hanya menjadi justifikasi dan alat legitimasi negara untuk berbuat lebih buruk. Kita lihat mafia berkeley, mafia columbus, dan sekarang kelompok baru sudah terbentuk seperti kelompok yang memainkan angka-angka kemiskinan dan membuat kebijakan yang kalap seperti orang salah minum obat atau over dosis.

Kelima, Commerce without Morality. Berdagang dengan membolehkan segala cara adalah tragedy kemanusiaan sebagaimana yang sudah dipraktekkan pengusaha hitam, kapitalis kelas kakap yang secular dalam artian membunuh moralitas dalam urusan transaksi perdagangan dalam rangka mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Ini lah yang disebut oleh Garret Hardin (1968) sebagai the tragedy of the common. Pemerintah yang terlalu friendly dengan kapitalis sangat memungkinkan mendatangkan tragedy tersebut dan selama ini Negara pura-pura memusuhi kapitalis tapi sebenarnya mereka itu seperti ungkapan benci tapi cinta atau ‘friendly enemy’. Keenam, Science without Humanity. Di Indonesia pernah membesarkan dewa perusak ekonomi meminjam istilah yang penulis baca dari the confusion of hit man pada saat masih kuliah di UGM seperti agen donor pinjaman international yang menjerat Negara berkembang atas nama kuasa pengetahuan, the power of knowledge telah menjadikan Negara miskin semakin miskin lantaran besarnya bunga yang harus dibayar hingga menggadaikan kekayaan alam dan bumi yang kaya raya secara murah bahkan gratis kepada kapitalis global. Pengetahuan atau ilmu tanpa nurani kemanusiaan akan menjadi mesin pembunuh paling dahsyat abad ini. Sama bahayanya jika pengetahuan tanpa agama atau sebaliknya. Jika individu hanya membnuh satu orang maka tekhnologi bisa membunuh jutaan orang dalam perang-perang dunia yang pernah terjadi baik perang dunia 1 (year) atau perang dunia 2 (year). Sederhana saja, pengetahuan yang pernah dijadikan indicator kemiskinan dan menjadikan kebijakan yang salah lantaran madzab ekonomi yang tidak berakar pada tradisi dan kearifan lokal. Praktik mafia Berkeley pada saat penguasa orde baru di atas langit (tidak hanya daun), mafia colombus atau mafia survey akhir-akhir ini yang mengukuhkan rezim kuantitatif di Indonesia. Jika kemiskinan diangkakan, ditabulasi dalam bentuk terdistorsi serta dibuat indicator siapa miskin siapa tidak oleh orang yang tidak pernah merasakan kemiskinan betapa akan menjadikan berbagai tragedy? Salah resep dan salah minum obat serta overdosis yang mematikan bagi wong cilik. ICMI, LIPI, dan lembaga-lembaga riset pelat merah bisa saja terlibat dalam rezim pengetahuan yang memblinger (menipu). Bagaimana pengetahuan obyektif bisa diciptakan? Untuk kepentingan sebasar-besarnya rakyat?
Ketujuh, Worship without Sacrifice. Dalam konteks sekarang perjuangan dalam agama sering dimaknai beragam seperti kelompok islam tertentu merasapaling ebnar dan memaksakan kelompok lain berfikir dan bertindak sebagaimana mereka berbuat dan berperilaku. Banyak orang merasa menjadi pembela tuhan meski dengan ekspresi anti ajaran agama secara berkebalikan sehingga penuh anomaly akibatnya. Kasus berbagai penyerangan kelompok Ahmadiyah, gereja, dan sebagainya adalah manifestasi dari pemahaman agama atau ibadah tapi miskin pemaknaan kemanusiaan meski dalam segala kitab suci pasti menjunjung dan memuliakan kehidupan bukan saling memusnakan. Negara seperti Indonesia yang mirip theokrasi sebab banyak mencampuri urusan agama maka seharunyalah mampu menjadi pengayom keyakinan dan kepercayaan rakyat selama hal tersebut tidak menimbulkan keresahan public. Bagi saya, makna dosa social ini bukan mewajibkan orang melakukan perang tapi menghindari hawa nafsu perang (untuk FPI dan balatentara) adalah pengorbanan yang besar sebagaimana nabi bilang, seusasi peperangan, bahwa perang terbesar adalah perang melawan hawa nafsu. Inilah pengorbanan itu dan manusia lebih down to earth, akhirnya manusia lebih mengutamakan menghindarkan dari segala bentuk kekerasan (zuhud).

Kedelapan, Rights Without Responsibility. Dosa social ke delapan ini bukan berasal dari kata-kata gandi tapi dari anaknya namun hal ini sangat relevan dengan keadaan sekarang seperti berbagai kebijakan dan pernyataan pejabat public dan politik yang tidak menunjukkan sikap bijak dan bajik di tengah masyarakat yang tidak berpemimpin secara utuh lantaran pemimpin agama dan pemerintah tidak memenuhi kreteria sebagai pemimpin di tengah rakyat yang tergerus distrust akut. Taruhlah contoh alas an menaikkan BBM, tariff dasar listrik, pernyataan mengenai resiiko bencana penduduk pesisir pantai yang dinyatakan oleh Marzuki Ali, ketua DPR RI, oleh banyak kalangan dinilai perbuatan yang tidak bertanggung jawab meski bicara adalah hak tapi tidak seharunya hak itu untuk menyakiti korban bencana yang sudah kesusahan.
Demikian dosa-dosa yang saya lakukan, kita lakukan, pemerintah lakukan selama ini.Karena dosa pejabat pelaksana pemerintahan yang paling berat dampaknya maka selaykanya kita selalu melakukan check and balance dalam ranka menjaga agar pemerintah tidak berbuat kerusakan di muka bumi Indonesia. Jika tetap melakukannya maka rakyat yang sadar harus bergerak menghentikannya sebagaimana yang selama ini dilakukan para pemimpin kita yang mulia hati dan tindakannya seperti Mahatmagandi, Kia Dahlan, Hatta, Soekarno, Guevara, Gie,dan seterusnya.

Oct 23,2010

Negara Facebook

David Efendi

Facebook, seperti halnya sebuah negara besar, kini penduduknya melampaui 400 juta manusia (sangat mungkin ada yang bukan bangsa manusia, seperti binatang piaraan, dan manusia yang sudah meninggal dunia he he). Tidak hanya individu yang bergabung, tapi juga ada yang satu keluarga termasuk bayi didaftarkan di facebook. Ada juga komunitas lembaga sosial, organisasi agama bergabung dan kelompok civil society lainnya bahkan anggota dewan dan menteri juga punya facebook. Sudahkah anda menjadi friend SBY silakan di add nama lengkapnya susilo bambang yudoyono. Tapi jangan berhadap bisa chatting dalam waktu dekat lantaran sedang sibuk rapat dan menonton korban bencana alam di berbagai daerah dan hebatnya tetap bisa berplesiran ke banyak negara.

Layaknya negara yang terdiri dari presden, legislatif, dan rakyat. Facebook merupakan negara terbesar ketiga setelah India dan punya sistem administrasi yang fleksibel. Profil dalam fb seperti halnya KTP dalam negara dengan tingkat fleksibilitas super tinggi anda boleh isi atau tidak, anda bisa pakai profil foto senyum, nangis, berdiri duduk, bahkan anda taruh foto gendruwo juga boleh. Ada birokrasi dalam negara facebook, tapi tidak galak seperti petugas kecamatan saat membuat ktp musiman atau ktp menetap di Indonesia.
Facebook, mungkin lebih dari sebuah negara, tapi negara bangsa (nation-state) lantaran ada identitas yang beragam, multi etnis, agama, bahasa, dan sebagainya tapi semua boleh mengakses facebook tanpa diskriminasi dan perlakuan khusus. Brebeda dengan negara kuno yang sangat ketat dan menakutkan jika berurusan dengan birokrasi yang politis, feudal, dan hiararkhi plus oligarki. Pokoknya, facebook menjadikan anda dikenal dan mengenal tanpa batas geografi dan sekat apa saja selama terkoneksi dengan internet.
Di negara facebook, tidak ada korupsi, kolusi dan nepotisme alias zero kkn. Berbeda dengan negara kuno yang dihuni manusia-manusia yang silau dengan uang, rupiah, dollar dan kayu glondongan sampai rela melempar kesana-kemari angka kemiskinan dan menyalahkan alam jika ada bencana. Bencana di facebook relatif minim bahkan sampai mendekati angka nol hanya sedikit terganggu oleh para hecker yang ingin mencari keuntungan, mengundi nasib sebab di dunia nnyata mereka tidak ada tempat, tak bisa korupsi sehingga masuklah menjadi warga negara facebook dengan perilaku ‘nakalnya’ dalam rankah menyambung hidup untuk membeli koneksi internet. Harap maklum, bukankah setiap komuniats diutus setan seorang atau sekolompok makhluk jahat dan merusak. Inilah negara facebook.

Warga facebook sekarang berbondong-bondong membantu korban merapi dan mentawai serta wasior. Belum lama ini rakyat facebook juga sudah membantu membebaskan Prita, dan pejabat KPK. Kita rakyat facebook sebaiknya berkomitmen untuk menjaga planet bumi sebagai tempat dimana jaringan internet digunakan dan dikomersialkan. Kita mesti down to earth. Apapun yang terjadi, Kita jaga bersama, negara kesatuan Facebook, Republik hotspot, fakultas google, jurusan merapi!

Oct 2010

Jika Bukan Bagian Solusi, Lalu Bagian Apa?

David Efendi


Ada bencana ada berita dan ada masalah. Itulah hukum alam atau sunnatullah. Tapi ada juga yang mencoba-coba cari masalah?. Berdasarkan catatan radar dan seismograf pribadi saya setidaknya ada empat golongan dalam penanggulangan dan pemberitaan media seputar bencana. Kelompok pertama, adalah ahli hikmah. kedua, Penhujat yang bertopeng agama. Ketiga, Pahlawan sejati dan yang bukan-bukan. Keempat, kelompok kebanyakan tapi diam (silent majority). Berikut berita lengkapnya. Selamat menggrundelkan diri sendiri dan jangan berkelahi. Sekedar memetakan masalah, bisa jadi Ini bagian dari mencari solusi minimal untuk diri sendiri, syukur-syukur untuk negeri. Semoga tidak parah!
Pertama, adalah orang bijak. Orang bijak akan mencoba positif thinking tentang bencana yang melanda manusia. Selalu mencari ‘blessing in disguise’. Ahli hikmah mana pun yang pernah ada di bumi tentu akan menggaruk kepalanya melihat Indonesia yang tak kunjung reda dihantam badai bencana dari bumi, dari laut, dari langit dan dari penguasa. Ini adalah tragedi paling sempurna di bumi. Jika Amerika atau China, Jepang jadi Indonesia, tak akan sanggup pula mereka malampaunya. Kenapa Indonesia bisa? Kenapa bangsa Indonesia tegar? Apa rahasia dibalik gejolak api yang membakar bagagia, ketenangan, dan kesederhanaan. Jawaban ini tentu akan beragam perspektif dan saya mencoba urun rembuk di sini. Karena jika not now when, if not us who? Ahli hikmah bisa dibilang masuk ketegori solusi meski tidak manifest tapi secara psikologi sangat besar perannya.

Kedua, selain ahli hikmah juga ada ahli kutuk bermunculan seolah menjadi ahli pengamat bencana dan merasa wakil tuhan di bumi. Kelompok yang didominasi kalangan Islam fundamental dan konservatif dalam terminologi umum ini sering menyalahkan manusia, sering menganggap bencana diakibatkan manusia tidak beriman, manusia suka maksiat dan bahkan naifnya, bencana di Merapi dan Mentawai menurut mereka akibat artis yang suka mengumbar aurat: pornoaksi dan pornografi. Belum lama, FPI yang pernah diistempel premen berjubah demo di Jakarta mengharamkan bantuan dari produk pornografi versi Julia Parez. Saya tidak berani mengkategorikan, apakah kelompok penghujat manusia sebagai biang keladi bencana ini masuk solusi atau malah kacorasi. Apa ada yang tahu kelompok FPI banting tulang membantu korban bencana? saya membutuhkan datanya.

Ketiga, Kelompok superhero. Dalam hal ini ada dua macam jenis kelompok yang menjadi pahlawan beneran dan pahlawan bertopeng. Pahlawan beneran selalu melibatkan diri dalam bantuan bencana dan tidak mengutuk siapa pun kecuali mendayagunakan kemampuannya dan organisasinya untuk menolong tanpa menkibarkan berbagai umbul-umbul yang menipu. Sementara kalangan pahlawan bertopeng hanya memperbesar identitas kelompok via umbul-umbul partai dan organisasi dan hanya sedikit menolang kecuali dalam kepamrihan dan ketidakadaan strategi dan hanya membuat rumit segala urusan. Pemerintah dna partai politik masuk dalam kategori ini. Kadang kehadiran kelompok ini hanya menonton dan seolah bersimpati tapi hampa. Sebagian yang lain sibuk berwacana dan membuat kontroversi ala Marzuki Ali dan Tifatul Simbiring. Mungkin mereka merasa superhero dan paling solutif. Benerkah? begitukah? Mungkinkah mereka juga masuk solusi? bisa yes bisa no. Silakan dibincangkan.
Ada juga kelompok ‘fundamentalis politik’ yang selalu menggunakan bencana sebagai ajang melawan pemerintah, beroposisi lewat media dan sebaliknya pemegang kekuasaan mayoritas juga akan melawan dengan cara yang sama hanya pemerintah bisa menggunakan anggaran negara/rakyat untuk membantu(itung-itung pencitraan) sementara kelompok lain disini hanya menghujat pemerintah soal kelambatan mengurus korban, kegagalan kordinasi, kerumitan birokrasi dan ketidakbecusan TNI dan sebagainya. Ini apakah solusi? embuh aku juga tak mengerti nanti dituduh fitnah.

Terakhir, adalah kelompok yang diam dan menunggu. atau disebut silent majority. Ini bisa diakibatkan jarak yang jauh dan tidak ada yang mengorganisasi bantuan sehingga mereka diam dan hanya mengelus dada atau berdoa di depan layar tv menyaksikan saudaranya tertimpa kemalangan dan derita bencana yang datang tiba-tiba tanpa kabar dan berita. Detektor tsunami yang dibeli mahal, tentara yang berjaga dipantai, atau dinas kelautan  tidak berfungsi dengan baik dan menganggap bencana sebagai tamu biasa. Kelompok diam bisa termasuk ahli hikmah, bisa termasuk yang penhujat kelas kakap jarak jauh.

So far, sudah berapa yang masuk solusi dan bukan bagian bagian solusi? Anda, saya, kita, mereka? Bagian dari apa? Jika bukan bagian dari solusi lalu bagian dari apa? Masalah! Karena zaman sekarang diam saja, tidak cukup, berdoa saja belum sempurna, dan ngoceh saja di kompasiana jauh dari cukup. Lalu apa? Ayo menghimpun dana, sambil mengkritik pemerintah yang tidak jelas menggunakan dana rakyat yang melimpah, sambil membantu korban juga menegakkan kebenaran meski rasanya pahit. Untuk para penghujat, kapan tobat!
Salam,

Sedang fund rising!
Nov 3,2010

Matematika Pengungsi

David Efendi
Beawiharta / Reuters-pengungsi-merapi-padati-stadion-maguwoharjo7
Beawiharta / Reuters-pengungsi-merapi-padati-stadion-maguwoharjo7
Jika satu orang (keluarga) di Jogja dan jateng yang tidak berada dalam zona bahaya letusan merapi membawa pulang minimal satu pengungsi ke rumahnya (atau satu keluarga), siapa mau bantu menghitung jika jumlah penduduk Yogyakarta minus pengungsi tahun sensus 2010 sebanyak 3,452,390-120,000 jadi sebanyak 3,332,390 jiwa atau kira-kira sebanyak 666,478 rumah tangga yang siap menampung 1 pengungsi/rumah (asumsi satu keluarga 5 orang) ; penduduk Jawa Tengah sebanyak 32,380,687 minus pengungsi sbanyak 200 ribu jadi penduduk yang ada di zona aman sebanyak 32,180,687 orang atau kira-kira sebanyak 6,436,137 rumah tangga yang akan siap menampung pengungsi (1 orang/rumah). Jumlah rumah tersebut jauh lebih banyak dari jumlah pengungsi. Hasilnya?  tempat pengungsian akan hanya terisi sapi dan ternak pengungsi.Ini hipotesis awalnya. Mari kita hitung secara lebih baik dan lebih ‘valid’.
Di Propinsi DI Yogyakarta jika pengungsi jumlahnya katakanlah 120 ribu maka membutuhkan rumah sebanyak 120 ribu yang siap didatangi pengungsi sementara rumah yang tersedia di seluruh propinsi Yogyakarta lebih dari 6 ratus ribu rumah secara kasar.jadi yang terpakai hanya kurang dari 20 persen dari rumah yang tersedia sehingga diambil yang terdekat dengan daerah pengungsiaan atau misalnya di jogja di Kota, kulonprogo, dan Bantul. Ini sudah cukup.

Sedangkan untuk matematika pengungsian di Jawa tengah yang jumlah penduduknya berdasarkan senses bps 2010 sebanyak 32 juta lebih hitungannya begini: Jika pengungsi di kabupaten Boyolali, Klaten, Magelang, dan lainnya dibulatkan menjadi 200 ribu maka diperlukan rumah penampung sebanyak 200 rumah sedangkan jumlah keluarga atau rumah tangga di Jawa tengah yang ada di seluruh Jawa tengah sebanyak lebih dari 6 juta rumah tangga maka jumlah ini hanya terpakai sekitar 3-4 persen saja. Tinggal pemerintah mensuplai kebutuhan pengungsi di rumah yang menampungnya.

Bahkan sebenarnya kalau matematika pengungsi ini disederhanakan tidak dihitung propinsi tapi jumlah keluarga di daereh terdekat yang siap menampung pengungsi maka barakisasi dan tendaisasi pengungsi akan tidak berlangsung lama dan hasilnya masyarakat sehat. Anggap saja pengungsi sedang ngekos dan yang membayar uang kosnya pemerintah lewat anggaran negara dan juga sumbangan masyarakat.
selain itu, sembako  dana kebutuhan pengungsi yang dirumahkan tersebut tetap ditanggung pemerintah dan bantuan sosial lainnya hanya dimasak di rumah yang mengajak pulang tadi sehingga tidak merepotkan dan membebani pihak keluarga yang membawa. Hal ini kiranya akan lebih sehat dan lebih ringan sebagai bentuk solidaritas sosial yang maksimal. Selama ini di Indonesia setiap ada bencana selalu cara berfikirnta barak dan tenda pengungsian yang selalu bermasalah dengan kesehatan, kebersihan, makanan, dan penyakit yang tersebar ke mana-mana.

Bagi saya, saatnyalah merubah paradigma barak menjadi paradigma homestay sebagaimana mahasiswa yang belajar di luar negeri biasanya mahasiswa Indonesia atau international pada umumnya tinggal di rumah penduduk setempat dengan dianggap sebagai keluarga dan belajar banyak hal dari interaksi sehari-hari. Konsep ini mungkin tidak ada salahnya jika diterapkan dalam penanganan pengungsi letusan merapi terdahsyat 100 tahun terakhir yang sudah memakan korban jiwa sebanyak 169 meninggal (data perlu divalidkan) dan korban luka dan ratusan ribu pengungsi yang sampai sekarang datanya, pengungsi jateng sebanyak; pengungsi Yogyakarta sebanyak
Gimana ya? Kalau memang kurang valid silakan dihitung ya, saya tidak good in match he he …maaf

Honolulu, Nov 6,2010

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme