Men-Demokratisasi-kan Telinga Istana

David Efendi

“A President’s success if measured by his domestic and international achievements, not by his popularity in the polls”.
(Richard M. Nixon) 
“The President is there in the White House for you, it is not you who are here for him.”
(Walt Whitman)


Judul yang tidak keren-keren amat tapi judul ini lambang anomali demokrasi yang kita banggakan dan dipuja-puja Barat bahwa Indonesia sekarang, hari ini adalah negara paling demokratis di muka bumi atau kalau terlalu dramatis minimal di Asia tenggara. Meski dalamnya hancur lebur, rakyat kalah tarung melawan monster pasar kapitalis yang heartless (gak punya ati kata orang-orang). Mengapa judul ini anomali? Karena bagaimana istana punya Indra (punya Deni INDRAyana) wong Istana itu terdiri dari tembok beton dan kawat berduri, dimana kita yakin istana punya telinga mendengar kita. Di negara Indonesia, pemerintah hanya mau didengar tapi tidak mau mendengar. Jika demonstra teriak, jika analis politik berkoar sana-sini, ilmuwan LIPI memberikan rekomendasi, maka mereka hanya sekedar bicara dengan tembok. Seperti kata puisi Wiji tukul “bunga dan tembok” dibawah ini (sebagai selingan):

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak Kau kehendakiadanya
Engkau lebih suka membangun Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!

Dari Puisi perlawanan sunyi itu, refleksi kita adalah anomali bangsa. reformasi lebih dari 10 tahun ini hanya mempertebal tembok istana, mempertajam duri penguasa dan makin berat kita menghadapi tembok. Andai saja tembok bisa mendengar. tentu darah tidak akan tumpah sembarangan dan sia-sia di negeri para ‘bedebah’ ini. Agar istana telinganya mau sedikit terbuka bacalah sajak ‘negeri para bedebah’ in:i

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor menjatuhkan bebatuan menyala-nyala
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau menjadi kuli di negeri orang Yang upahnya serapah dan bogem mentah
Di negeri para bedebah Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedangkan rakyatnya hanya bisa pasrah
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya


Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan !
(Adhie M Massardi,2009)
Telinga Tembok
Jika istana merasa demokratis tentu bukan melawan kritik dengan cara membabi buta dan jurus mabok tapi dijawab dengan program nyata, dijawab dengan menceraikan negara dengan sistem kapitalisme global. Tapi ironis memang kalau sekarang negara mengendus-endus cara berhutangnya kalau dengan IMF tidak berani takut dikritik aktifis, takut dicerewetin mahasiswa, takut didemo dan takut akan bayangannya sendiri yang makin gontai dan kalah cepat gerak sama partai lawannya. Rezim Cikeas, adalah periode paling ragu sepanjang sejarah Indonesia, paling penakut sepanjang kisah kekuasaan di Asia bahkan di dunia. Contohnya, ketika masyarakat marah dengan malaysia pak Beye cukup menulis surat cinta mengharu biru ke Malaysia, ketika komunitas Islam Indonesia marah dengan isu rencana pembakaran qur-an di Florida pak Beye ngirim surat ke Obama. Jika semua diselesaikan dengan surat, apa gunannya Presiden dipilih, untuk apa uang rakyat dihamburkan untuk biaya pemilu langsung yang mencapai trilyunan rupiah itu. Berdasarkan perhitungan KPU, biaya Pemilu 2009 sebesar Rp. 47.941.202.175.793, yang bersumber dari APBN dan APBD yang diturunkan pada tahun 2008 dan 2009. Dan berdasarkan pengumuman KPU tanggal 24 Oktober 2008, jumlah daftar pemilih tetap adalah 174.410.453. Jadi biaya pesta demokrasi ini per orang adalah Rp 271.376,-

Fakta yang lain menunjukkan betapa presiden kita mengalami (maaf) “disfungsi ereksi” dalam bahasa intelektual jalanan. Ketika KPK dihancurkan oleh para ‘bajingan tengik’ koruptor, oleh kekuatan jahat iblis konglemerat hitam kelas kakap, apa yang dilakukan pak beye? Ketika cicak dikunya-kunya buaya pak beye hanya diam dan beretorika bahkan nulis lirik album. Ketika konflik di Palangkaraya, ketika Ahmadiyah sebagai minoritas ditindas, ketika banjjir bandang Wasior? Apa guna presiden? nonton bola kan pak Beye. Jika boleh saya mengutip salah satu judul tulisan di media memang ada benarnya yang saya gubah: “Rakyat dan perekonomian tetap jalan, tanpa presiden”. Dan apa yang diungkapkan Syafii Maarif seratus persen saya setuju bahwa kita tidak merasakan kehadiran pemimpin negara beberapa tahun terakhir ini. Kita punya elit pejabat tapi selalu minta dilayani. Ketika butuh, ketika rakyat memerlukannya? Presiden malah Nonton Bola, Anggota dewan study banding ke Yunani. Dalam bathinku kenapa tidak sekalian saja keduanya study banding atau kunjungan kerja ke akherat atau ke alam kubur.

Capek rasanya, tapi menulis, sebagaimana kata Pram, adalah bekerja untuk keabadian. Menulis, selain tugas pribadi, adalah tugas nasional. Maka saya salut pada kompasioner, pegiat facebook yang update status politiknya, blogger yang memihak pada rakyat kecil, dan semua anak bangsa yang dalam alam pikir dan tindakannya selalu berjuang merubah keadaan. Mari kita bersatu padu samakan langkah dan perjuangan untuk meruntuhkan tembok yang menutup telinga istana. Lawan!

Oct 21.2010

Tanpa Presiden, Korban Bencana Tetap Tertolong!

Total Read 588 Total Comment 344 dari 7 Kompasianer menilai Aktual.
 

David Efendi

“Bencana adalah bagian dari peringatan untuk penguasa, tapi alangkah mulia rakyat Indonesia yang dengan segala keterbatasannya menanggung segala deritanya.” (Dekpendi, 2010)
Ada Sosok Mbah Marijan di Gumpalan asap Merapi
Perhatikan: Ada Sosok Mbah Marijan di Gumpalan asap merapi

” Buat apa Presiden…, buat apa presiden…, presiden itu tak ada gunanya” (Nyanyian Tukangkritik.com)

Saya terlalu lelah menuliskan segala kekecewaan di saat rasa empati tinggal di negeri jauh dan pernah merasakan terlibat membantu korban gempa di daerah Jogja dan Jawa Tengah berbulan-bulan lamanya. Kenapa Negara tidak hadir, kenapa Negara selalu datang terlambat dan lambang Negara (baca:presiden) selalu hanya bersuara di kejauhan melalui media dan tidak pernah membersamai rakyat di saat-saat air mata dan darah serta nyawa tumpah ruah di tanah air tercinta. Hati ini menangis dan marah sekaligus. Kenapa pejabat Negara tidak pernah bertaubat dan belajar dari peringatan alam.
Sebagai refleksi saya mengumpulkan ratusan ribu nyawa melayang semenjak pemerintahan Pak Susi sebagai berikut:

“Antara tahun 2004-2010. Korban Tsunami Aceh sebanyak 166,080 orang meninggal;Gempa Yogyakarta-Jateng sebanyak 6,234; korban banjir wasior 68 orang meninggal, Korban Lumpur Lapindo 2 orang meninggal; Korban flu burung 92 orang; Korban gempa Sumatra Barat 1,195 orang meninggal; Korban Tsunami Mentawai 2010 sebanyak 113 meninggal, 150 hilang ; korban pengambilan zakat 22 orang; korban tabung elpiji 36 orang meninggal (malang pos,10/10/10); Gempa Tasik melaya 52 orang meninggal; korban meninggal saat mengantri BLT sebanyak 2 orang (satu kakek, dan satu nenek); korban meninggal di depan istana presiden 1 orang’tunanetra’; korban meninggal di depan pengadilan Jakarta 1 orang; Jumlah korban letusan gunung merapi 24 jiwa.” (Efendi, 2010)

Di bawah ini mungkin ekspresi anak bangsa di dunia internet, mungkin saya, anda, dan mereka juga merasakan hal yang sama. Ini sebagai bukti bahwa banyak anak bangsa berharap ada manfaat memiliki Negara, memilih pejabat yang diberi gelar presiden yang menghabiskan waktunya hanya untuk rapat, kordinasi, mengeluh, mengadu, dan berpesta-pora di media membangun citra baik tanpa bekerja keras bersama air keringat dan darah shuhada bencana alam di seluruh nusantara. Inilah ekspresi anak Indonesia dari berbagai sumber di internet, komentar di blog dan berita media. Selamat meneteskan air mata (nama tidak dicantumkan).
“ALLAH MURKA DENGAN PEJABAT PEMERINTAH INDONESIA”

“pulang dong beye, obama aja batalin kunjungan ke luar negeri, suruh semua pembantunya buka posko2 tanggap darurat. ingat wasior, banjir dki, merapi, mentawai. use your sense”

“Korban bencana alam di negeri kami, adalah manusia-manusia terbaik yang selalu setia dan bangga kepada bangsanya meski penguasa tidak mempedulikannya. Mereka yakin bahwa penguasa juga akan sirna ditelan massa tapi perbuatan mulia para rakyat biasa itu tidak akan dilupakan sejarah. Saya tetap kecewa, yang namanya Beye-beye itu masih rapat dan rapat lagi”

“Pak BY kapan pulangg…??? Ibarat bapak, anaknya mendapat musibah pastinya segera pulang….at least memberi kekuatan secara moril…..”

“Katanya pesan terakhirnya, pemimpin harus benar agar alam tidak murka.. Benar2 pemimpin sejati sampe harta paling berharga yg dimilikinya pun harus hilang bersamanya.. Mati dalam keadaan bersujud,”

“kenapa pak SBY g pulang aja sih pak….bukankah akan sngat arif dan bijaksana jika bpk sbg pemimpin negara ini berada di tengah-tengah kami rakyat Indonesia yang sedang dalam kondisi dan situasi seperti ini….”

“wahhhh!!!!!!!!!!! di saat dpr lagi pesiar… presiden juga wisata.. eh laut meluap. . gunumg juga ngamuk .. fenomena alam ..”

“KENAPA PAK PRESIDEN GAK NGANTOR DI PULAU MENTAWAI AJA… KAYAK DULU, GITU LOH WAKTU GEMPA DI DJOGJA. MUNGKIN KEADAAN SUDAH BERUBAH…. PULANG AJA PAK PRESIDEN… WELCOME HOME MR. PRESIDENT ILOVEYOU.COM”

“presiden ancurrr … ada tsunami di mentawai, merapi udah meledug .. eh dia malah pelesiran ke luar negeri …. parah banget dah ni orang”

“dirumah ada bencana koq malah plesiran…”

“ya Tuhan pulango toh SBY, jangan rapat terus. rakyatmu skrg sedang membutuhkanmu…”


“Mengajari kembali arti pengabdian yang seharusnya dimiliki para petinggi negeri ini. Mereka yang seharusnya jadi pengabdi bukan pekerja yang terus mengeluh dan melakukan tawar menawar.”
“saya amati selama pemerintahan ini Selalu Bencana Yang terjadi. azabkah ini…?wallahu a’lam, mari semua berkaca diri……..jangan ada lagi kesombongan di diri kita…jangan ada lagi keangkuhan di diri kita…..hanya Allah yg berhak atas itu semua.”
“Turut berduka, semoga diberikan Tuhan kekuatan, dan alam/gunung memberi amaran sebelum meletus, pelajaran berharga bagi yang masih hidup untuk menurut hukum alam yang merupakan bagian dari Firman Allah”
“Kalau sekitar Presiden kita SBY itu bertanggung jawab penuh pada rakyatnya yang lagi ditempa musibah, seperti Mbah Marijan rela tetap ditempat sekalipun itu maut harus meregut nyawanya, pasti SBY sekarang juga pulang atau membatalkan ke Cina.” (mungkin yang dimaksud Vietnam sebab sby sedang kunjungan di Vietnam)
“andi arief bicara teori letusan gunung berapi? :) -dulu di kasus century dia jadi ahli hukum, sekarang jadi ahli gunung berapi… mungkin besok dia bisa juga bicara teori-teori ilmu lainnya… memang pintar presiden memilih staf ahlinya yang serba bisa :”
“Andi Arif, jangan berbicara teoretis bung…. persiapkan dari sekarang untuk kebutuhan warga disana. bilangin sama SBY gak usah lagi pencitraan pake acara nangis-nangis. utamakan bantuan lebih dahulu sebelum bencana terjadi, jgn diam saja!!!”
“Rasanya gemetar melihat foto Mbah Marijan yang bersujud. Beliaulah sosok pemimpin yang amanah yang tidak melarikan diri dari tanggung jawab sebagai juru kunci, dan di saat menyongsong keputusan-Nya. Semoga beliau mulia di sisi Allah.” Pray for our Indonesia, save our Nation”

Apa yang tersebut diatas merupakan ekpresi kemanusian, emosi dan sebagainya namun ada banyak hal sesungguhnya dari status-ekpresi anak bangsa diatas. Ini menunjukkan bahwa keterhubungan sosial di negeri ini masih di atas rata-rata manusia di bumi, solidaritas, empati sosial di Indonesia mungkin juara pertama di muka bumi. Hal ini yang sering menjadikan kepala negara lupa bahwa ada pekerjaan serius yang ditinggalkan merasa ’santai-santai’ saja lantaran ketika ada bencana masyarakat dari berbagai daerah di Nusantara akan mengulurkan tangannya sekuat tenaga. Tapi senaif itukah alasan presiden untuk tidak mempercepat kunjungan rutinitas yang tidak banyak memberikan kontribusi pada kebaikan korban bencana.
Tapi, apa pun yang terjasi rakyat ini akan terus bahu membahu untuk saling peduli dan berbagi sekuat tenaga, kami yang di Hawaii juga akan mencoba menunjukkan solidaritas kebangsaan dan kemanusiaan dengan penggalian dana semampu kita bisa. Semoga tanpa presiden pun kita tetap bisa menjalankan roda kehidupan berbangsa ini. Lupakan presiden, mari kita tolong korban dan mari kita ambil uang rakyat yang ada di brangkas negara, APBN itu.

Catatan: Mohon maaf jika ada dua judul yang tidak sesuai dengan konten tulisan. Saya tidak mengerti sosok dibalik asap merapi di gambar. Apakah rekayasa atau sungguhan. Maaf jika menyesatkan. Boleh percaya boleh tidak. Salam duka cita

Oct 26,2010

Pak Beye, Penjarakan Ical Bakri!

Total Read132Total Comment1 Nihil.

By David Efendi
“Siapapun, kita harapkan jangan tebang pilih” . (Aburizal Bakri di Penjarah, 2010)
“Tidak perlu diragukan lagi, saya memimpin langsung pemberantasan korupsi. Tidak akan
setengah-setengah dalam membasmi korupsi”.
(Soeharto, di depan DPR, 16 Agustus 1970)
“Korupsi di Indonesia sudah memalukan dan sudah sangat luar
biasa. Kalau tidak kita hentikan, maka masa depan kita akan gelap.
Saya akan bekerja sekuat tenaga, siang dan malam, dan saya akan
memimpin langsung pemberantasan korupsi”
. (Susilo Bambang Yudhoyono,2004)
Tiga Sekawan "agen neoliberal" penjual kekayaan bangsa
Tiga Sekawan "agen neoliberal" penjual kekayaan bangsa

Tulisan ini terinspirasi dari seorang teman di kompasiana yang memposting tulisan kreatif yang diberinya judul ‘Ical: Adili saya, penjarakan saya’. Tulisan yang cukup elobarotif menurut saya sehingga dalam rangkah mengapresiasi hal tersebut saya coba turunkan tulisan ini yang seperti biasa rada mengandung profokasi tapi saya yakin istana tidak pernah terprofokasi tulisanku, lagian istana kan tembok tidak bertelinga. Apa pedulinya wong kita sekedar ngoce saja di kompasiana layaknya pengamat poltiik kelas bulu kutu rambut.
Jika kita perhatikan pernyataan Bakri akhir-akhir ini yang membalut kemesraan dengan pak beye dan PD dan sesekali cuci diri dengan berbagai komentar soal bank century dan penegakan hukum. Anehnya dia beberapa kali menantang KPK secara tidak langsung membuktikan keterlibatannya dalam pengemplangan pajak, perusakan lingkungan di bumi nusantara dan skandal yang lain yang tidak pernah terlaporkan atau dilaporkan media. Pada umumnya, sosok penjahat selalu mampu menembak lebih cepat dari munculnya bayangan pahlawan. Tapi ini bukan berarti bakri penjahat lantaran seperti yang penulis posting sebelumnya bahwa batas antara pahlawan dan penjahat sudah lenyap. Waspadalah, dan nantikan anda sendiri juga akan jadi pahlawan.
Dan jika pak Beye serius memimpin pemberantasan korupsi, maka penjarakanlah yang bersalah sesuai hukum. Artinya jika pak bakri Lapindo melanggar hukum penjarakan termasuk jika pak Beye sendiri terlibat skandal maka serahkan diri untuk diamankan dan seterusnya sebab inilah prinsip demokrasi konstitusional yang mematuhi rule of the law tanpa pandang segala bentuk status dan jabatan apalagi kepemilikan modal. Selama ini masih ada stereitip bahwa hukum bisa dibeli, penjarah bisa dijauhi dengan uang. Uang yang akan bicara menggantikan UUD yang asli menjadi UUD palsu (ujung-ujungnya Duit).

Pak Beye, kita masih berharap tebang pilih segera diakhiri dan sejarah akan mencatat pak Beye bukan presiden gila album, kita akan mengabadikan pak Beye sebagai presiden tebang pilih jika tidak mengutamakan penegakan hukum tanpa diskriminasi (equality before the law) dan bukan membuat album atau menambah person tertentu dengan baju peluru anti hukum.

Maka bisa ditebak dengan sempurna kawan, jika Pak Bakri benar-benar pro penegakan hukum dan begitu juga pemerintah melalui kesungguhan pak Beye maka di saat sekarang pak Bakri akan lantang berkata kepada pak Beye jika dia melanggar hukum selama ini, maka pak Bakri akan mengatakan, “Pak Beye, Penjarakan saya” jika saya melawan hukum sebagaimana tuduhan selama ini. Dan sejurus setelah itu, maka pak beye akan lantang mengatakan kepada KPK, “penjarakan saya, KPK jika saya terbukti menyimpang atau melanggar konstitusi pasal 33 UUD 45 tentang perekonomian neoliberal”. Tapi kedua orang ini belum sampai sana nyalinya lantaran bisa masuk penjara dua-duanya.

Pertanyaan masih tersisa. Apakah Soeharto, Pak Beye, dan Ical menepati kata-kata-katanya? Semua orang punya jawaban tapi tidak sedikit yang ragu bahwa mereka bukan hanya melupakan kata-katanya tapi berusaha agar rakyat lupa dengan janji-janjinya itu. Buktinya korupsi itu terus berjalan menghisab lebih kencang melalui berbagai cara dan perusahaan raksasa sudah nyaris selesai menguliti dan mengambil kekayaan bumi nusantara. Jika pemerintah membiarkan ini lebih jahat dari korupsi di tahun-tahun yang silap atau bahasa kasarnya lebihganas dari orde Baru dan orde lama. Rerformasi macam apa yang sedang terjadi?

Mengapa pelanggar hukum perlu di penjarah? Tentu agar mendapat pujian dunia internasional. Selain itu alas an yang lebih akademis adalah Daniel Kaufmann (2009), Direktur Global Governance di Institut Bank Dunia, dan Aart Kraay, Lead Economist di Bank Research Group, mengungkap sejumlah indikator pemerintahan yang baik yang salah satunya adalah penegakan hukum (rule of the law). Adapun detailnya indikator tersebut adalah; Akuntabilitas (Voice and Accountability)- hak politik, sipil dan manusia mengukur; Instabilitas Politik dan Kekerasan (Political Instability and Violence)- mengukur kemungkinan ancaman kekerasan, atau perubahan, pemerintah, termasuk terorisme; Efektivitas Pemerintah (Government Effectiveness)- mengukur kompetensi birokrasi dan kualitas pelayanan publik; Beban Kebijakan (Regulatory Burden)- mengukur kejadian kebijakan pasar yang tidak bersahabat; Peraturan Hukum (Rule of Law) - mengukur kualitas penegakan kontrak, polisi, dan pengadilan, termasuk independensi peradilan, dan kejadian kejahatan; Pengendalian Korupsi (Control of Corruption)- mengukur penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi, termasuk korupsi kecil dan besar baik individual atau jamaah yang diimami oleh kepala pemerintahan. Jika tidak, tidak perlu memanipulasi, mengaku bahwa pemerintahan sekarang adalah good and clean governance. Titik.

Ini sekedar grundelan jika tidak senang laporkan tulisan ini dan silakan didelete dari laptop teman-teman.
Oct 24,2010
Baca juga:
http://www.apakabar.ws/forums/viewtopic.php?f=1&t=20306

Dialog SBY dan Korban Gempa Sumbar

Total Read844Total Comment0 Nihil. 


Suatu saat pasca Gempa Sumatra Barat 30 September. Presiden SBY sedang mengunjungi korban gempa di Sumbar. Ia ditemui anak-anak SD dan gurunya. Pendi, seorang murid bertanya, ”Apakah Pak SBY akan membentu korban gempa lebih cepat dan lebih baik?” ”Iya, itu tanggung Jawab saya biar saya atur….”
Ajo, anak yang kelas 6, langsung menyeletuk, ”Pak SBY! Kapan lumpur Sidoarjo dituntaskan dan yang salah dihukum?” ”Sebentar, Adik. Saya sedang menjelaskan sesuatu kepada yang bertanya duluan.”

Ajo mendesak, ”Bagaimana dengan pemberantasan Korupsi di Istana yang katanya Bpak SBY yang memimpin? Apakah sudah ditangkap yang besar-besar?” ”Murid-murid yang cerdas,” keluh SBY sambil mengusap keringatnya, ”biarkan saya yang menurusnya, pak SBY sudah punya banyak rencana….” Namun, keduanya anak menggerutu tidak puas. Lalu terdengar suara Ibu Guru Kepala Sekolah, ”Bapak SBY yang terhormat, apakah sekolah- sekolah yang hampir dan ambruk yang jumlahnya ribuan itu sudah dijadwalkan perbaikannya ?” Bubar semua, saya jangan digurui”, Presiden meledak dan meninggalkan tenda darurat diikuti ajudan dan para jubirnya. Lalu seorang jubirnya yang juga ikut kesal berbisik lirih, ”Maaf Boss, Tenang, calm down….. Mohon sedikit sabar situasi sedang darurat gempa. Dan anak-anak plus gurunya itu pun membubarkan diri karena ada sekelompok NGO yang membawa bantuan makanan untuk mereka.

Catatan Penulis, David Efendi. Kisah ini fiktif belaka, diadopsi dari kisah William Liddle, Presiden Gatotkoco,2010

Catatan Pendek: Pendidikan Kita (2)

David Efendi

“Buat apa sekolah tinggi, kalau hanya jadi pengangguran.”

Kutipan diatas sering kita dengar di kampung-kampung atau di mana saja di Indonesia. Fenomena ini bukan tanda dasar munculnya. setidaknya ada beberapa sebab yang sekilas kita bisa sebutkan seperti tidak sinergisnya antara lembaga pendidikan yang memproduksi sarjana atau lulusan SMK dengan ketersediaan lapangan pekerjaaan yang diciptakan pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan sekaligus menekan jumlah pengangguran. Hal ini menyebabkan kepercayaan masyarakat akan pentingnya pendidikan menurun drastis seiring dengan budaya massa yang semakin materialis, kapitalis dan individualis dimana setiap tindakan dan status sosial diukur dengan harta dan uang.

Akibatnya, di tengah masyarakat kita kadang keluar ungkapan lebih baik lulusan smp dapat pekerjaan tetap dari pada sarjana yang menganggur tahunan tanpa pekerjaan tetap lantaran para sarjana terdampar atau memilih secara sadar bekerja di LSM/NGO atau menjadi pekerja sosial yang tanpa gaji apalagi gaji ke-13,14. Jangan bermimpi ada THR. Inilah dilema sarjana yang sebenarnya ingin mengabdkan pengetahuan dan ilmunya malah memunculkan sinisme masyarakat. Orang memilih menantu juga nanya pekerjaan dan apa yang sudah dimiliki dan tak penting harus sarjana atau lulusan SMA. Atau memang sama saja?. Berulang kali saya di desa ditanyakan jadi pegawai apa, lalu di bis dan kereta orang selalu bertanya bekerja apa. Ketika saya katakan saya bekerja di LSM, lalu mereka mengejar dengan bertanya, “berapa gajinya”?. Lalu membatin saja dalam diriku.
Dalam kesempatan ini perlu juga melakukan kritik pada tamatan sarjana, kebijakan pemerntah terkait lapanagn pekerjaan, dan sistem pendidikan yang berlaku di negeri ini.

Pertama, kritik tamatan sarjana ‘nganggur’. Belum lama saya membaca artikel judulnya sarjana miskin tamatan sma kaya yang cukup menyelekit sebab orang memutus hubungan antara orang pinter degan kekayaan yang kenyataannya banyak cukup lulusan smp atau sma tapi cukup kaya dan sukses. Inilah tantangan sarjana, mereka harus membuktikan bahwa sarjana juga banyak sukses dan dengan ilmu pengetahuan tidak hanya untuk diri sendiri tapi untuk kemaslahatan orang banyak, untuk menyiapkan masa depan anak bangsa sehingga pikiran sempit hanya ingin memperkaya diri sendiri dan meraih kekeyaan dengan cara yang tidak benar dan tidak halal. Masih ada satu tantangan lagi, kata orang awam bahw ayang koruptor juga orang pinter dan bahkan tamatan pendidikan luar negeri. Ini juga tantangan terberat zaman sekarang bagaimana kejujuran kelompok intelektual mutlak dibutuhkan. Pendiikan harus dilandasi semangat kejujuran dan kesahalehan sosial. Jika skripsi, tesis, dan desertasi dari plagiarisme bagaimana mungkin kita bisa garansi akan jujur ketika menjadi pejabat publik.

Kedua, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada tamatan sarjana. Pemerintah melalui presiden, menteri, dan DPR serta pemerintahan di tingkat daerah bisa memikirkan hal ini bersama-sama. Tren yang muncul sering hanya berlomba membangun universotas, sekolah, SMK dan tanpa memikirkan mau kemana dan orintasinya apa lulusan ini sehingga kebijakan sistem pendidikan selama ini sering menjadikan sekolah seperti pabrik sarjana atau tamatan SMK dan hanya sedikit memberikan peluang bagi tamatan sekolah untuk berkembang. Bahkan seringkali, terbatasnya lapangan kerja terutama PNS menjadikan praktek-praktek yang disebut Kuncoroningrat sebagai mentalitas menyerobot yang kemudian bermuara pada meluasnya praktik KKN (Korupsi, kolusi, nepotisme) dan suap-menyuap yang tak terhindarkan disetiap pembukaan lowongan pekerjaan atau CPNS. Perlu merumuskan education policy yang sesuai tantangan zaman dalam konteks kekinian.

Pemerintah seharusnya mengalokasikan dana untuk pengembangan sumber daya tamatan sarjana dan sekolah untuk diberdayakan dalam berbagai proyek padat karya atau menjadikan mereka punya bargaining, dan pemerintah tidak perlu terlalu berorientasi asing sehingga selama dan selama bisa dipenuhi dari anak bangsa sendiri tidak perlu mengimpor tenaga kerja ahli dari asing sehingga pertamina, UMN lainnya diisi anak-anak bangsa yang berkompeten. Selain itu pemerintah di semua level pemerintah menyedikan dana pinjaman lunak yang tidak berbelit-belit bagi lulusan smk atau sarjana untuk bereksperiman dan membuka lapangan kerja baru dengan segala ilmu oengetahuan yang dimiliki tentu pemerintah akan bangga dan dengan hati mensuport kreatifitas anak didik dan menggapai sukses kelak di kemudian hari. Jangnalah pemerintah menutup mata, mengenai potensi pengangguran terdidik jika tidak ada good will, dan social policy yang tepat dan cepat pada saat ini.

Terakhir, Sistem pendidikan kita. Hemat saya sistem pendidikan kita masih terdapat banyak kekurangan an ini harusnya disadari oleh stakeholder pendidikan untuk terus menerus melakukan upaya perbaikan tanpa henti. Pemerintah atau mendiknas harus berani open mind dan open hearth terakit kronisnya masalah pendidikan yang seringkali hanya berhasil memproduksi lulusan sarjana tanpa skil leaedrship, tanpa kompetensi dan tidak mampu berinovasi di tengah masyarakat yang sedang membutuhkannya.
Sebagai catatan penutup, nampaknya skil inovasi, leadership dan kompetensi mutlak diberikan di lembaga pendidika sehingga lulusan perguruan tinggi tidak membebani masyarakat dengan menambah pengangguran dan membuat akut sinisme masyarakat tentang pentingnya pendidikan.

Hawaii, Sept 7,2010

Mempertanyakan Nasionalisme Pemerintah

Total Read 62Total Comment31 dari 1 Kompasianer menilai Inspiratif.
 
By David Efendi


“There is no such thing as perpetual tranquillity of mind while we live here; because life itself is but motion, and can never be without desire, nor without fear, no more than without sense.” Thomas Hobbes quotes (English Philosopher (Leviathan), 1588-1679)

Kesamaan hak dan ketaatan adalah kunci untuk ketaraturan dan keadilan.Kira-kira itu maksud Thomas Hobbes dalam Leviathan (1561) dan tentu saja hidup itu tidak selalu teratur kadang brutal, penuh intrik, dan tanpa pernah merasakan ketenangan terus menerus sampai nafas terrenngut dari jiwa manusia. Wajar kalau perang itu sering dipahami jalan menuju damai sebagaimana kata yang pernah dipopulerkan oleh Napoleon Bonaparte, “Si Vis Pacem Para Bellum“, Jika ingin damai, bersiaplah perang.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya,” demikian kata Pendiri bangsa Indonesia selain juga mengatakan pesan yang sangat bertenaga, jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bukan hanya Malaysia yang akan diganyang, Inggris juga akan dilinggis, amerika diancam disetrika. Begitulah ‘keganasan’ Soekarno, presiden pertama yang berani mengatakan pada Amerika, “go to hell with your aid.”. Kata-kata ini tidak pernah terulang lagi oleh pemimpin bangsa Indonesia sampai hari ini. Presiden sekarang lebih memilih jalan damai, jalan tanpa ujung, atau orang bilang soft power alias diplomasi yang takpernah menang dan selalu kalah. Lambat laun kedaulatan bangsa ini dipertanyakan lantaran kelembekan pemimpin atau penguasa yang selalu cari aman dan tidak berani mengambil resiko. Hal ini wajar manakalah banyak orang bertanya, dimana negara saat rakyatnya ditimpah bencana, miskin, dan dianiaya bangsa lain dan dihukum tanpa peradilan. “Dimana negara gerangan?”, kira-kira begitu pertanyaan banyak orang.
Masih segar dalam ingatan, 17 Agustus baru beberap hari yang lalu dan hiruk pikuk upacara baru saja selesai. Oknum atau pemerintah Malasyia kembali mengusik kesadaran, mempertanyakan nasionalisme kita semua. Setelah klaim budaya, sengketa perbatasan sampai dicaploknya sipidan dan ligitan dan ditangkapnya petugas DKP di laut kepulauan riau. Sekali lagi, dimana negara?

Bukan lemah, tapi kurang kuat
Malaysia sebagai negara yang merasa diatas angin terus saja ‘menguji’ kehebatan bangsa Indonesia setiap saat setiap tahun seolah mereka menyadera harga diri kita dan nasionalisme kita sementara presiden, sebagai pemimpin eksekutif dan legislatif pun seolah bunglam atau they can do nothing. Pemerintah sangat lemah, atau lebih halus tidak kuat karena kita tentu bertanya-tanya bukankah pemerintah yang bisa melindungi warganya, melestarikan nasionalisme dan cinta tanah air. Buat apa punya pemerintah kalau tidak membela rakyatnya yang ditangkap polisi malaysia, yang dihina dan dilecehkan martabanya. Berita-berita miring soal anak bangsa di media online membangunkan kesadaran bagi anak bangsa yang merasa punya negara dengan sekuat tenaga mereka mencounter berita negatif di internet, dan mungkin ribuan status facebook mebela bangsa ditengah krisis kepercayaan akibat pemerintah yang tai berdaya ubah melihat situasi yang terus mencekam karena anak bangsa yang bekerja di Malaysia menjadi sandra lalu karena ini presiden dan DPR tiada nerdaya. Jenis perang yang minus ksatria sedang berlangsung 10 tahun terakhir ini antara Indonesia vs Malaysia.

Lemahnya lembaga-lembaga negara akan dikuti apa ayang disebut failed state atau pemerintah gagal dan rakyat terus mengorganisasi diri lalu bisa menjadi pemerintahan massa yang dengan hukumnya sendiri lalu diikuti oleh colaps state yang tentu banyak pertumpahan darah akan lahir. Kira-kira itu konsekuensi logis dari rapuhnya politik dalam negeri sementara persoalan perebutan sumber daya, tidak meratanya ekonomi semakin menyebar dan akut. Negara ini colaps bisa jadi karena penguasa yang tak berdaya di tengah politik global. jangankan menghadapi kapitalisme Barat, mengurus batas negara saja tidak becus. Bagaimana ini, ini bagaimana? Harapan dari janji-janji politik saat pemilu sirnah sudah, orang Amerika bilang, honeymoon is over. Janji tinggalk janji dan kembali melarat dan dihimpit berbagai persoalan lagi seperti yang sudah-sudah.


Nasionalisme yang tercerabut
Rasa mempunyai identitas yang sama, senasib dan seperjuangan itulah arti nasionalisme dalam benak orang awam dan ini sudah cukup bagi anak bangsa. Tapi manakalah susah dan derita ditanggung sendiri, nama baik bangsa diobok-obok bangsa lain lalu terusik kesadaran ini juga bagian dari nasionalisme dan jika pemerintah atas nama pemilik kedaulatan yang sah dan otoritas yang ditipkan oleh rakyat memalui kontitusi tidak melakukan apa-apa disitulah nasionalisme kaum awam mulai tergerus dan akan sirna. Nasionalisme itu tinggal omong kosong jika pemerintah tidak mampu mewujudkan dalam tindakan sehari-hari. Pemerintah atau negara yang baik adalah negara yang membela dengan berbagai cara untuk kebaikan rakyat kebanyakan bahkan hanya persoalan empati saja akan banyak dianggap kebaikan oleh orang awam. Bukankah negara bisa berbuat lebih dari sekedar empati dan ungkapan bela sungkawa?

Negara punya tentara, polisi, DPR, menteri mereka berjibagu saat upacara kemerdekaan tapi loyo disaat rakyat membutuhkan sementara rakyat kebanyakan masih yakin bahwa nasionalisme itu bermanfaat dan perlu. Sayang, lembat lain imagined community akan semakin terberangus akibat kebodohan pemegang kekuasaan dan otoritas yang tidak mampu menjaga nasionalisme bangsanya. Hialngnya nasionalisme lambat laun akan berdampak pada kepunahan bangsa Indonesia yang beragam. Jika demikian, tidak perlukah kita memperingati kemerdekaan jika sehari-hari kemerdekaan itu diberangus, tidak hanya oleh negara lain, tapi oleh penguasa negeri sendiri. Ini pahit, tapi mungkin ini nyata bahwa individu-individu yang mengalami peritiwaa tertindad, teraniya adi negeri orang lalu terbersit pikiran bahwa dia tidak merasa punya negara, tidak merasa ada yang menolong dan mempedulikannya. Lalu pemerintah macam apa yang engkau dustakan?
belajar dari kasus selama sengketa dengan Malaysia atau dengan pemilik perusahaan raksasa di Indonesia terlihat bahwa nasionalisme yang dimiliki pemerintah jauh bila dibandingkan nasionalisme murni yang melekat pada anak bangsa, rakyat biasa yang jumlahnya mungkin lebih dari 80% penduduk negeri Indonesia. Kebijakan pemerintah selalu minus nasionalisme sebagaimana yang dipahami bangsa Indonesia atau pendiri bangsa. Meski sejengkal tanah harusnya dipertahankan, berdikari itu perlu sehingga sudah saatnya menghentikan pernjualan manusia berkedok TKI yang hanya menguntungkan segelintir orang dan lebih-lebih menyandera jati diri bangsa yang konon sudah merdeka.

Kita dengan tegas patut mempertanyakan nasionalisme pemerintah, pejabat-pejabat di pusat. Bagaimana bangsa ini akan maju jika penguasa tanpa rasa keberpihakan pada bangsa, pada masa depan anak bangsa. Pemerintah sebaiknya belajar dari pengalaman, tidak menutup mata terhadap persoalan dan realitas yang timpang sehingga bangsa ini tidak terlalu cepat masuk dalam musium sejarah sebagai negara yang gagal, negara yang colaps hanya persoalan rendahnya nyali pemimpinnya, dan tidak bermutunya wakil rakyatnya, presidennya, anggota dewannya, tentaranya, polisinya, dan bisa juga termasuk saya. Semoga menggugah!

Hawaii, Sept 5 2010

Catatan Pendek: Pendidikan Kita (1)

Total Read66Total Comment2 Nihil.
David Efendi
 

By David Efendi
“…aku bertanya tetapi pertanyaan –
pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis – papan tulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan…”
(Rendra, Sajak Sebatang Lisong)

Ketika masih duduk di Madrasah seorang guru mengatakan dalam pidato tutup tahun ajaran bahwa hakikat pendidikan adalah meraih derajat kemuliaan di akherat kelak sambil mengutip ayat Al Quran Ar Ra’du 11 dan kami sebagian siswa yang mau melanjutkan ke jenjang menengah merasakan bahwa sekolah itu tujuannya jangkah panjang: akherat yang misteri. Tiga tahun kemudian ketika saya diberi kesempatan sekolah di SMA paling favorite dan paling diminati di Kota Soto, Lamongan ada semacam pergeseran yang luar biasa mengenai pemahaman makna pendidikan. karena sekolah ini negeri terbaik, guru-guru mengharapkan lulusan SMA ini diterima di perguruan tinggi negeri terbaik dan kelak mendapat pekerjaan yang baik pula. Secara sederhana, lalu otak kami sendiri harus dimodifikasi ulang dari makna pendidikan untuk akherat menjadi tujuan kesejahteraan atau kebahagiaan dunia. Mungkin orang bisa bilang, ini sekulerisasi pertama yang saya dapatkan.

Kalau di madrasah, masyarakat begitu merasa memiliki sekolahan dan sedih jika ada masalah menimpah sekolah agama yang bernama sekolah madrasah ibitadiyah Muhammadiyah yang berdiri sejak 1947 di kecamatan hanya satu-satunya sekolah yang ada waktu itu. Sekolah negara belum pernah ada sebelumnya. Dua hal yang sangat mengena dari pelajaran sewaktu itu adalah mengenai filsafat padi, semakin tua semakin menunduk sehingga guru-guru tersebut tidak menghendaki anak-anak didiknya hebat tapi lemah secara agama yang mengakibatkan kesombongan dan kekufuran. Beratus kali dalam  berbagai kesempatan guru kami mengatakan dengan meminjam dari kata hikmah bahwa agama tanpa ilmu adalah buta, dan ilmu tanpa agama adalah tuli. Selain itu, kita juga dikenalkan ‘mantra’ man jadda wajada, barang siapa bersunggu-sunggu ia akan berhasil.
Karena sekolah kami adalah sekolahnya masyarakat, tidak hanya milik warga di desa kami saja tapi lebih dari 7 desa di sekitarnya mendapatkan berkah dari sekolah islam ini sehingga nampak tidak ada antara siswa dan guru, guru dan masyarakat dan masyarakat dan siswa. taruhlah contoh, ketika ada murid satu saja mencuri mangga di sawah atau di kebun masyarakat akan mengatakan kepada guru bahwa si Ali atau si Agus mencuri mangga dan guru akan mengingatkannya atau sesekali menghukum berdiri di depan kelas atau menghafal hadis yang panjang dan lebar. Ada suasana tidak kapok sama sekali. Zaman itu, orang tidak naik kelas sama sekali tidak dianggap aib bahkan orang tua dengan sadar menerima realitas bahwa anaknya butuh lebih banyak waktu untuk belajar.

Hari ini, jika ada anaknya tidak lulus bisa protes dan kasak-kusuk kemana-mana sementara anaknya kabur tidak mau sekolah. Kenapa ini terjadi? ada apa gerangkan terkait mentalitas yang mudah marah, tersinggung, gengsi dan putus asa. Bisa jadi dugaan ini benar, manakalah masyarakat susah meterialistis, semua diukur dengan uang sehingga tidak naik kelas adalah hukuman yang sangat merugikan secara ekonomi. Selain itu terjadi distrust msyarakat bahwa bisa jadi yang salah gurunya jika anaknya gagal dalam ujian, atau bahkan orang tua yang bersangkutan tidak yakin bahwa anak-anak yang lain lebih hebat dari anaknya. Atau, guru itu hanya sentimen, murid lainnya pada nyontek sementara anaknya jujur tapi harus menerima keputusan tidak naik kelas. Bagaimana ini, ini bagaimana.

Mengenai pro dan anti ujian nasional yang acapkali muncul tahunan sebagai debat kusir dan pemerintah yang terlepas dari realitas. Kadang ada perasaan marah dan kesal sebab pemerintah konon mendengar banyak masukan dari berbagai lembaga dan perorangan, bahkan memahami protes, demonstrasi tapi tak bergeming untuk beritikad baik merubah kebijakan pendidikan yang tidak berbasis realitas. Saya ingat korban tsunami, gempa bumi, yang didarat yang dilaut yang nasibnya mengapung di udara atau yang dihimpit bumi, semua harus ikut ujian nasional tanpa ‘ampun’, tanpa empati dan simpati.
Satu pelajaran yang saya baca dari sebuah koran kampus di Universitas Hawaii at Manoa yang terbit mingguan. Salah satu edisi menerangkan kebijakan pendidikan baru khususnya di hawaii state (negara bagian USA termuda) yang memutuskan bahwa evaluasi pendidikan mengenai gagal-berhasilnya ditentukan berdasarkan evaluasi terhadap hasil ujian siswa sebesar 50% dan guru juga sebesar 50%. Hal ini mengakibatkan guru harus bekerja keras meningkatkan mutu pengajarannya dan selalu update serta kreatif. Guru juga menuntut pemerintah agar menyediakan berbagai fasilitas untuk mengajar, mengadakan training pemberdayaan guru, dan sebagainya dan sebagainya. Sementara masyarakat selalu memantai perkembangan tanpa kehilangan pemikiran kritis sehingga terlihat sekali bahwa semua aktor memberikan peran yang nyata. Ini hanya sedikit pelajaran, meski saya menulis demikian, kadang seorang guru, siswa dan orang tua di kampung saya menyeletuk, “itukan di Amerika, Mas.”. Itu yang penulis rasakan, membicarakan pendidikan kerap tak ubahnya berbicara sama tembok. Terus nada putus asa dalam diri saya menyeruak, “ya…sudahlah.!” Wallahu alam bishowab

Ke-Islaman Sebagai Tonggak Peroebahan

Total Read94Total Comment41 dari 1 Kompasianer menilai Menarik.
David Efendi
 
Book Review
Judul Buku    : Tonggak Sang Pencerah, Sebuah Novel Tentang KHA Dahlan
Penerbit        : Suara Muhammadiyah,Yogyakarta
Penulis          : Yazid R.Passandre
Tebal            : 279+


Refleksi dan Aksi Sosial Seorang Dahlan:
Keislaman sebagai Tonggak Peroebahan


Berulang kali dikatakan Darwisy atau Dahlan dalam seluruh bagian novel ini bahwa Dahlan menolak dengan keras dna tegas bahwa Islam Bukanlah agama ritual belaka, terbelakang, dan menghalangi bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan terbebas dari panindasan, ketidakberdayaan, kebodohan dan kesehatan yang terpuruk (hlm 48,246,250,). Ini merupakan novel yang membangkitkan semangat berorganisasi di kalangan aktifis Muhammadiyah. Karena ada kekuatan yang mengancam meminjam kata-kata Dahlan yang sedikit penulis ubah,”bahwa bis jadi Muhammadiyah lenyap dari Indonesia, tapi Islam tidak akin lenyap dari muka bumi.” Atau meminjam istilah Buya Syafii Ma’arif, “Sebuah Muhammadiyah yang tidak mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah Indonesia, Bukanlah Muhammadiyah yang sebenar-benarnya.” yang adopsi buya dari pendapat, ”Sebuah Islam yang tidak mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah manusia, bukanlah Islam yang sebenarnya.”

Lega dan bahagia rasanya, satu kekayaan dan hasanah baru mengenai KHA Dahlan yang telah merintis dan mendirikan Muhammadiyah yang sampai kini sudah berusia satu abad atau seratus tahun. Selain puluhan atau ratusan buku yang tertulis mengenai sosok manusia santun dan bijak dari Kauman ini, genre baru dalam bentuk novel pun hadir mengapresisasi betapa sosok Darwisy itu mampu menginspirasi anak bangsa untuk berbuat lebih banyak untuk bangsanya, untuk kemanusiaan sebagaimana yang diperankan oleh Dahlan dan pengikutnya pada zaman itu. Zaman yang terus bergerak pincang, meminjam istilah Passandre dalam novel ini, Dahlan bias bergerak dan terus bergerak untuk menunjukkan pada dunia bahwa Islam adalah semangat kemanusiaan dan bukan aliran tradisi yang diesinker terbelakang dan tidak modern. Bayangkan? Dalam keadaan yang serba terbatas, berhadapan dengan tradisi, kolinialisme, kraton yang kokoh seperti pohon beringin itu, dahlan tidak gentar terus melakukan istima’, ijtihad bahwa harus ada jalan keluar untuk membawa bangsanya keluar dari keterpurukan dalam beraqidah, sosial, ekonomi, politik.
Novel ini diilhami oleh film “Sang Pencerah” yang dikeluarkan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UMY 2006 dan dipersembahkan untuk Sang Pencerah, Pahlawan Kusuma Bangsa, Kiai Haji Ahmad Dahlan, dan Muktamar seabad Muhamamdiyah 2010. Sebuah kalimat yang sangat tulus bagaimana Penulis yang merupakan alumni Ikatan Pelajar Muhammadiyah ini mempunyai kepekaan hati untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi dahlan, bagi Muhammadiyah, dan bagi anak bangsa yang seiring dan sejalan dengan pemikiran dan aksi sosial Dahlan. Kita mesti berterima kasih pada penulis yang memberikan bacaan yang menyentuh, penuh referensi, fakta, nuansa revolusi, menggebu-gebu, mendobrak, dan kadang-kadang hanyut dalam romatisme keluarga sakinah yang damai tentram yang pernah dilakoni KHA dahlan. Panduan hidup Islami Muhamamdiyah mungkin perlu disempurnakan dengan membaca novel ini terutama penggalan 6,7,8,9,10, yang berisi dialog-doalog singkat dan kaya makna antara Dahlan dengan Walidah yang cukup menyentuh dan membuat kita meneteskan air mata.(baca juga hlm.247-249).

Passandre menarisakan kisah yang mengandung nilai keutuhan dengan sangat apik. Sosok Dahlan atau Darwisy sebagai sosok yang selalu risau terhadap tradisi yang lebih dimulikan dari pada ajar an agama Islam, sosok yang mendobrak dan anti penjajahan, dalam suasana kehidupan keluarga yang harmonis, yang saling menguatkan dengan landasan katakan Islam yang akin membawa kebahagiaan. Dahlan sama sekali bukan digambarkan dan memang bukan sebagai tokoh yang egois, hanya mementingkan orang lain atau perjuangannya, tidak mau tahu dengan urusan keluarga. Pendek kata, Dahlan ingin mengatakan bahwa kehidpan berkeluarga tidak akin pernah menghalangi dakwah, menghalangi peroebahan yang dicita-citakannya bahkan menawarkan ragam second opinion atau alternatif manakalah kebutuhan dalam perjuangan itu menghentikan langkah kakinya (hlm 249). Sekali lagi, ayat-ayat cinta dan semesta itu hadir menyelimuti kehidupan rumah tangga Dahlan-Walidah.

“Dari penampilannya saja, sekolah itu memang tampak mengingkari  zamannya, dan seolah hendak membranous zaman baru: zamannya sendiri. Zaman dimana manusia terbebaskan dari belenggu tradisi yang membodohkan.” (hlm.258). Ya, Dahlan memang memberontak tradisi, memimpikan perubahan. Dan untuk membengan zamannya, dan zaman yang akin dating dahlan mengorbankan banyak hal terutama waktu bercengkerama dengan keluarga lalu ditinggal ke Makkah untuk hajI dan belajar agama. Dahlan ingin islam modern sehingga Kiblat pun perlu direvisi sebagai consequence dari berkembangnya ilmu pengetahuan karena Dahlan mengenal dunia, mengenal ilmu geografi. Disamping itu, beliau memahami dan menyaksikan bahwa Islam yang revolutioner sedang bergeliat di tanah Arab, Mesir yang dipromotori oleh Jamalludin al Afgani, Rosyid Ridho, dan sebagainya. Dahlan memanfaatkannya sebagai pendorong semangat dalam jiwanya untuk aksi nyata: Peroebahan!. Tidak hanya itu, Dahlan juga belajar membangun sekolah yang meski dianggap kafir lantaran meja kelas dan pelajaran musik dan biola.(hlm.262). Beliau juga memikiran perlunya organisasi setelah berinterkasi dengan Budi Oetomo, Taman Siswa, dan hasil dialog dengan seorang anak yang tidak rela sekolah Dahlan ambruk dan roboh setelah dahlan meninggal dunia, maka ikhtiar itu termanifestasikan dalam langkah nyata mendirikan organisasi modernis yang diberikan nama: Muhammadiyah pada 18 November 1912 M.

Salah satu keunggulan novel ini adalah sosok penulisnya yang memang aktivis Muhammadiyah, semenjak SMA menghabiskan waktunya di Sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta dan aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah sampai di tingkat Pimpinan Pusat. Aroma kepekaan sebagai orang dalam sangat kental dan sering melihat dinamika dahlan sebagai sesuatu yang harus kembali ditumbuhkan pada generasi kekinian anak muda Muhammadiyah yang bisa jadi terlalu dimanjakan dengan fasilitas, tidak peka, dan tidak berani megabit posisi yang beresiko. Inilah yang hendak penulis novel ini bangun bahwa katakana kebenaran walau rasanya pahit sebagaimana kisah Dahlan dalam khutbahnya di Semarang saat perjalanan haji menuju Tanah suci, Makkah (hlm.117). Bangsa ini akin beranjak menjadi baik jika kata-kata Dahlan itu terus dipraktikkan dalam segala situasi. Bangsa ini tentu tidak akin mendapat predikat bangsa dengan indeks korupsi tertinggi di jagat raya.

Novel ini layak dijadikan bacaan wajib dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah baik di tingkat sekolah dasar atau sekolah tinggi dan universities. Buku yang kaya akin literasi dan referensi ini diharapkan akin menggugah semangat untuk ber-uswatun hasanah pada Peiping terdahulu untuk kembali melejitkan ghirah bermuhamamdiyah, berislam, dan berbuat untuk kemanusiaan. Maka, “saya berharap Muhammadiyah benar-benar bertujuan untuk pencerahan kehidupan umat. Bukan untuk repenting pribadi. Maka itu, hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah.” (hlm.279). Bebeb hal menarik lainnya adalah pesan-pesan yang penuh inspirasi dan makna dari Dahlan kepada muridnya atau santrinya selama berinteraksi pada saaat-saat penuh tantanggan. Kata-kata berbobot itu layajk dijadikan pelajaran untuk anak didik Muhammadiyah. (hlm.220,221,231,260, 264). Dan salah satu usulan yang sederhana mungkin diantara bab atau penggalan itu dilengkapi foto dokumentasi, atau karikatur yang bisa mengundang perhatian pembaca terutama, pembaca muda yang masih ogah-ogahan dijejali novel apalagi yang namanya teksbook.

Terakhir, Sebagaimana Nabi Muhammad, dalam dakwahnya Dahlan juga mengalami masa-masa sulit seperti perlawanan dari kelompok Islam-tradisi, Langgar yang dirobohkan, dituduh kyai kafir, juga peristiwa mamilukan saat meninggalnya Ibunda tercinta dan Ayahnya. Tapi hasrat perubahan terus dipelihara dalam pikiran dan tindakannya. Lalu, perubahan itu terus bergerak kencang dan bertenaga maniac zaman, sejarahnya yang terus tumbuh dewasa dan terkadang macet ditengah jalan. Tapi karya Dahlan terus dipercayai sebagai kabaikan, kesalahean sosial yang dilandasi keislaman yang membebaskan yang dilandasi akal sucinya untuk menebar rahmat bagi semestaraya. Prestasi baik Darwisy dan Dahlan keduanya itu tak akan musnah dimakan bubuk zaman, taklekang oleh panas dan hujan. Mewakili Penulis novel itu yang ingin mengatakan: Selamat Milad Muhammadiyah ke-100 tahun, semoga tetap energik, bertenaga dalam bergerak memasuki pusaran gelombang kedua di abad kedua ini. Selamat membaca dan salam dari Pengikut Tonggak Sang Pencerah.

Pendidikan yang Berpihak Pada Kejujuran

Total Read81Total Comment11 dari 1 Kompasianer menilai Aktual.
Oleh David Efendi, Siswa UHM


“Honesty is the best policy” (anonymous)

Pernahkah engkau merenung sejenak saja tentang arti pendidikan di negeri kita? Pernahkah engkau sejenak berfikir sejenak tentang hakikat pendidikan yang dibajak dinegeri kita? Kenapa merenung dan berfikir ini perlu dan penting karena dua alasan. Pertama, di negeri kita Indonesia itu pendidikan terus bergeser yang mulanya hanyalah politik etis yang diterapkan oleh kolonialisme dan imperealisme  Belanda untuk memenuhi permintaan lapangan kerja dalam rangkah melestarikan penindasan dan eksploitasi atas bangsa dan sumber daya alam di Indonesia. Lambat laun adalah secercah impian dan harapan yang dibangun anak bangsa untuk meluruskan hakikat pendidikan seperti yang dipelopori Taman Siswa, Muhammadiyah, dan Budi Utomo, ada KI Hajar Dewantoro ada Kyai Ahmad Dahlan dan sebagainya. Upaya pelurusan hakikat pendidikan itu pun berjalan terseok-seok lantaran terjadi perkubuan antara yang bangsawan-inlander dan pribumi jelata, antara kelompok agama dan nasionalis, antara kubu muda dan tua, pragmatis dan idealis atau lebih kompleks dari ini semua.

Beberapa dari kita mungkin sangat menghargai pejuang pendidikan tersebut tapi 20 puluh tahun terakhir atau sepuluh tahun terakhir ini betul betul arus balik itu datang kembali membajak hakikat pendidikan kita yang kembali lagi sebagai media mencetak tenaga kerja dan money oriented. Ini yang penulis catat sebagai point kedua kenapa kita mesti merenung sejenak. Rapuhnya pendidikan kita hari ini sama sekali bukanlah karena akibat penjajahan selama beratus tahun di masa lalu tapi karena mentalitas pemimpin atau penguasa di negeri kita ini adalah mentalitas pragmatis dan tidak mau berbuat sesuatu dengan sedikit berani mengambil resiko. Presiden punya pembantu yang disebut menteri pendidikan dan kekuasaannya dalam bidang pendidikan tiada yang bisa menandingi tapi apa yang terjadi? lihat apa yang terjadi perbaikan dalam ranah pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan dan output bahkan proses pun banyak terjadi kepincangan-kepincangan yang kasat terlihat oleh mata orang awam. Taruhlah contoh, ribuan sekolah-sekolah bobrok dan hampir roboh, ribuan guru-guru dengan kualitas apa adanya dan ada apanya. Kita tidak berharap hanya bisa bicara dan mengkritik, hanya bisa memadamkan api dan tidak mampu menyalakan kembali hanya berkemauan kuat untuk bersama-sama bangkit dari keterpurukan dan mulai dari menata pikiran, open minded dengan melihat fakta sebagai realitas secara jujur. Kejujuran melihat dan menyadari realitas (yang buruk) adalah satu kelebihan tersendiri dalam upaya membangun pendidikan yang berkarakter.

“Di negeri ini apa saja bisa terjadi”, kata Iwan Fals lalu dia menyindir bahwa pendidikan yang didapatkan sebagaian anak bangsa yang malang hanya ‘rongsokan’ artinya mendapatkan pendidikan dengan mutu yang sangat rendah dengan fasilitas yang aduhai mengharukan tersebut. Tapi tahu sendiri kan kawan, di negeri ini banyak manipulasi laporan pejabat tinggi semua dikatakan ada profres dan kemajuan dan kemunafikan yang menutupi fakta-fakta yang nyata itu biasa dipentaskan sebagaimana yang disinggung Erving Guffman dalam dramaturgi approach-nya tersebut yang terjadi gap sangat dalam antara kenyataan dan ‘kenyataan’ yang dimanipulasi alias kenampakan.

Tentu saja, kita tidak mau kehilangan generasi bangsa akibat kecerobohan dalam mendesain sistem pendidikan, kita juga tidak mau bahwa generasi yang akan datang menjadi kelompok manusia yang egois, pragmatis, dan kapitalis yang mencoba menghalalkan segala cara untuk memperjuangkan keinginan pribadinya, meraup keuntungan meteri untuk dirinya semata dan menegasikan hubungan sosial, rasa memiliki bangsa dan negara yang berujung pada konflik sebagaimana yang digambarkan Thomas Hobbes dalam Leviathan yaitu perang semua melawan semua memperebutkan sumber daya yang terbatas dalam nafsu yang tidak terbatas. Dalam pendidikan ini harusnya muncul rasa solidaritas social, ikatan sesama manusia yang sama-sama mempunyai kedaulatan dan berkompromi untuk menjaga keberlangsungan sesama warga bumi dan warga negara. Tanpa itu, kehancuran akan terasa sangat dekat dan harga diri sebagai manusia jatuh terinjak oleh egoisme manusia akibat pendidikan yang miskin kejujuran atas realitas dan miskin akan pengetahuan sebagai jati diri manusia.
Kenapa pendidikan kejujuran itu penting? Fakta sudah jelas memperlihatkan dan menhentak kesadaran kita. Bertahun-tahun bangsa ini dianugerahi gelar sebagai negara dengan tingkat korupsi 3 besar teratas terutama di instansi kepolisian, Partai Politik, lembaga legislatif, eksekutif, dan bahkan dua lembaga yang paling bertanggung jawab atas pendidikan anak bangsa yaitu departemen agama dan departemen pendidikan nasional. Koruspi merajalela juga di dua instansi yang mengurus kecerdasan otak dan hati manusia itu sehingga wajar kalau Syafii Maarif mengatakan bahwa karena dua instansi penting inilah, kehancuran bangsa ini nyaris sempurna. Kembali kita perlu merenung, bahwa kesalehan saja tidak cukup tanpa didukung oelh sistem yang memihak pada kejujuran. Kasus korupsi di departemen agama, pendidikan dan di KPK atau di KPU yang konon diisi oleh orang-orang sholeh yang tidak buta atau rabun dekat oleh kekuasaan juga dirundung persoalan korupsi yang membuat kita, orang awam speecless alias tidak bisa berkomentar apa selain dikemudian hari muncul pertanyaan apa yang salah dalam pendidikan kita?

Aristoteles mengingatkan pada kita bahwa pendidikan itu bukanlah mengisi air dalam bejana, tapi menyalakan cahaya api dalam gulita. Patut kita internalisasi ini dalam kehidupan kita. Karena kejujuran itu cahaya maka kita bisa menyalakan api pengetahuan dengan kejujuran mulai dari hal yang paling kecil sampai hal yang paling menyangkut hajat hidup orang  banyak. Kejujuran dibangkitkan mulai dari alam pikiran, niat, sampai ke perbuatan. Sebelum menjadi politisi, pejabat tinggi sampai presiden ini harus dan wajib dipegang dengan zero toleransi terhadap ketidakjujuran atau yang mendekati ketidakjujuran. Jika kejujuran sudah menjadi orientasi dan tujuan pendidikan tentu peradaban akan tumbuh berkembang dimana toleransi terhadap sesama, saling menghormati, dan saling menginspirasi untuk kemajuan dan bukan sebaliknya yang dialami pendidikan minus kejujuran yang sesama kawan saling menelikung, berbohong dalam interview pekerjaan, menyuap saat pencalonan PNS, money politics saat kampanye politik, dan korupsi saat menjadi pejabat tinggi yang ini semua dilandasi oleh nafsu ingin menang sendiri (Cak Nun) dan bukan bercita-cita untuk kemenangan untuk kemanusiaan dan pengahrgaan atas peradaban.

Untuk berfikir, berkata, dan berbuat jujur tidak perlu biaya tinggi tidak perlu mengemis anggaran dari pusat atau daerah tapi sangat dan sangat sulit untuk diterapkan karena seringkali hati, pikiran, dan tindakan saling berbeda pendapat dan yang paling berdampak pada orang lain adalah akibat perbuatan yang tidak jujur. Al kisah, sebuah sekolah di pelosok desa yang tidak saya sebut namanya, mendpaatkan tawaran dari seseorang yang mengaku pejabat daerah dan dekat dengan pejabat pusat serta berjanji bisa mencairkan sejumlah uang 100 juta untuk pembangunan sekolah yang hampir roboh atapnya itu. Sebagai syarat sekolah harus menyetor uang jaminan 50% ke oknum tersebut untuk ditunjukkan kepada pusat bahwa sekolah ini punya uang jaminan untuk membangun sekolah dalam rangkah untuk mencairkan uang 100 jt tersebut. Rapat guru pun dilakukan dan memutuskan untuk mengumpukan sumbangan wajib bagi orang tua dan siswa baru dengan jumlah yang ditentukan. Trekumpulah uang 30 juta dan kekurangannya ditutupi dengan menggadaikan surat tanah dan BBKP motor beberapa guru. Uang itu pun disampaikan ke oknum tersebut dan diminta menunggu beberapa saat. Setelah sekian lama menunggu ada info bahwa uang bisa cair dengan syarat baru transfer back atau uang kompensasi sebesar 20 % dari total uang tersebut artinya harus mengembalikan uang 20 juta dan tetap membuat laporan sejumlah 100 juta. Pikiran tidak jujur mulai menyergap kepala sekolah tersebut dan harus diamini oleh guru-guru sehingga muncullah ‘common tragedy’ yang disebut ketidakjujuran berjamaah(massal). Dan apa boleh buat pihak sekolah sudah biacara sama wali murid dan semua sudah disepakati untuk pembangunan.

Sebagai penutup, mau tidak mau masyarakat harus terus belajar dan belajar begitu juga para pemegang kebijakan (policy maker) pendidikan harus mulai mereformasi diri, reformasi yang tidak cukup dimulut atau sekedar retorika asal bapak senang saja. Coba dichek secara jujur betulkan diinstasi pendidikan tidak menjadi sarang korupsi, jika guru dan pelaksana pendidikan korupsi uang pendidikan (korupsi kerah putih) maka jangan disalahkan kalau murid-murid akan menjadi garong, menjadi preman  (korupsi/kejahatan kerah biru)sebab itu sesuai dengan paribahasa jika guru kencing berdiri murid kencing berlari. Dan ingat juga, jangan salah jika mantan murid akan memeras mantan gurunya sebagai pembenaran atas hukum rimba atas nama survival of the fittes dimana orang perorang tidak lagi menghiraukan moralitas atau ikatan sosial sehingga zaman kolobendu muncul kembali (reinkarnasi) dan kembali ke era yang Hobbes katakan sebagai pre-moral and pre-social yang saling makan dan dimakan sebagaimana kebuasaan binatang tanpa peradaban. Naudzbillah min dzalik dan Wallahu a’lam bisshowab.

Honolulu, Aug 23, 2010
Menjelang Iftar

Mentalitas Kuli yang Berkuasa

Total Read David Efendi
153Total Comment132 dari 2 Kompasianer menilai Aktual.

“Aku berlindung kepada tuhan dari mentalitas kuli yang berkuasa, dari godaan kekuasaan yang menjerumuskan, ketiadaan negara yang mensejahterakan, dan dari ketiadaan pemimpin yang membela rakyat tertindas” (Defendi, 2010, Mantra pejinak Raja).
Mentalitas kuli disini diartikan sebagai kinerja yang terpaksa, didasarkan perasaan ingin dipuji, ingin diapresiasi, dan atau sebuah mentalitas kerja yang terpaksa seolah-olah bersungguh-sunggu jika diawasi atasan, bos, atau majikan, dan bermalas-malasan ketika unsur-unsur itu tidak ada. kata kuli sendiri diambil dari penamaan pekerja kasar yang mempunyai majikan/bos. Sehingga mentalitas kuli sangat teramat dekat dengan istilah ABS (Asal Bapak Senang), atau Asal Beye Senang.

Tidak ada sumber yang penulis baca secara pasti bahwa mentalitas kuli itu adalah orisinil produk dari bangsa Indonesia secara alamiah tanpa pemaksaan budaya atau ‘intervensi’ asing. Tapi, bisa jadi ini produk sampingan dari kolonialisme Belanda selama 3,5 abad di tanah jawa, dan secara berbeda-beda periode di luar Jawa. Dengan sistem tanam paksa, sistem pengawasan seperti rumah kaca dalam periode drama kolonialisme yang mahakejam itu kemudian memunculkan dampak ikutan yang luar biasa dalam denyut nadi, dan aliran bangsa. Bagaimana tidak mentalitas kuli tersebut menginvilitrasi di setiap level kehidupan mulai dari pusat, mulai dari presiden dan orang dalam istanah, cabang-cabang istanah dan yang tergabung dalam gutita cendana, gurita cikeas, atau gurita sekber sampai ke level pemerintahan di bawahnya dalam pejabat propinsi, kabupaten, desa dan menyeruak dalam berbagai kasus kinerja yang dilakukan PNS yang sudah banyak diekspos media massa.

Mentalitas Kuli yang mendominasi
Ada lima kondisi mentalitas kuli yang paling parah di negeri ini. Pertama, dalam lembaga eksekutif, yang dipimpin oleh presiden flamboyan dan suka tebar pesona yang memesona publik internasional itu juga menteri-mentrinya yang selalu menebar iklan dan ndobos di hadapan presidennya. Presiden, dalam kasus pemburuan koruptor, meski yang ditangkap hanya kelas teri tapi sudah promisi di mana-mana bahwa berhasil mengurangi korupsi, sehingga dapat mengakses pinjaman di Bank Dunia atau merasa terhormat. Dalam kasus perburuan teroris, ini lagi mentalitas kuli, karena merasa dilihat dunia internasional bahwa indonesia serius menangani terorisme, ia melegalkan pembunuhan terhadap warganya, salah tangkap dan sebagainya yang semestinya tidak harus dianiaya. tidak perlu ditembak mati, akhirnya semua dilakukan atas nama anti terorisme, tentu saja atas dan demi mentalitas kuli. begitu juga para menteri kabinet itu, sebagian besar penjilat dalam artian selalu berusaha menyenangkan atasan, selalu berusaha memanupulasi data agar program yang dilakukan dinilai berhasil oleh si Bos, agar semua senang dan tentu saja menghindarkan diri dari laknat yang berupa resafle itu. Ini semua bisa dibaca.

Keyakinan penulis, bahwa mentalitas kuli bukanlah produk luhur anak bangsa. Hanya saja, sebagian orang yang berkuasa berkepentingan untuk melestarikannya. Untuk menjaga bahan dasar pengisi perut dan bangunan tetap ada. Tidak ada yang alasan lain. sehingga, mari kuburkan mentalitas kuli sekarang juga! Atau jika tidak bangsa ini yang akan dikubur oleh orang-orang yang menghambahkan diri kepada mentalitas kuli yang mahaesa.

Kedua, yang tak kalah penting adalah mentalitas para anggota dewan yang (tidak) terhormat. Kenapa tidak terhormat lantaran perilakunya yang buas dan haus akan uang. Sedikit kerja dan keringat tapi maunya mendapatkan pendapatan yang berlebihan dan lebih dari sekedar kebutuhan perutnya. Para senator di berbagai level ini juga banyak dihuni para oportunis yang kepala dan hatinya pragmatis tanpa batas waktu, tanpa batas halal-haram sehingga sering lupa daratan. Mereka juga harus menampilkan performence politik yang baik, tidak melawan kehendak bosnya si Ketua Partai atau menyinggung penguasa partai koalisi sehingga pilihannya adalah menjadi anak baik-baik sehingga tidak di recall. Menyenangkan Bos adalah pekerjaan yang tidak sulit, adal setorannya lancar si bos pun melenggang senang. Ke depan bisa menjadi calon legislatif lagi, dan kalau bisa nomor urut pertama. Itu.

Ketiga, Level birokrat secara umum yanga da di daerah atau pusat. Kita saksikan, profesi PNS yang paling mulia dan paling vital ada di departemen agama dan pendidikan. Keduanya mempunyai lembaga pendidikan di mana-mana. Tengok, Berapa puluh ribu PNS yang tidak punya dedikasi untuk mengabdikan dirinya, membentuk mentalitas murid, anak didiknya dengan baik? Mereka bukannya hanya datang, duduk, mengisi daftar hadir, mengecek kehadiran peserta, dan memberi PR yang melimpah kepada siswanya. Inikah model pendidikan kolonial? atau neo-kolonialisme dalam pendidikan otak anak bangsa.

Coba lihat, Bagaimana mereka (kepala sekolah dan guru) ketika akan tiba waktu akreditasi dari pusat? Wow kita akan terperangah lantaran mentalitas kuli kembali mencekam otak dan hati para pendidik bangsa ini. bangunan sekolah yang bobrok harus diperindah, harus dipercantik, semua papan guru, peta, grafik siswa, majalah dinding, majalah sekolah, semua disulap dalam waktu sebulan. Uang pun jika tidak ada terpaksa harus hutang, harus diada-adakan, atau bahkan membebani siswanya dengan ratusan ribu rupiah, menggalang dana ke sana kemari. Untuk apa? untuk sebuah gengsi (previlage), untuk sebuah image, untuk apalagi? untuk menyenangkan Bos. Agara atasan juga bisa malapor ke atasan juga bahwa sekolah A,B, C sangat baik, kondusif sehingga dana yang sedianya untuk dibantukan ke sekolah tersebut pun bisa mampir ke saku-saku yang selalu menghadap ke langut tanda siap diisi. Dan sekolah itu kemudian hanya mendapatkan sedemikan kecil bantuan bahkan mereka harus tekor gara-gara menyambut prosesi akreditasi itu. Huh. Dan yang paling dirugikan adalah siswa, orang tua siswa yang ikut terbebani menyiapkan akreditasi dan tentu saja siswa tidak mendapat imbalan apa-apa dari proses pelabelan A,B, C itu bahkan hanya bisa menghisap jari lantaran semua yang disulap itu hilang dalam sekejab sebab itu bukan karena kualitas tapi karena pamrih dan karena menjadi kuli yang berusaha menyenangkan hati majikan.

Dan, kerugian yang terbesar dari semua kasus mentalitas kuli tersebut adalah, tersungkurnya nurani sabagai bangsa yang berketuhanan yang maha esa, dan bergeser kepada atasan yang maha kuasa sehingga suara hati pun dikorbankan atas nama sesuatu yang sama sekali tidak bijak dan bajik. Mentalitas Kuli ini bisa juga diartikan meminjam kata Buya Syafii Maarif sebagai keadaan tidak satunya kata dan laku”. Atau terminolgi lainnya adalah kemunafikan yang dilestarikan karena apa yanga da dalam hati, fikiran, dan perbuatan selalu tidak seiring dan sejalan.

Penulis meyakini bahwa mentalitas kuli ini bukanlah asli produk luhur dari bangsa yang beriman ini. Hanya saja karena, ada segelintir kelompok yang berkuasa yang selalu bersedia menghamba dan melestarikan serta mengembangbiakkan untuk tujuan jangka pendek, untuk kesejahteraan keluarga dan golongannya mereka bersepakat untuk menjadi semacam virus atau rayap republik untuk terus menggerogoti dari dalam. Mereka ini sangat berbahaya lantaran kekuasaan yang dipegangnya dengan bersekongkol dengan oportunis dan pragmatisme. Kalau mungkin, Bangsa dan negara ini pun dijual untuk menyenangkan majikannya ketika nurani dan hati sudah mereka gadaikan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. wallahu a’lam bis showab.

Honolulu, June 29th, 2010

Peradaban Toilet

 
David Efendi


Mungkin ini pernah ditulis orang sebagai perasaan yang jengkel, atau pikiran yang penuh kritik terhadap sisi kehidupan di negeri sendiri yang tidak beranjak dari bobroknya ruang-ruang agama yang juga dikorupsi jangankan makna kebersihan sebagian dari iman, bila terdesak tuhan pun dibajak untuk kegiatan yang antikemanusiaan, yang sering dipraktekkan rezim yang menuhankan keuangan sebagai plesetan atau kasarnya pembajakan tuhan dari falsafah luhur ketuhanan yang maha esa.

Seorang guru pernah bertutur, bahwa tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa bisa dilihat dari keadaan toilet umum di mana bangsa atau komunitas itu tinggal. Kalimat itu bisa diyakini betul, bisa dipercaya atau ditolak itu hak anda sepenuhnya ketika anda memang pengguna atau tidak pengguna public toilet. Saya tidak mengkaji asal muasal toilet tapi pasti kita sepakat bahwa kita butuh public toilet. Meski kita tidak merasa memiliki bahkan jengkel kalau toilet itu kotor, jijik, dan tidak tersedia air yang cukup. Hati dan emosi memuncak lalu muncullah pertengkaran. Hal ini bisa dilihat dari kasus toilet di kereta api kelas ekonomi yang saya alami sendiri.

Kisahnya begini, pada saat liburan lebaran atau hari minggu sore kereta api progo selalu penuh sesak. Penumpang dari berbagai tempat kereta ini berhenti selalu dibanjiri penumpang sampai-sampai tidak ada tempat berdiri yang tersisa. Tidak ada solusi, tidak ada pilihan lain (no exit and choice). Penumpang memilih public toilet sebagai tempat berdiri atau sekedar melepas lelah dari pada berdiri dengan satu kaki atau bahkan tanpa kaki alias menggantung di samping pintu kereta api. Apa yang terjadi kemudian? beberapa penumpang maaf ibu-ibu dengan anak kecilnya butuh tempat untuk buang hajat. Ketoklah pintu si Ibu dan anak itu. Tidak ada respon dan bilang penuh orang di WC. Lalu dengan terpaksa Ibu itu kembali ke tempat duduknya. Semenit kemudian datanglah seorang bapak dengan wajah yang seram (maaf) itu juga berhasrat ke WC meski sudah tahu di WC tidak tersedia air. Tidak dibukakan pintu, muntablah dan pecahlah adu mulut sampai adu jotos gara-gara WC.

Seorang yang belajar public service pasti akan mengatakan bukan yang berkelahi itu yang salah. Pasti penyelenggara jasa kereta api yang salah bagaimana tidak, para penumpang ini membayarkan kewajiban sebagai penumpang tapi tidak mendapatkan hak sebagai penumpang. Mungkin pemerintah bisa mencari solusi perihal toilet dan dampak ikutannya itu misalnya dengan membatasi penumpang, menambag gerbong kereta, atau perketat jangan sampai ada penumpang yang tidak membayar ikut naik yang mengakibatkan air toilet cepat habis, perkelahian, dan sebagainya. Pemerintah masih senang dengan cuek bebeknya soal ini, kenyataanya negeri ini tidak beranjak dari peradaban toilet karena terlalu gampang mengabaikan hal-hal yang kecil. Tiliklah barat yang tidak kenal “annadlhofatu al mina al iman” itu tertib dan bersih toiletnya dengan logika mencegah penyakit menular kemana-mana.

Jangankan dikereta yang ditempati para musafir. Saya tengok dan silakan tengok sendiri bagaimana keadaan toilet di terminal, di kantor-kantor pemerintahan, di Sekolah-sekolah negara atau agama (pesantren). Toilet menjadi tempat yang jijik dan menjijikkan sampai-sampai penulis memilih membatalkan acara di toilet melihat keadaan yang sangat tidak humanize seperti toilet binatang (maaf). Kesadaran akan pentingnya toilet ini belum tertanam sampai titik kesadaran anak bangsa, tidak guru tidak murid, bahkan beberapa sekolah membedakan toilet guru dan murid yang kejadian ini tidak pernah terjadi di barat toilet dibedakan berdasarkan status guru,karyawan dan murid. Karena toilet siswa tidak ada air maka isenglah siswa-siswa itu untuk membobol toilet khusus guru dan kepala sekolah itu. Jika kesadaran dibangun bersama, ini tidak perlu terjadi. Sekali lagi, tidak perlu.

Andai saja, nilai-nilai agama itu tidak sekedar dihafalkan dan ditempelkan ditembok. Tentu sedikit cahaya terang beranjak dari peradaban toilet.

Kemana anggaran pendapatan nasional daerah yang terus bertambah itu larinya? ke saku pejabat? nauudzubillah…atau sama sekali memang toilet umum dibangun dengan sistem yang lebih baik yang mungkin beranjak dari peradaban yang terpuruk ini? tidak hanya toilet umum rakyat kecil, lihat di toilet kejujuran dan nurani para pejabat itu akan jauh terpuruk tertinggal dibelantara peradaban.

Sampai sekarang, penulis pun tidak yakin bahwa tulisan emosi model beginian akan terdengar ke telinga pejabat yang tidak akan familiar dengan hal-hal kecil ini. Mereka akan tergerak ketika ada uang berkeliaran di sekitarnya, ketika ada tiket naik haji gratis untuk keluarga dan dana-dana yang dipaksakeluarkan dari bank-bank rakyat melalui keputusan legislatif dan eksekutif yang saling mendapat keuntungan sementara rakyat selalu mendapat getah dari pembangunan yang terampas.

Siapapun anda, bertanggungjawablah atas dua hal toilet. Bagai rakyat tentu penting untuk menjaga otak tetap waras agar peduli pada kebersihan toilet selagi menggunakan. Bagi pejabat dan penguasa, penggerak roda pemerintahan, mungkin toilet hati nurani perlu dinyalalakan sehingga terang benderang untuk berbagai kenyamanan dengan rakyat, jangan dinikmati sendiri sebab itu bagian dari kedzaliman yang sangat nyata. Sejahat-jahat manusia, adalah pemimpin/penguasa yang tidak adil! termasuk dalam hal penyelenggaraan pelayanan toilet yang memanusiakan manusia. Wallau a’lam bishowab

Honolulu, June 28,2010
EWC

Never Ending Read! Membaca Itu Melawan

Oleh David Efendi

Judul note ini kebetulan saya ambil dari PIN cantik dan anggun yang diberikan oleh seorang teman dan senior di Organisasi pelajar IPM. Saya bawa pin itu dari bandara Soekarno Hatta sampai ke USA. PIN itu memberikan banyak makna selama ini sebagai aktifis yang mengkampanyekan pentingnya membaca. Di negeri ini membaca masih menjadi barang mewah untuk mengatakan hal yang langkah maksudnya. karena berbagai toko buku dibuka, perpustakaan diperlebar toh tidak membelokkan langkah sekerumunan orang untuk tidak masuk ke Mall atau theatre atau nongkrong di warung kopi. Ternyata perlu perenungan panjang mengapa tradisi oral itu tetap tegak seperti karang di laut meski bertalun-talun genderang yang mengatakan bahwa zaman sekarang adalah zaman informasi, siapa yang ketinggalan dialah yang akan luluh dilumat zaman. Ada juga yang pemerintahan Daerah kampanye pentingnya membaca untuk hidup yang lebih baik tapi di kantor pegawainya ngrokok, gosip, di tempay menunggu di halte bus tidak ada buku tersedia, di ruang tunggu kantor nihil koran atau bacaan. bagaimana ini? tanya taufik ismail. Bagaimana ini tanya sastrawan lagi dari kampung yang sama.
Pentingnya membaca, belum semua menyadarinya. Tapi setidaknya kampanye gerakan membaca itu tidak boleh dihentikan oleh apa pun dan siapa pun lantaran ada pergeseran yang besar bahwa era ini tafsir mengenai butu aksara, butu huruf sudah bergeser miliaran kilometer yang awalnya didasarkan pada kemampuan membaca dan menulis kini adalah didasarkan sejauh mana orang bisa memanfaatkan kemampuan membaca menulis tersebut untuk mengembangkan diri dan lingkunganya. Bisa membaca tapi tidak untuk membaca, lalu dimana letak kesukuran atas karunia membaca itu? Dalam al-Qur-an jelas tersebut perintah dengan bertalu-talu kepada ummat manusia: Iqro!, artinya bacalah. Bukan belajarlah membaca lalu tidak perlu membaca kalau sudah bisa membaca.

Menyambung tulisan sebelumnya, ada tambahan baru bahwa saya haqqul yakin dengan tesis kebudayaan membaca dan menulis mempunyai korelasi yang positif dengan pertumbuhan kualitas demokrasi di negara berkembang atau maju. kira-kira rumusan hipotesisnya begini: semakin tinggi minat baca tulis rakyat, semakin demokratis negara tersebut. Hal ini sejalan dengan kata seorang pejuang revolusioner yang saya lupa namanya; “jika semua rakyat membaca, penguasa, pendeta, raja, tidak akan mampu melawan kedaulatan kata” artinya bahwa tradisi membaca dan menulis itu akan menghindarkan rakyat dari rezim dzalim, korup, otoritarian, dan sejenisnya. APakah ini tidak menjanjikan bahwa demokrasi akan subur, demokrasi yang mensejahterakan dan bukan quasi demokrasi yang serba fatamorgana, serba image, serba wacana tentang mimpi-mimpi pertumbuhan ekonomi makro yang hanya diketahui dan dinikmati segelintir elite yang berada dalam pusaran kekuasaan.

Kita tengok sekarang, buka lebar-lebar mata kita. Adakah bangsa yang maju tanpa memiliki kebudayaan membaca dan menulis?ADakah bangsa modern yang ketinggalan dalam karya keilmuwan dalam kebudayaan buku dan media massa cetak? India dan China sedang menumbuhkan pusat-pusat kebudayaan yang jantungnya dalam dunia pendidikan. India membeli izin cetak buku ke berbagai universitas di Barat agar biaya produksi bisa ditekan dan rakyat bisa mengakses secara luas dan leluasa tanpa merasa tidak mampu membeli. Di Hawaii disini yang kampusnya sudah melimpah bahan bacaannya masih membangun hawaii state library yang besarnya mungkin dua kali lipat mall ambarukma plasa di Yogyakarta. APalagi yang mesti kuperbuat untuk meyakinkan diri kita? Tengok sejarah Mesir, Turki Usmani, tengok peradaban yang brilian di abad pertengahan termasuk di Roma memiliki perpsutakaan yang dahsyat setidaknya saya bisa melihat dalam film angel and demons atau davinci code dari buku Karya Dawn Brown.Itu…minjam pak Mario Teguh.

Agar tidak lupa ingatan, saya juga pernah mengikuti seminar sastra di Universitas Gadjah Mada sekitar tahun 2008 yang mendatangkan Max Lane yang merupakan penerjemah buku Pramudya Ananta Toer yang lalu terkenal di berbagai belahan dunia itu. Dia mengatakan dengan keras dan menohok titik pusat kesadaran kita (pinjam bahasa buya syafii) tentang keluhan dia bagaiamana bisa, Pram dan Soekarno, Hatta karyanya dibaca diberbagai perguruan tinggi di Barat, tapi di negaranya sendiri tidak diminati. Bagaimana ini, ini bagaimana? pinjam kata Taufik Ismail lagi.
Max Lane menyayangkan betul, jumlah eksemplar dan karya anak bangsa yang tidak dihargai di dalam negerinya sendiri. Karya luhur seperti di bawah bendera revolusi itu, katanya hanya 1% penduduk Indonesia yang membaca. Ini menjadi halangan terberat bagi bangsa ini untuk maju, karena tidak ada penghargaan bagi karya founding fathers-nya.
Sebagai catatan, memang mengkampanyekan membaca tidaklah mudah, kadang tenaga dan energi finansial tidak sebanding dengan hasilnya yang masih suram. Potret bangsa ini akan terus dalam gulita selagi orang, pemerintah, politisi, pengusaha tidak berpihak pada upaya mencerdaskan bangsa dengan emndirikan pusat-pusat kebudayaan seperti perpustakaan publik. Pengusaha, politisi, mungkin takut akan kehilangan kekuasaan dan kesempatan ekspolitasi jika rakyat menjadi cerdas karena membaca. Paradigma itulah sebenarnya kolonialisme terhadap hati nurani yang layak kita musuhi dan singkirkan sampai disudut kerangjang sampah peradaban. Mereka, yang berkuasa, dan tidak punya political will untuk mencerdaskan bangsa dengan membuat anggaran yang lebih untuk mencerdaskan anak negeri, merekalah penjahat peradaban yang nyata adanya dan wajib kita perangi. Mereka itu, tidak rela anak bangsa ini cerdas dan bangkit dari segala penindasan!

Bersambung…
Hawaii, EWC Lab,over the night
June 28,2010

Parking Policy (part 1)


Perihal parkir dimana-mana menjadi salah satu hal penting terutama pasca meluasnya industri perdagangan mobil dan kendaraan bermotor sepuluh atau dua puluh tahun terakhir. Persoalan parkir juga menyeruak di kantong-kantong negara sedang berkembang (underdevelop/developing country) atau negara sulit berkembang (third wordl) sampai negara maju (develop), negara sejahtera sekalipun. Hanya kecerdasan dan political will yang tepatlah akan mendatangkan keuntungan berbagai pihak. Jika salah kebijakan perang antar gank, antar politisi menjadi fenomena yang tak terelakkan.

Kebijakan Parkir (parking policy) adalah lebih dari sekedar persoalan tata kota, pelayanan publik, tapi juga masalah ekonomi, sosiologi, dan politik yang saling berkelindan satu sama lain. Hal iniwajar apabila muncul kelompok yang menjalankan peran negara (shadow state), dan bermunculan karakter orang kuat lokal yang seringkali lebih berpengaruh dari pada aparatus negara. Mereka menjelma menjadi penguasa yang nyata dengan legitimasi pemerintah yang berupa karcis/tanda retribusi. Di sisi lain menjadi petugas parkir adalah profesi yang menjanjikan lantaran banyak kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari mulai laporan yang dimanipulasi, sampai penggunaan kartu parkir yang berkali. Fenomena ini merupakan pengalaman penulis yang lahir dan besar di negera berkembang: Indonesia. Persoalan sosiologi muncul, manakalah ekonomi nasional dalam ketidakstabilan, banyak PHK lalu muncullah pertyarungan berebut lahan parkir baru ketika ada pusat perbelanjaan yang baru. Di Yogyakarta, sudah memakan korban ketika awal pembangunan carefour, atau yang dikenal sebagai Plaza Ambarukmo yang terletak di Sleman, tepatnya di jalan Solo-Yogyakarta.

Lapangan kerja parkir, terbukti menyerap banyak tenaga kerja. Tinggal bagaimana kebijakan pemerintah itu dapat menguntungkan pihak lainnya seperti pelanggan, pengguna kendaraan bermotor, sampai pejalan kaki atau warga miskiin yang sering hanya dikasih asap yang mengadung polutan berbahaya itu.

Belajar dari negara berkembang, Kebijakan parkir memang dipikirkan betul jangan sampai tidak ada ruang parkir. Di sisi lain, seperti di USA atau negara maju lainnya. Ruang parkir juga tidak boleh mengalahkan ruang publik yang lain seperti taman, universitas, perpustakaan publik. Taruhlah di negara bagian USA; Hawaii. Pemerintah lokal hanya menyediakan sedikit ruang parkir lantaran keterbatasan lahan dan tetap mempercantik kota dengan membangun ruang publik seperti taman, trotoar yang bersih, public library sehingga parkiran itu tertata rapi dan tidak menganggu pejalan kaki. Satu hal yang perlu dicatat adalah ongkos parkir yang sangat mahal di daerah padat seperti pantai yang terkenal dan menjadi pusat wisata (tourism) bisa sampai $70-100 sehari (dirupiahkan 1 jt). Sedangkan di Universitas atau tempat umum lainnya satu jam pertama $2 (20 rb), dan seterusnya ada perhitungannya.

Selain kebijakan biaya parkir yang mahal yang mengakibatkan orang jarang bepergian pakai mobil pribadi karena publik transportasi sudah menjangkau semua kota (seperti di jogja, hanya di jogja parkir tetap menjadi persoalan serius). di Negara maju seperti USA, pajak kendaraan bermotor juga sangat tinggi alias mahal sehingga orang satu rumah cukup punya mobil satu atau dua saja. Pajak ini bisa digunakan untuk subsidi silang seperti di Jerman dan norwegia sehingga akses sekolah/pendidikan menjadi terjangkau bahkan orang dari negara lain bisa merasakannya.

Pelajaran apa yang bisa diambil dari kisah ini. Bahwa di negara maju tidak muncul orang kuat yang bisa mendirikan parkiran segala tempat dan memungut keuntungan. regulasi pemerintah tegas, jam dan lokasi yang sudah pasti sehingga tertib betul parkiran itu. Pajak kendaraan mewah mahal yang mengakibatkan berkurangnya kepadatan di jalan dan parkir serta ruang publik. Bayangkan di Indonesia, yang katanya rakyat miskin dimana-mana tapi parkiran penuhs sesak lantaran satu keluarga bisa membawa keluar 2,3 mobil. sekian motor bersamaan, yang dibawah sopir, yang ditumpangi anak, dan seterusnya. Dan satu hal yang jelas penting, bahwa parkir tidak boleh menggusur ruang publik yang lain yang lebih penting seperti taman, perpustakaan dst. Bukan lahan parkir yang diperluas tapi kebijakan yang bermain bagaimana agar orang tidak berlomba-lomba menggunakan kendaraan pribadi ke tempat umum sehingga nyaman dan terkendali serta lokasi publik menjadi tempat yang manusiawi untuk hidup bagi manusia dan makhluk yang lainnya.
(bersambung)

Oleh David Efendi
Honolulu, Oahu-Hawaii, July 1st,2010

Privatisasi BNPB Bukan Ide Gila

1290249378355904145

David Efendi

Pada awalnya note ini judulnya ‘privatisasi pemadam kebakaran’ yang terinspirasi dari bacaan dan berita di seputar cerita kancil di Amerika yang konon pemerintah tidka boleh terlalu banyak mengurus urusan masyarakat apalagi yang privat seperti agama dan urusan nikah-ceria, pemerintah dibilang HARAM. Kisah menswastakan pemadam kebakaran dilihat dari logika negara ‘liberal’ seperti Amerika mempunyai alasan yaitu pemahaman publik bahwa birokrasi pemerintah terlalu besar dna rumit sedangkan kebakaran atau bencana butuh segera ditolong jika menunda sedetik saja ribuan nyawa bisa melayang. Kita bayangkan eraly warning tsunami, gempa dan gunung meletus hanya beberapa detik saja puluhan sampai ratusan nyawa meregang. Karena itulah pemedam kebakaran tidak boleh diurus negara yang birokratis tapi lebih baik diswastakan dengan logika bisnis yang meletakkan pelayanan nomor satu (Put the consumers first). (Baca buku Ted Gaebler and David Osborn dalam Reinventing Government).

Logika yang kita tangkap sederhana bahwa persoalan penanggulangan bencana menurut John R. Harrald 92006) butuh disiplin (discipline) kelas wahid, butuh kecerdasan (smart) nomor satu, dan juga kegesitan (agility) dalam mobilisasi kekuatan dan sumber daya untuk mengantisipasi bencana, mengurangi resiko, mengurangi dampak kekacauan pasca kejadian bencana baik yang diciptakan alam (Natural Disaster) atau manusia (Man-Made Disaster). Tanpa kedisimlinan dan unsur lainnya tersebut maka sudah bisa diramalkan bahwa bencana akan mempunyai dampak yang luar biasa bahkan walau hanya bencana kecil dampak ikutannya bisa membesar jika salah urus. Bencana alam bisa diikuti bencana sosial pasca persoalan emergency respon konflik seputar bantuan pemerintah dan recovery mengacaukan segala organisasi sosial yang mapan, dan memunculkan kelompok baru yang cenderung dominan dan sebagainya. Hal ini bisa dikaji dalam sosiologi bencana (disaster studies, Stalling 2002) atau public policy yang komprehensif sebagaimana yang ditulis Harald 2006; McEntire 2002.

Dalam pandangan McEntire at all (2002) bahwa dalam penanganan bencana perlu kebijakan yang holistik dan terukur dalam artian bisa dievaluasi setiap langkah yang diambil. Selain itu model penangan bencana harus terus diperbaiki dari satu pendekatan dan metode ke metode dan pendakatan lain yang lebih baik dan lebih optimal. Dia mencontohkan dari metode paling spontanitas serach and rescue, selamatkan yang masih hidup terlebih dahulu, lalu self-community resilient, sustainability development, lalu muncul lagi comprehensive emergency management, lalu terakhir gagasan comprehensive vulnerability management. Inilah inovasi yang ditawarkan ilmuwan untuk mengurangi dampak resiko bencana yang tiap waktu mengancam kita apalagi secara geografis dinyatakan berada dalam sabuk api (ring of fire) dari lempeng bumi.

Dalam konsep negara warisan kolonial dengan tingkat kerumitan birokrasi kelas satu di bumi, pemerintah Indonesia akan sangat sulit merubah dari satu pendekatan ke model baru yang inovatif. Pakem yang digunakan sepuluh tahun yang lalu dalam penanggulangan bencana tetap digunakan dan cenderung dipertahankan karena sudah tabiat pemerintah birokratis plus rente selalu beriman pada warisan dan keajegan atau bahasa kerenya status que. Nyaris, konsep reinventing government tidka berlaku dalam praksis birokrasi kita yang kolot bin bebal dan dalam batas tertentu tidak memanusikan manusia. Saya tidak menganjurkan semua diswastakan, setidaknya pola kerja swasta profesional sedikit banyak mulai disusupkan dalam tradisi birokrasi kolonial di masa modern-merdeka.

Kembali ke judul, privatisasi BNPB yang tentu saja bukan ide gila lantaran banyak pemadam kebakaran diswastakan di negara bagian di Amerika karena orang Amerika tidak mau mati konyol terkena dampak bencana alam dan terrorisme atau macam sebab lain jika pemadam kebakaran diurus negara bisa terlalu terlambat datangnya. Di Indonesia BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dibentuk melalui UU 24,2007 dan juga diperkuat oleh peraturan pemerintah dan intruksi presiden merupakan lembaga khusus menangani bencana yang belum nampak prestasinya lantaran terus saja dibilang masyarakat sebagai ‘polisi india’ yang datang terlambat dan semua sudah berakhir (korban sudah berjatuhan). Lembaga ini punya otoritas mengendalikan semua tindakan penanggulangan bencana, menentukan status kejadian termasuk bencana kecil besar, lokal dan nasional atau kordinasi lembaga penanggulangan bencana baik yang dari dalam negeri atau luar negeri. Anggaran trilyunan rupiah diambilkan dari APBN.

Karena BNPB ini milik pemerintah, lembaga birokrasi tentu kita akan bayangkan kehadirannya akan selalu nomor dua atau lima. Tidak bisa kita pungkiri bahwa ketika bencana terjadi, masyarakat dan komunitas NGO, media massa, kelompok Ormas, agama akan lebih dulu emngulurkan tanganya dan cancut taliwondo menyelamatkan semampunya korban bencana dan bahkan menawarkan rumah dan kantor sebagainya untuk mengurus bencana alam. Peran kelompok bukan pemerintah iini tidak bisa dianggap remeh dalam setiap bencana alam terjadi. Ini merupakan bentuk modal sosial, kesadaran berbangsa dan kemanusian yang luar biasa. Bukti bahwa bangsa Indonesia sangat berperadaban mulia dan agung di mata bangsa lain.

Jika demikian yang terjadi, jika ribuan nyawa akan dipertaruhkan jika BNPB dibawah komando pemerintah, maka apa salahnya, apa gilanya jika BNPB diurus swasta dan disubsidi Negara jika kinerja bagus lanjut jika buruk ya dilelang siapa lembaga apa mau menjadi pelaksana silakan saja membuat proposal atau renstra dan sejenisnya. Jika PMI mau ikut, silakan, ormas agama? Monggo juga. Inikan demokrasi, demokrasi harus membawa keselamatan bagi rakyat terutama daerah yang rentan bencana.

Sebagai catatan penutup, perlu kiranya pembagian tugas yag jelas antara komunitas penolong korban bencana selama ini dengan pemerintah pusat atau daerah. Jika masyarakat bisa menolong dalam emergency atau tanggap darurat maka pemerintah perlu mengurus yang besar dan penting saja misalnya menyediakan landasan hukum, menyediakan anggaran yang cukup, memastikan asuransi jiwa dan harta benda korban, memberikan perlindungan aman bagi penduduk korban bencana dengan malibatkan TNI dan Polisi. Janganlah pemrintah yang terhormat hanya sibuk mengurus membagi roti, dan sembako karena urusan itu anak SD saja bisa. Maksudnya, perlu proporsional dalam mengurus bencana sebab haram memonopoli kebaikan. Bukankah begitu MR. Presiden?

Hi, Nov 19,2010

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme