Pendidikan yang Berpihak Pada Kejujuran

Total Read81Total Comment11 dari 1 Kompasianer menilai Aktual.
Oleh David Efendi, Siswa UHM


“Honesty is the best policy” (anonymous)

Pernahkah engkau merenung sejenak saja tentang arti pendidikan di negeri kita? Pernahkah engkau sejenak berfikir sejenak tentang hakikat pendidikan yang dibajak dinegeri kita? Kenapa merenung dan berfikir ini perlu dan penting karena dua alasan. Pertama, di negeri kita Indonesia itu pendidikan terus bergeser yang mulanya hanyalah politik etis yang diterapkan oleh kolonialisme dan imperealisme  Belanda untuk memenuhi permintaan lapangan kerja dalam rangkah melestarikan penindasan dan eksploitasi atas bangsa dan sumber daya alam di Indonesia. Lambat laun adalah secercah impian dan harapan yang dibangun anak bangsa untuk meluruskan hakikat pendidikan seperti yang dipelopori Taman Siswa, Muhammadiyah, dan Budi Utomo, ada KI Hajar Dewantoro ada Kyai Ahmad Dahlan dan sebagainya. Upaya pelurusan hakikat pendidikan itu pun berjalan terseok-seok lantaran terjadi perkubuan antara yang bangsawan-inlander dan pribumi jelata, antara kelompok agama dan nasionalis, antara kubu muda dan tua, pragmatis dan idealis atau lebih kompleks dari ini semua.

Beberapa dari kita mungkin sangat menghargai pejuang pendidikan tersebut tapi 20 puluh tahun terakhir atau sepuluh tahun terakhir ini betul betul arus balik itu datang kembali membajak hakikat pendidikan kita yang kembali lagi sebagai media mencetak tenaga kerja dan money oriented. Ini yang penulis catat sebagai point kedua kenapa kita mesti merenung sejenak. Rapuhnya pendidikan kita hari ini sama sekali bukanlah karena akibat penjajahan selama beratus tahun di masa lalu tapi karena mentalitas pemimpin atau penguasa di negeri kita ini adalah mentalitas pragmatis dan tidak mau berbuat sesuatu dengan sedikit berani mengambil resiko. Presiden punya pembantu yang disebut menteri pendidikan dan kekuasaannya dalam bidang pendidikan tiada yang bisa menandingi tapi apa yang terjadi? lihat apa yang terjadi perbaikan dalam ranah pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan dan output bahkan proses pun banyak terjadi kepincangan-kepincangan yang kasat terlihat oleh mata orang awam. Taruhlah contoh, ribuan sekolah-sekolah bobrok dan hampir roboh, ribuan guru-guru dengan kualitas apa adanya dan ada apanya. Kita tidak berharap hanya bisa bicara dan mengkritik, hanya bisa memadamkan api dan tidak mampu menyalakan kembali hanya berkemauan kuat untuk bersama-sama bangkit dari keterpurukan dan mulai dari menata pikiran, open minded dengan melihat fakta sebagai realitas secara jujur. Kejujuran melihat dan menyadari realitas (yang buruk) adalah satu kelebihan tersendiri dalam upaya membangun pendidikan yang berkarakter.

“Di negeri ini apa saja bisa terjadi”, kata Iwan Fals lalu dia menyindir bahwa pendidikan yang didapatkan sebagaian anak bangsa yang malang hanya ‘rongsokan’ artinya mendapatkan pendidikan dengan mutu yang sangat rendah dengan fasilitas yang aduhai mengharukan tersebut. Tapi tahu sendiri kan kawan, di negeri ini banyak manipulasi laporan pejabat tinggi semua dikatakan ada profres dan kemajuan dan kemunafikan yang menutupi fakta-fakta yang nyata itu biasa dipentaskan sebagaimana yang disinggung Erving Guffman dalam dramaturgi approach-nya tersebut yang terjadi gap sangat dalam antara kenyataan dan ‘kenyataan’ yang dimanipulasi alias kenampakan.

Tentu saja, kita tidak mau kehilangan generasi bangsa akibat kecerobohan dalam mendesain sistem pendidikan, kita juga tidak mau bahwa generasi yang akan datang menjadi kelompok manusia yang egois, pragmatis, dan kapitalis yang mencoba menghalalkan segala cara untuk memperjuangkan keinginan pribadinya, meraup keuntungan meteri untuk dirinya semata dan menegasikan hubungan sosial, rasa memiliki bangsa dan negara yang berujung pada konflik sebagaimana yang digambarkan Thomas Hobbes dalam Leviathan yaitu perang semua melawan semua memperebutkan sumber daya yang terbatas dalam nafsu yang tidak terbatas. Dalam pendidikan ini harusnya muncul rasa solidaritas social, ikatan sesama manusia yang sama-sama mempunyai kedaulatan dan berkompromi untuk menjaga keberlangsungan sesama warga bumi dan warga negara. Tanpa itu, kehancuran akan terasa sangat dekat dan harga diri sebagai manusia jatuh terinjak oleh egoisme manusia akibat pendidikan yang miskin kejujuran atas realitas dan miskin akan pengetahuan sebagai jati diri manusia.
Kenapa pendidikan kejujuran itu penting? Fakta sudah jelas memperlihatkan dan menhentak kesadaran kita. Bertahun-tahun bangsa ini dianugerahi gelar sebagai negara dengan tingkat korupsi 3 besar teratas terutama di instansi kepolisian, Partai Politik, lembaga legislatif, eksekutif, dan bahkan dua lembaga yang paling bertanggung jawab atas pendidikan anak bangsa yaitu departemen agama dan departemen pendidikan nasional. Koruspi merajalela juga di dua instansi yang mengurus kecerdasan otak dan hati manusia itu sehingga wajar kalau Syafii Maarif mengatakan bahwa karena dua instansi penting inilah, kehancuran bangsa ini nyaris sempurna. Kembali kita perlu merenung, bahwa kesalehan saja tidak cukup tanpa didukung oelh sistem yang memihak pada kejujuran. Kasus korupsi di departemen agama, pendidikan dan di KPK atau di KPU yang konon diisi oleh orang-orang sholeh yang tidak buta atau rabun dekat oleh kekuasaan juga dirundung persoalan korupsi yang membuat kita, orang awam speecless alias tidak bisa berkomentar apa selain dikemudian hari muncul pertanyaan apa yang salah dalam pendidikan kita?

Aristoteles mengingatkan pada kita bahwa pendidikan itu bukanlah mengisi air dalam bejana, tapi menyalakan cahaya api dalam gulita. Patut kita internalisasi ini dalam kehidupan kita. Karena kejujuran itu cahaya maka kita bisa menyalakan api pengetahuan dengan kejujuran mulai dari hal yang paling kecil sampai hal yang paling menyangkut hajat hidup orang  banyak. Kejujuran dibangkitkan mulai dari alam pikiran, niat, sampai ke perbuatan. Sebelum menjadi politisi, pejabat tinggi sampai presiden ini harus dan wajib dipegang dengan zero toleransi terhadap ketidakjujuran atau yang mendekati ketidakjujuran. Jika kejujuran sudah menjadi orientasi dan tujuan pendidikan tentu peradaban akan tumbuh berkembang dimana toleransi terhadap sesama, saling menghormati, dan saling menginspirasi untuk kemajuan dan bukan sebaliknya yang dialami pendidikan minus kejujuran yang sesama kawan saling menelikung, berbohong dalam interview pekerjaan, menyuap saat pencalonan PNS, money politics saat kampanye politik, dan korupsi saat menjadi pejabat tinggi yang ini semua dilandasi oleh nafsu ingin menang sendiri (Cak Nun) dan bukan bercita-cita untuk kemenangan untuk kemanusiaan dan pengahrgaan atas peradaban.

Untuk berfikir, berkata, dan berbuat jujur tidak perlu biaya tinggi tidak perlu mengemis anggaran dari pusat atau daerah tapi sangat dan sangat sulit untuk diterapkan karena seringkali hati, pikiran, dan tindakan saling berbeda pendapat dan yang paling berdampak pada orang lain adalah akibat perbuatan yang tidak jujur. Al kisah, sebuah sekolah di pelosok desa yang tidak saya sebut namanya, mendpaatkan tawaran dari seseorang yang mengaku pejabat daerah dan dekat dengan pejabat pusat serta berjanji bisa mencairkan sejumlah uang 100 juta untuk pembangunan sekolah yang hampir roboh atapnya itu. Sebagai syarat sekolah harus menyetor uang jaminan 50% ke oknum tersebut untuk ditunjukkan kepada pusat bahwa sekolah ini punya uang jaminan untuk membangun sekolah dalam rangkah untuk mencairkan uang 100 jt tersebut. Rapat guru pun dilakukan dan memutuskan untuk mengumpukan sumbangan wajib bagi orang tua dan siswa baru dengan jumlah yang ditentukan. Trekumpulah uang 30 juta dan kekurangannya ditutupi dengan menggadaikan surat tanah dan BBKP motor beberapa guru. Uang itu pun disampaikan ke oknum tersebut dan diminta menunggu beberapa saat. Setelah sekian lama menunggu ada info bahwa uang bisa cair dengan syarat baru transfer back atau uang kompensasi sebesar 20 % dari total uang tersebut artinya harus mengembalikan uang 20 juta dan tetap membuat laporan sejumlah 100 juta. Pikiran tidak jujur mulai menyergap kepala sekolah tersebut dan harus diamini oleh guru-guru sehingga muncullah ‘common tragedy’ yang disebut ketidakjujuran berjamaah(massal). Dan apa boleh buat pihak sekolah sudah biacara sama wali murid dan semua sudah disepakati untuk pembangunan.

Sebagai penutup, mau tidak mau masyarakat harus terus belajar dan belajar begitu juga para pemegang kebijakan (policy maker) pendidikan harus mulai mereformasi diri, reformasi yang tidak cukup dimulut atau sekedar retorika asal bapak senang saja. Coba dichek secara jujur betulkan diinstasi pendidikan tidak menjadi sarang korupsi, jika guru dan pelaksana pendidikan korupsi uang pendidikan (korupsi kerah putih) maka jangan disalahkan kalau murid-murid akan menjadi garong, menjadi preman  (korupsi/kejahatan kerah biru)sebab itu sesuai dengan paribahasa jika guru kencing berdiri murid kencing berlari. Dan ingat juga, jangan salah jika mantan murid akan memeras mantan gurunya sebagai pembenaran atas hukum rimba atas nama survival of the fittes dimana orang perorang tidak lagi menghiraukan moralitas atau ikatan sosial sehingga zaman kolobendu muncul kembali (reinkarnasi) dan kembali ke era yang Hobbes katakan sebagai pre-moral and pre-social yang saling makan dan dimakan sebagaimana kebuasaan binatang tanpa peradaban. Naudzbillah min dzalik dan Wallahu a’lam bisshowab.

Honolulu, Aug 23, 2010
Menjelang Iftar

0 Response to "Pendidikan yang Berpihak Pada Kejujuran"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme