Sumpah

Agung Y. Achmad: Wartawan. SELALU ada sumpah di sepanjang peradaban manusia. Sejarah mencatat sumpah palapa Gajah Mada, atau sumpah Napoleon Bonaparte, sekadar menyebut beberapa, yang mengawali cita-cita besar dalam membangun suatu negeri. Sumpah memang sering berkaitan dengan nilai-nilai kepahlawanan, seperti ditulis di banyak legenda, semisal kisah Bisma dalam dunia pewayangan yang berikrar tidak menikah seumur hidup. Ucapan Mbah Maridjan (almarhum), “Nek aku mudhun diguyu pitik-jika saya turun akan ditertawai ayam,” (Suara Merdeka, 28 Oktober 2010) bisa dikatakan sebagai refleksi sumpah seorang juru kunci.

Kisah percintaan anak manusia sering menghasilkan banyak sumpah, contohnya: “Sumpah, kau cinta matiku.” Ijab kabul pada dasarnya juga merupakan sebuah persumpahan. Kata sumpah sering digunakan untuk menguji suatu kesungguhan, seperti: “Sumpeh, lo?” Dalam situasi ketika ada dua pihak yang sama-sama merasa benar atas suatu persoalan, sebagian masyarakat kita sesekali menempuh cara ekstrem, yakni sumpah pocong, atau muhabalah.
Tak sama dengan nazar, yakni janji kepada diri sendiri hendak berbuat sesuatu jika harapan tertentu tercapai, sumpah selalu diucapkan di depan banyak orang atau saksi. Bahkan saksi di pengadilan pun harus disumpah. Sumpah, karena itu, merupakan peristiwa bahasa, yang melibatkan ingatan publik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan sumpah sebagai pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap suci; janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu). Kesakralan itulah yang selama ini dihadirkan di setiap seremoni pengambilan sumpah jabatan para elite negara atau petinggi pemerintah. Ada juga kitab suci dan teks-teks sakral di sana. Pihak yang berwenang-sebelumnya mereka telah bersumpah-memimpin upacara tersebut menjadi bagian dari konsep upacara yang mengesankan suasana takzim dan berwibawa. Tujuannya agar orang-orang yang petah berkata: “Demi Allah, saya bersumpah…,” senantiasa menghayati apa-apa yang mereka ucapkan.
Pembacaan teks sumpah perlu dipublikasikan agar saksi (rakyat) mengetahui taraf kesadaran seorang calon pejabat atau pemimpin pada saat menerima amanah. Sebab, sumpah adalah pernyataan kesanggupan (seseorang) menerima penderitaan alias hukuman bila ia melanggar sumpahnya; pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar (KBBI). Mungkin, dari sisi itu tindakan Mbah Maridjan bisa dimengerti.

Dalam sistem demokrasi, daulat rakyat atau suara Tuhan adalah alasan utama kenapa negara dipahami sebagai sesuatu yang sakral. Karena itu, tidaklah istimewa bila seorang pejabat negara menjalankan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Negara, selanjutnya, memberikan berbagai fasilitas yang cukup memadai kepada si pejabat itu agar, antara lain, tidak menyalahgunakan wewenangnya-sumpahnya-untuk kepentingan di luar urusan negara. Demikian aturan yang berlaku di negeri ini, juga di mana pun.

Maka berhati-hatilah terhadap sumpah-sekecil apa pun sumpah itu. Sebab, sumpah juga bermakna negatif, yakni kata-kata yang buruk (makian); kutuk; tulah (KBBI). Orang yang tega mengutuk pihak lain biasanya lantaran ia diperlakukan secara tidak adil alias dizalimi berkali-kali.
Dus, apa yang bisa kita katakan bila di negeri yang amat kaya potensi sumber daya alam ini jumlah rakyat miskin tetap saja tinggi? Publik mafhum, selama ini banyak kebijakan strategis ekonomi-bisnis di tingkat negara dan pemerintahan yang diperebutkan para elite. Bahasa politik elite, untuk tidak langsung menyebut korupsi, seperti itu telah diterima para politikus di negeri ini.
Artinya, telah terjadi banyak pelanggaran sumpah jabatan dalam penyelenggaraan negara selama ini. Selain menunjukkan problem mentalitas yang krusial, fenomena tersebut merupakan refleksi dari kualitas berbahasa yang buruk para elite. Mereka lupa bahwa sumpah memiliki makna ganda ibarat dua sisi pada sekeping uang. Bila makna di sisi yang pertama (positif) gagal dikukuhkan, sumpah-secara moral-berpotensi membentuk substansi arti di sisi yang lain (negatif).

Rakyat, bila dalam kondisi lapar selalu menyaksikan manifestasi sumpah palsu para elite, bahkan ketika mereka (masyarakat Kepulauan Mentawai) tertimpa musibah, alih-alih segera mendapatkan bantuan, malah menerima kiriman “pantun” Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie: “Kalau takut kena ombak, jangan tinggal di tepi pantai,” bisa saja balik menyumpah-nyumpah pemimpin di negeri ini lantaran merasa dikibuli. Rakyat menjadi kaum mustadafin. Sumpah (doa) kaum tertindas diyakini umat manusia di muka bumi dari generasi ke generasi selalu mendapat respons prioritas Tuhan-saksi hakiki segala sumpah.

Bila Anda kebetulan seorang pejabat negara, percayakah Anda terhadap dampak sumpah (negatif) rakyat di atas? Bila tidak yakin, kini, Anda berani bersumpah untuk itu?

Majalah Tempo, 20 Des 2010.

0 Response to "Sumpah"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme