Sultan Tahta untuk Rakyat, Pak Beye Kekuasaan untuk ‘Demokrat’

By David Efendi
12911695881978741117
Gonjang-ganjing persoalan keistimewaan Yogyakarta mulai muncul beberapa hari ini ketika ‘Raja Cikeas’ demikian penulis sebut presiden partai demokrat yang merangkap presiden Indonesia, mengungkapkan pendapatnya bahwa monarkhi yang diterapkan di Yogyakarta tidak kompatibel dengan demokrasi yang berkembang di Indonesia. Pak Beye menyatakan:”…tidak mungkin Indonesia menerapkan sistem monarki, karena akan bertabrakan baik dengan konsitusi maupun nilai demokrasi.”  Pertanyaannya apa yang salah dari keistimewaan Yogyakarta? Ini akan dibahas dalam tulisan pendek ini.

Menurut kompasianer, pernyataan Presiden menuai reaksi dimana-mana, berita Kompas tanggal 30 Nopember 2010  di Head Line berjudul “Rakyat Yogya akan melakukan perlawanan”, berita hari ini 01 Desember 2010 headline di halaman utama memuat spanduk “Masyarakat Yogyakarta Referendum”.   Di propinsi istimewa kompasiana pun banjir opini soal ‘bodoh, pongah, dan bebal’ nya Pak Beye dan partainya. Semua emosi tumpah dengan bumbu ilmiah atau menghujat dan menyayangkan ucapan Presiden yang terlalu membuka harimau mulutnya. Tuduhan atau sejenis ‘fitnah’ (red:menurut pihak istana cikeas) bahwa Presiden tidak mengerti sejarah sampai karena Presiden sakit hati karena tidak disambut sebagai mana mestinya saat peristiwa gunung Merapi memerintah disana, muncul menjadi gosip masyarkat. Menyayangkan statement Presiden ditengah-tengah masih menderitanya sebagian besar rakyat Yogya karena peristiwa Merapi. Jadi jika Marzuki Ali menyakiti mentawai tepat ketika bencana terjadi, Pak Beye melukai hati rakyat ngayogyokarto dan mataram tepat ketika kesusahan korban merapi belum reda bahkan belum kering pusaranya.

Jika kita setback, presiden Soekarno memang keras, tapi kekerasannya itu membuahkan kemerdekaan, mungkin kita sangat berhutang pada Soekarno sebagai bapak revolusi di samping kita menaruh hormat pada sang Hatta sebagai rem yang sangat banyak memberikan keselamatan atas jalan terjal memerdekaan bangsa Indonesia. Selain itu sebagai bangsa yang tidak melupakan sejarah (jasmerah) kita pasti juga berterima kasih pada keraton Yogyakarta yang mendukung Indonesia menjadi republik penganut negara kesatuan (unitary system) yang juga menghargai budaya dan ‘kekhasan’ lokal.
Begitu juga presiden Soeharto mungkin keganasannya membawa berkah bagi elit-elit penguasa sekarang, jika seoharto dipanggil bapak pembangunan (membangun sistem korup) dan berbagai musium ikatan nasionalismenya melekat di berbagai daerah, masjid soeharto dan seterusnya. Sekarang siapa yang menikmati sistem tata kelola birokrasi yang dibangun Soehato? siapa yang asik berdendang setiap hari? sejenis Gayus adalah salah satunya dan gayus itu jumlahnya ribuan–menyamar sebagai pahlawan.
Pak Beye hampir tamat, belum juga punya julukan selain bangga sebagai presiden pilihan langsung pertama (apa bangganya?). Bukankah rakyat yang berjasa, bukankah rakyat yogyakarta juga yang memilihnya meski mungkin tidak banyak tapi rakyat yogyakarta menghargai presiden, mencintai NKRI dan sebagainya apa pun yang yogyakarta punya secara tulus diberikan untuk bangsa Indonesia sebagaimana selama ini dilakukan para raja-gubernur DI Yogyakarta.

Dalam status FB saya hanya usil: “Pak Beye ceritanya lagi murung. Ceritanya berkantor di Yogyakarta tapi rakyat Yogyakarta mencuekin Raja Cikeas ini karena rakyat jogja sadar punya raja sendiri yang melekat dihati. Kemurungan bertambah manakalah Pak JK lebih dikenal para pengungsi karena kegesitan dan kelincahan mengurus korban gunung merapi. Masih murung smpai jakarta dan mutung…”raja adalah saya”, kata Pak Beye mengadopsi  kata-kata raja Perancis Louis XIV, L’État, c’est moi (Negara adalah saya). Mungkin ini ada benarnya. Gubrak!(pakbeyeparah.com)
Keistimewaan DIY dilindungi hukum sejarah dan juga konstitusi UUD 1945-pasal18 khususnya dan jiwa pancasila yang berbunyi ‘Bhineka Tunggal Ika’ pastilah mencerminkan perlunya status istimewa. Status istimewa bukan berarti pusat mendiskriminasikan daerah yang bukan istimewa. Setahu saya tidak pernah ada kabupaten atau propinsi lain yang keadilannya tercabut karena gubernur Yogyakarta merangkap raja/sultan. Namun, sebenarnya kampung ngayogyakarta berhati nyaman ini tetap istimewa tanpa Indonesia! Mari kita ramai-ramai warga Yogyakarta membuat passport Yogyakarta siapa tahu kita diusir dari Indonesianya Pak Beye. 

Jadi, kaji punya kaji, tukang rerasan menyimpulkan bahwa bumi Indonesia adalah milik bangsa Indonesia. Demokrasi hanya ‘berhala’ tanpa subtansi “kemakmuran untuk semua” yang diperjuangkan. Adalah hampa, jika perilaku penguasa demokrasi di negeri ini mengabdi pada kapitalis dan pemodal asing. Saya masih yakin, dengan apa yang berlaku di Yogyakarta hari ini rakyat akan lebih mudah mencapai kesejahteraan jika raja adalah tahta untuk rakyat maka pak Beye adalah presiden untuk Partai Demokrat. Kalau demikian, pak beye hanya mengabdi pada partai dan gurita cikeas. Maka jihad mendukung kesejahteraan rakyat yogyakarata adalah perlu. Semua dimulai dari teriakan melawan Pak Beye. Begitu sobat, agar kelak penguasa tobat!

Hi, Nov 30,2010

0 Response to "Sultan Tahta untuk Rakyat, Pak Beye Kekuasaan untuk ‘Demokrat’"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme