Mentalitas Kuli yang Berkuasa

Total Read David Efendi
153Total Comment132 dari 2 Kompasianer menilai Aktual.

“Aku berlindung kepada tuhan dari mentalitas kuli yang berkuasa, dari godaan kekuasaan yang menjerumuskan, ketiadaan negara yang mensejahterakan, dan dari ketiadaan pemimpin yang membela rakyat tertindas” (Defendi, 2010, Mantra pejinak Raja).
Mentalitas kuli disini diartikan sebagai kinerja yang terpaksa, didasarkan perasaan ingin dipuji, ingin diapresiasi, dan atau sebuah mentalitas kerja yang terpaksa seolah-olah bersungguh-sunggu jika diawasi atasan, bos, atau majikan, dan bermalas-malasan ketika unsur-unsur itu tidak ada. kata kuli sendiri diambil dari penamaan pekerja kasar yang mempunyai majikan/bos. Sehingga mentalitas kuli sangat teramat dekat dengan istilah ABS (Asal Bapak Senang), atau Asal Beye Senang.

Tidak ada sumber yang penulis baca secara pasti bahwa mentalitas kuli itu adalah orisinil produk dari bangsa Indonesia secara alamiah tanpa pemaksaan budaya atau ‘intervensi’ asing. Tapi, bisa jadi ini produk sampingan dari kolonialisme Belanda selama 3,5 abad di tanah jawa, dan secara berbeda-beda periode di luar Jawa. Dengan sistem tanam paksa, sistem pengawasan seperti rumah kaca dalam periode drama kolonialisme yang mahakejam itu kemudian memunculkan dampak ikutan yang luar biasa dalam denyut nadi, dan aliran bangsa. Bagaimana tidak mentalitas kuli tersebut menginvilitrasi di setiap level kehidupan mulai dari pusat, mulai dari presiden dan orang dalam istanah, cabang-cabang istanah dan yang tergabung dalam gutita cendana, gurita cikeas, atau gurita sekber sampai ke level pemerintahan di bawahnya dalam pejabat propinsi, kabupaten, desa dan menyeruak dalam berbagai kasus kinerja yang dilakukan PNS yang sudah banyak diekspos media massa.

Mentalitas Kuli yang mendominasi
Ada lima kondisi mentalitas kuli yang paling parah di negeri ini. Pertama, dalam lembaga eksekutif, yang dipimpin oleh presiden flamboyan dan suka tebar pesona yang memesona publik internasional itu juga menteri-mentrinya yang selalu menebar iklan dan ndobos di hadapan presidennya. Presiden, dalam kasus pemburuan koruptor, meski yang ditangkap hanya kelas teri tapi sudah promisi di mana-mana bahwa berhasil mengurangi korupsi, sehingga dapat mengakses pinjaman di Bank Dunia atau merasa terhormat. Dalam kasus perburuan teroris, ini lagi mentalitas kuli, karena merasa dilihat dunia internasional bahwa indonesia serius menangani terorisme, ia melegalkan pembunuhan terhadap warganya, salah tangkap dan sebagainya yang semestinya tidak harus dianiaya. tidak perlu ditembak mati, akhirnya semua dilakukan atas nama anti terorisme, tentu saja atas dan demi mentalitas kuli. begitu juga para menteri kabinet itu, sebagian besar penjilat dalam artian selalu berusaha menyenangkan atasan, selalu berusaha memanupulasi data agar program yang dilakukan dinilai berhasil oleh si Bos, agar semua senang dan tentu saja menghindarkan diri dari laknat yang berupa resafle itu. Ini semua bisa dibaca.

Keyakinan penulis, bahwa mentalitas kuli bukanlah produk luhur anak bangsa. Hanya saja, sebagian orang yang berkuasa berkepentingan untuk melestarikannya. Untuk menjaga bahan dasar pengisi perut dan bangunan tetap ada. Tidak ada yang alasan lain. sehingga, mari kuburkan mentalitas kuli sekarang juga! Atau jika tidak bangsa ini yang akan dikubur oleh orang-orang yang menghambahkan diri kepada mentalitas kuli yang mahaesa.

Kedua, yang tak kalah penting adalah mentalitas para anggota dewan yang (tidak) terhormat. Kenapa tidak terhormat lantaran perilakunya yang buas dan haus akan uang. Sedikit kerja dan keringat tapi maunya mendapatkan pendapatan yang berlebihan dan lebih dari sekedar kebutuhan perutnya. Para senator di berbagai level ini juga banyak dihuni para oportunis yang kepala dan hatinya pragmatis tanpa batas waktu, tanpa batas halal-haram sehingga sering lupa daratan. Mereka juga harus menampilkan performence politik yang baik, tidak melawan kehendak bosnya si Ketua Partai atau menyinggung penguasa partai koalisi sehingga pilihannya adalah menjadi anak baik-baik sehingga tidak di recall. Menyenangkan Bos adalah pekerjaan yang tidak sulit, adal setorannya lancar si bos pun melenggang senang. Ke depan bisa menjadi calon legislatif lagi, dan kalau bisa nomor urut pertama. Itu.

Ketiga, Level birokrat secara umum yanga da di daerah atau pusat. Kita saksikan, profesi PNS yang paling mulia dan paling vital ada di departemen agama dan pendidikan. Keduanya mempunyai lembaga pendidikan di mana-mana. Tengok, Berapa puluh ribu PNS yang tidak punya dedikasi untuk mengabdikan dirinya, membentuk mentalitas murid, anak didiknya dengan baik? Mereka bukannya hanya datang, duduk, mengisi daftar hadir, mengecek kehadiran peserta, dan memberi PR yang melimpah kepada siswanya. Inikah model pendidikan kolonial? atau neo-kolonialisme dalam pendidikan otak anak bangsa.

Coba lihat, Bagaimana mereka (kepala sekolah dan guru) ketika akan tiba waktu akreditasi dari pusat? Wow kita akan terperangah lantaran mentalitas kuli kembali mencekam otak dan hati para pendidik bangsa ini. bangunan sekolah yang bobrok harus diperindah, harus dipercantik, semua papan guru, peta, grafik siswa, majalah dinding, majalah sekolah, semua disulap dalam waktu sebulan. Uang pun jika tidak ada terpaksa harus hutang, harus diada-adakan, atau bahkan membebani siswanya dengan ratusan ribu rupiah, menggalang dana ke sana kemari. Untuk apa? untuk sebuah gengsi (previlage), untuk sebuah image, untuk apalagi? untuk menyenangkan Bos. Agara atasan juga bisa malapor ke atasan juga bahwa sekolah A,B, C sangat baik, kondusif sehingga dana yang sedianya untuk dibantukan ke sekolah tersebut pun bisa mampir ke saku-saku yang selalu menghadap ke langut tanda siap diisi. Dan sekolah itu kemudian hanya mendapatkan sedemikan kecil bantuan bahkan mereka harus tekor gara-gara menyambut prosesi akreditasi itu. Huh. Dan yang paling dirugikan adalah siswa, orang tua siswa yang ikut terbebani menyiapkan akreditasi dan tentu saja siswa tidak mendapat imbalan apa-apa dari proses pelabelan A,B, C itu bahkan hanya bisa menghisap jari lantaran semua yang disulap itu hilang dalam sekejab sebab itu bukan karena kualitas tapi karena pamrih dan karena menjadi kuli yang berusaha menyenangkan hati majikan.

Dan, kerugian yang terbesar dari semua kasus mentalitas kuli tersebut adalah, tersungkurnya nurani sabagai bangsa yang berketuhanan yang maha esa, dan bergeser kepada atasan yang maha kuasa sehingga suara hati pun dikorbankan atas nama sesuatu yang sama sekali tidak bijak dan bajik. Mentalitas Kuli ini bisa juga diartikan meminjam kata Buya Syafii Maarif sebagai keadaan tidak satunya kata dan laku”. Atau terminolgi lainnya adalah kemunafikan yang dilestarikan karena apa yanga da dalam hati, fikiran, dan perbuatan selalu tidak seiring dan sejalan.

Penulis meyakini bahwa mentalitas kuli ini bukanlah asli produk luhur dari bangsa yang beriman ini. Hanya saja karena, ada segelintir kelompok yang berkuasa yang selalu bersedia menghamba dan melestarikan serta mengembangbiakkan untuk tujuan jangka pendek, untuk kesejahteraan keluarga dan golongannya mereka bersepakat untuk menjadi semacam virus atau rayap republik untuk terus menggerogoti dari dalam. Mereka ini sangat berbahaya lantaran kekuasaan yang dipegangnya dengan bersekongkol dengan oportunis dan pragmatisme. Kalau mungkin, Bangsa dan negara ini pun dijual untuk menyenangkan majikannya ketika nurani dan hati sudah mereka gadaikan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. wallahu a’lam bis showab.

Honolulu, June 29th, 2010

0 Response to "Mentalitas Kuli yang Berkuasa"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme