Pak Beye Lemah di Sejarah, Marzuki Ali Anjlok di Geografi

David Efendi

“Runtuhnya Indonesia bukan karena bencana alam, tetapi lebih karena nilai pelajaran sejarah Presiden Beye yang tiarap, dan nilai pelajaran geografi Ketua DPRI Marzuki Ali yang sekarat. Inilah fakta paling gelap di negeri ini yang menggiring kepada paripurnanya kerusakan Indonesia sebagai persatuan bangsa-bangsa”
12912773391213819343
Sebelum lakon wayang kita gelar ada titipan dari ibu guru di SD Senayan berupa pengumuman nilai dua pelajaran dua siswa yang tergolong aktif tapi maaf nilainya kurang membahagiakan ibu gurunya. Berikut daftar nama dan nilainya.

Nama siswa: Pak Beye
Nilai Sejarah : E
Nilai PPKN    : E-
Nama siswa: Marzuki Ali
Nilai Geografi: E-
Nilai PPKN     : D-

Note: pejabat lainya juga kan? dan lakon selanjutnya selamat disimak dan dijiplak!
Drama cicak lawan buaya jilid dua benar-benar terjadi ketika Pak Beye mau mencaplok kekuatan kultural Yogyakarta sebagai daerah idtimewa semenjak Indonesia masih baru lahir.Pertarungan antara rejim SBY dan rakyat jogja merupakan peperangan antara kekuasaan buaya melawan legitimasi cicak. Hal ini bisa dikatakan juga bahwa perlawanan rakyat jogja adalah arus balik demokratisasi yang orisinil yang dimiliki bangsa ini melawan demokrasi liberal yang sedang menjadi trend global (Fukuyama, 2006).

Dua ekpresi bebal penguasa terjadi di republik ini hanya berselang hitungan hari atau minggu di penghujung tahun 2010 ini. Ekspresi bodoh pertama, ketika Marzuki Ali yang merupakan ketua DPR RI dari partai Demokrat–partai penguasa melontarkan statemen yang tidak ‘memanusiakan manusia’ dan cenderung blamming teh victim terhadap korban bencana gempa bumi dan tsunami di Mentawai publik emosinya tumpah ruah menhujani berbagai media untuk melawan ‘penguasa’ yang tidak memiliki kearifan dan kebijakan dalam menyikapi keadaan genting. Pada saat itu sengaja atau tidak sengaja Marzuki Ali mengatakan bahwa terkena tsunami dan gempa adalah resiko penduduk di daerah rawan bencana dan seolah mengatakan bahwa rakyat seharusnya sadar kalau daerahnya rawan bencana. Dalam keadaan darurat bencana, pernyataan ini sama sekali tidak ada makna dan semakin memperkeruh suasana yang sedih bercampur kalut. Kompasiana pun aksi goyang istana dan senayan dengan cara masing-masing dalam postingannya. Salah satu yang saya catat adalah ungkapan bahwa nilai pelajaran geografi Marzuki Ali tiarap alias jeblok. Semua orang tahu negara ini kepulauan yang dikelilingi lautan.

Ekspresi bodoh kedua nampaknya goyangannya lebih besar, mencapai 7 scalarichter dan juga menyemburkan awan panas merata di seluruh kawasan kerajaan ngajogyokarto hadinigrat atau nama formal nya Daerah Istimewa Yogyakarta yang sepanjang pemimpin menaruh simpati dan penghargaan padanya. Kenapa ‘gempa non tekhtonik’ ini lebih banyak memakan korban perasaan? Wajar karena yang mengeluarkan asap dari pusat pemerintahan yaitu presiden Indonesia yang kerap dipanggil pak Beye atau pak esbeye. Pak beye menyatakan bahwa monarkhi di yogyakarta tidak sesuai konstitusi Indonesia dan tidak boleh dilanjutkan. Ini tafsir bebas saya sebagai anak kecil yang beranjak gede. Rakyat jogja mengamuk dengan cara santun. Seorang lalu mengatakan bahwa pelajaran sejarah pak SBY sama dengan nilai geografi Marzuki Ali: Tiarap dalam lumpur.
12912774491131014240Kedua ekspresi ‘mabok’ daratan dan lautan ini sangat ironis karena muncul dari ketua legislatif dan presiden eksekutif. Dalam waktu singat kepercayaan publik runtuh kepada demokrasi prosedural, pada lembaga legislatif dan juga pada presiden. Bagaimana tidak, ketua dewan yang selalu memipin rapat besar di dewan wakil rakyat yang disempitkan jadi dewan wakil parpol dan golongan itu menyalahkan orang yang kesusahan dan patah harapan terhempas badai bencana gempa dan tsunami. Begitu juga pernyataan SBY yang sangat melukai warga yogyakarta yang air mata dan pusaranya belum kering dari terpaan awan panas, hujan abu, dan dampak merapi lainnya. Ini negara republik, yang penguasanya sedang mabok. Orang mabuk, dalam sholat tidak bisa dijadikan imam, juga tidak boleh menjadi pemimpin maka dengan demikian kita sedang dipimpin oleh imam yang ketut tapi karena mabok dia tidak ingat bagaimana cara berwudhu.

Kesimpulan dari cerita ini bukan hanya mengajak referendum untuk jogja yang akan mengembalikan jogja kepada kedudukan yang selalu istimewa di hati rakyat. Tapi tulisan ini juga menyimpulkan bahwa kerusakan bangsa ini nyaris sempurna (meminjam istilah buya Syafii Maarif) karena korupsi berada di wilayah yang mengurus akal (depertemen pendidikan), yang mengurus hati (departemen agama) dan yang mengurus keamanan yaitu lembaga kepolisian, dan hanmpir semua departemen. Saya juga menambah kesimpulan, bahwa kerusakan parah bangsa ini bukan karena dampak bencana alam, atau karena kebodohan rakyat Indonesia tetapi lebih diakibatkan karena pemimpin eksekutif atau presiden nilai sejarahnya tiarap dan juga pemimpin lembaga eksekutif atau ketua DPR yang nilai geografinya sekarat.

Sebagai pemimpin yang sudah mengeluarkan tiga albmum Pak beye diharapkan oleh rakyatnya agar secara legowo mengakui bahwa pak beye masih perlu belajar banyak ilmu sejarah secara shahih dan benar dan juga harus senantiasa mengingatkan bahwa anak buahnya yang sedang menguasai jabatan di ketua dewan rakyat yang maaf akhir-akhir ini kurang ‘terhormat agar mulai banyak membaca buku geaografi dan juga banyak praktik lapangan. Ini penting demi tegaknya sebuah bangsa besar sebagaimana amanah pendirinya. Ini adalah kesimpulan akhir dan tidak ada diskusi lagi soal bodohnya penguasa negeri ini baik eksekutif atau legislatif titik.

Hi, Nov 2010

0 Response to "Pak Beye Lemah di Sejarah, Marzuki Ali Anjlok di Geografi"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme