Pemilu Dunia, Mungkinkah?

12906002371995129338

David Efendi

War is peace. Freedom is slavery. Ignorance is strength. [George Orwell]
Political language… is designed to make lies sound truthful and murder respectable, and to give an appearance of solidity to pure wind. [George Orwell]

Orang sudah terbiasa mendengar term baru pasca peristiwa 9/11 yang didramatisir sedemikian kuat bahkan orang di pelosok kampung pedalaman pun familiar dengan yang namanya Osama Bin Landin (bukan Obama bin Laden), al qaidah, Jamaah Islamiyah, dan bahkan detail nama-nama target dari polisi dunia baik FBI (Federal Bureau of Investigation) atau CIA (Central Intelligence Agency) yang daerah operasinya tanpa batas dan seorang pengamat intelejen mengatakan bahwa perpanjangan tangan polisi dunia (USA) sangat beragam mulai dari tentara dan Polisi di semua negara, NGO, bahkan kini mulai tersebar ustadz yang merangkap mata-mata atau istilahnya sipil intelegen yang salah satu tugasnya adalah saling mematai satu sama lain.

Amerika karena sumber daya yang menentukan masa depannya ada diberbagai belahan bumi terutama di negera yang sedang berkembang paling ketakutan jika aksi terorisme terus berkembang, tapi disatu sisi isu terorisme penting bagi Amerika untuk menunjukkan bagi dunia bahwa USA masih tegar sebagai ‘polisi dunia’ atau dalam berbagai media mengklaim sebagai negara super power senjata militernya. Walau demikian banyak pengamat mengatakan karier Amerika sebagai polisi dunia akan tamat pada tahun 2012 atau paling akhir (jika diperpanjang) sampai 2016. Dan setelah itu keamanan dunia tetap terancam karena perlombaan senjata sudah nampak di depan mata baik nuklir yang dikembangkan Rusia, Iran, Chine, India, Korea Utara, dan Amerika Serikat sendiri. Perang dunia ketiga, dengan senjata ABC (atom, Biologi, dan Chemical) pun akan menjadi trend baru yang sangat mengancam kelangsungan hidup semua ekosistem di bumi, laut, dan udara.
Belum lama, tahun 2009, sebuah buku yang berjudul power and responsibility diluncurkan sebagai proyek pengamanan Amerika. Buku yang ditulis Bruce Jones dan teman-temannya, setebal 300 halaman, menyatakan dengan tegas bahwa format negara dan perrtanggungjawaban serta tafsir kedaualatan harus berubah. Jika dulu negara cukup berdaulat dan tidak mencapuri urusan dalam negara lain (traditional soverignity), kini harus berubah bahwa tiap negara harus memenuhi kebutuhan minimal rakyatnya baik keamanan, ekonomi, dan politik sehingga tidak menjadikan ancaman bagi negara lain karena transportasi global sudah menjamur, internet sudah terkoneksi dan bumi pun hanya sekepalan tangan besarnya alias borderless. Ancaman antar negara (global or transnational terrorisme) menjadi hal yang sangat gampang terjadi kapan dan dimana saja. Jika orang madura tidak suka Amerika, kapan saja bisa terbang ke Amerika dan melakukan bom bunuh diri dan sebagainya di negara lain atau tempat dimana orang Amerika tinggal. Kedaulatan yang bertanggung jawab (Responsible Sovereignity), diemikian disebut dalam buku tersebut, mensyaratkan setiap negara harus mempunyai kontribusi terhadap ketertiban dunia (wordl order) dengan melakukan berbagai bentuk perjanjian atau tergabung dalam tata baru sistem dunia global atau jika meminjam istilah atau konsep besar Kant dan Thomas Hobbes disebut a global social contract.

Bagaimana memulai kontrak sosial global tersebut? memang betul sudah ada united nation (PBB=Persatuan Bangsa-Bangsa), IOC (OKI=Organisasi Konferensi Islam), ada banyak lembaga international atau jaringan international seperti NATO (North Atlantic Treaty Organization), Uni Eropa, G20,G9 dan sebagainya. Tapi walau demikian, kenyataannya dunia belum terasa aman lebih-lebih ketidakadilan global menyeruak yang mana negara maju bersifat ekpansif dna ekspolitatif terhadap negara mikin tekhnologi dan sumber daya manusia (developing countries). Salah satu hal yang menjadikan ketakutan global lainnya adalah masalah global warming. Perang abad ini adalah perang melawan kedaulatan alam dan hukumk ketetapannya tapi toh banyak negara maju yang tidak bergeming dan tetap melipatgandakan emisi yang dimuntahkan ke udara dan laut dan segala penjuruh. Orang juga gampang menyimpulkan bahwa PBB is nothing, karena perang Irak, Palestina, Afghanistan, Pakistan PBB sama sekali tidak bisa berbuat sebagaimana yang diharapkan para pembela perdamaian selama ini.

Jika dunia ini ibarat desa, ini penyederhanaan masalah, sebuah desa harus mempunyai kepala pemerintahan atau kepala desa/lurah, aturan main atau the rule of the game, alat penegak hukum seperti hansip atau polisi, dan tentu punya masyarakat sebagai subyek sekaligus obyek hukum dan tata pemerintahan. Masyarakat butuh ketentraman, sejahtera dan makmur. Untuk mewujudkan itu mulailah dengan kontrak sosial, pada awalnya kepada desa bisa jadi ditunjuk oleh sebagian elit desa, dan lambat laun seiring proses demokratisasi yang melibatkan masyarakat sebagai pemilik desa, budaya dan nilai untuk bersama-sama menentukan kepala desa (pemimpin), aturan main, dan sebagainya. Maka mereka mengadakan pemilihan kepala desa secara langsung.

Sekarang kita tengok dunia renta kita, Kita punya PBB tapi proses penunjukan sekjend tidak melibatkan semua negara dan dalam kacamata demokrasi partisipasi sepenuhnya belum bisa dikatakan representasi dari negara bahkan ada diskriminasi sebab ada beberapa negara yang mempunyai hak veto di dalam keanggotaanya. Karena inilah, PBB selama ini berada diketiak Amerika dan negara super power lainnya. Dan akibatnya, perang-perang berkecamuk tidak dapat diredakan dnegan jalan damai karena juri-nya sendiri terlibat perang. Bagaimana Amerika mau jadi polisi kalau dia melakukan perang? jadi hansip saja Amerika tidak etis jika demikian.

Kalaupun Amerika tetap ngotot jadi polisi, bolehlah, lagi pula jabatan polisi tidak harus dipilih secara langsung. Ibarat hansip di kampung di Indonesia, cukup minta relawan dari warga dan dibelikan seragam lengkap dengan peluit dan pentungannya. Cukup sudah. Tapi kita masih butuh kepala desa, kita masih perlu lembaga pembuat undang-undang atau aturan yaitu semacam legislatif body. Karena itulah kita perlu adakan pemilu dunia yang pesertanya adalah seluruh penduduk bumi. Tiap negara atau gabungan negara bisa berkoalisi memperebutkan kursi legislatif di DPR Sedunia, dan juga bisa mengajukan calon presiden dunia atau kepala desa se-dunia. Mekanismenya sementara dibuat oleh lembaga international sebagai KPU se-dunia.

Dan kita mencoba membangun ketertiban desa global yang lebih baik….Ketika akhir tulisan ini terhenti saya teringat diskusi di kelas teori politik kelasnya prof. Wilson karena waktu dikelas saya tanyakan apakah pemilu dunia ini hanya utopia atau mimpi disiang bolong di pentas politik jagat raya yang lintang pukang dan keras beringas ini? Lalu dia menjawab, ” saya tidak sedang melucu, ini serius dan mungkin bisa dilakukan. untuk keamanan dunia Amerika saja tidak mungkin dan tidak akan pernah bisa melakukan sendirian”. Karena kelas sudah berakhir pada jam 8 malam, aku mentok dalam pikiranku sendiri dan berkomat-kamit bahwa polisi dunia selama ini paling tidak tertib dan banyak pelanggaran terhadap berbagai kedaulatan hukum.

Hawaii, Nov 23,2010

0 Response to "Pemilu Dunia, Mungkinkah?"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme