Sekali Lagi, Partai Politik Mati!

Total Read 111Total Comment9, 2 dari 3 Kompasianer menilai Aktual.

David Efendi

“Ketika Pemerintah Baru Terbentuk, Partai Politik berakhir”
(When the new ruler begins, The political Party ends)
(Dekpendi 2010)


Bagi politicolog, Riswandha Imawan (2004)* hambatan terbesar bagi partai politik di Indonesia untuk segera menemukan jati dirinya disebabkan oleh dua hal. Pertama, partai-partai di Indonesia bingung dengan kodratnya. Kedua, kesalahan kita mempersepsikan gerakan Reformasi 1998. Padahal sejatinya gerakan Reformasi 1998 telah menyediakan ruang bagi partai politik untuk bisa memainkan peran penting membangun struktur dan mekanisme baru dibidang politik menuju ke kehidupan yang lebih demokratis. Komitmen politik untuk melakukan perubahan secara normatif sudah diwujudkan kedalam bentuk perubahan sistem pemilihan umum maupun rekonstruksi struktur lembaga negara melalui UU bidang politik, yakni UU no. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik, UU no. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Annggota DPR, DPD dan DPRD, UU no. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, serta UU no. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi sejauh ini partai politik tidak mampu memanfaatkan momentum emas yang tersedia. Partai politik pun tidak bisa memberikan warna kepada rejim yang berkuasa. Partai politik justeru dikendalikan oleh rejim masuk kedalam format demokrasi yang diimajinasikan oleh rejim itu sendiri. Ini sebuah kesalahan yang sangat mendasar, sebab bila dikembalikan ke jati dirinya, partai politik sebenarnya merupakan aktor pembentuk rejim dan format politik disatu negara (Beck and Sorauf, 1992:478-480; Montero and Gunther, 2002: 5-6).

Sudah menjadi pembicaraan umum dari belahan bumi mana saja sampai di warung kopi di kampung-kampung pelosok ketika mengobrolkan jagat politik Republik ‘Maling’ Indonesia akan menyimpulkan bahwa partai politik mati setelah usai pemilu.Orang awam pun yakin dengan penuh seluruh bahwa partai politik hidup menjelang pemilu diselenggarakan dan dengan berbagai bentuk tipu daya mereka berbaik-baik pada rakyat, menyatakan janji setia, meneken kontrak sosial atau politik sampai juga kontrak dengan bangsa bukan manusia lewat berbagai ritual mistiknya. Ada pula yang sampai berdoa di depan ka’bah, ada yang minta doa di kuburan dan kuburan wali dan seterusnya. Mereka menyibukkan diri dengan nadzar politik masing-masing.
Ketika pemilu usai, jika gagal akan ‘gila’, jika berhasil bertambah pula ke-’gila’-anya. Jadi istilahnya, menang jadi arang kalah jadi abu toh dua-duanya akan lenyap di makan waktu. Tapi sebagaimana banyak pengamat menyatakan, bahwa demokrasi di negeri ini ppenuh kepalsuan, penuh tipu daya yang membayakan kemanusiaan lantaran politisi minus ideologi, partai politik sekedar jargon ber-ideologi tapi praktiknya selalu anti-ideologi. Ideologi hanya simbul kepalsuan agar terkesan sebagai pembala agama tuhan, atau pembela rakyat miskin dan tertindas. Kata rakyat yang menjebak nalar lantaran rakyat sekedar jadi komuditas. Berbagai kelompok masyarakat kini mulai tidak percaya pada proses politik setelah reformasi 10 tahun belum ada tanda-tanda membaiknya hidup bahkan makin berat melilit.

Prof.Riswandha Imawan, guru besar ilmu politik pernah memberikan pemikiran dalam ceramah ilmiahnya tahun 2004 yang lalu. Bahwa partai politik gagal memanfaatkan momen reformasi untuk memperbaiki diri keluar dari ketiak penguasa tapi malah terjadi sebaliknya partai politik justru mencangkokkan dirinya dalam gelimang kekuasaan sehingga tidak ada kemandirian, tidak ada oposisi, selain hanya basa-basi politik. Koalisi adalah simbul pragmatisme yang jauh dari nalar membangun bangsa secara lebih serius dan bertanggung jawab. Koalisi macam sekarang sekedar dalam rangkah mengabdi pada kekuasaan bukan pada bangsa atau rakyat. Beliau juga menyinggung fungsi partai yang paling mendasar ppun tidak dilakukan olah partai secara konsekuen apalagi fungsi inovasi yang menjadikan demokrasi makin bersinar dan segar. Ini yang membuat Wakil Presiden Mohammad Hatta kecewa dan mengungkapkan bahwa “Parties… have been made into an end in themselves, the state being their tool … the standing of the government has become that of a messenger boy of the political parties” (Feith, 1962: 511).

Sementara, sebagai basis pengetahuan kita, bahwa partai politik berdasarkan political scientist Partai politik setidaknya atau minimal harus menjalankan empat fungsi: parties structure the popular vote; integrate and mobilize the mass of the citizenry; aggregate diverse interests; recruit leaders for public office; and formulate public policy (Mair, 1990:1) atau mengikuti Hague, Harrop, Breslin (1998:131) yang memformulasikan  fungsi partai sebagai: agents of elite recruitment, agents of interest aggregation; serve as a point of reference; and offers direction to government.

Fenomena pilkada, pemilukada dan pilpres-pileg justru yang terjadi sebaliknya, kegiatan politik semakin mengkerdilkan partai dan membesarkan pperan individu yang ditopang oleh kekuatan kapital sehingga wajar saja kalau hampir semua pemilu menelan biaya besar dari APBN, miliaran bahkan trilyun rupiah amblas untuk pemilu yang ujung-ujungnya sudah bisa ditebak bahwa pemenang adalah pemilik kapital. Dalam demokrasi-kapitalis ideologi musnah, kejujuran sirna, dan orang baik cukup menjadi simbol kekalahan yang pahit. Dalam demokrasi yang liberal yang menganut kedaulatan uang, suara rakyat dibajak dan tetap dilabeli sebagai suara tuhan. Tapi tuhan ini sudah berubah dari tuhan yang tidak nyata menjadi nyata yaitu keuangan yang maha esa!
Masih berdasarkan pemikiran Riswanda Imawan, karena fungsi partai yang fital tersebut tentu harus diperkuat dengan karakter partai dan politisi dengan menjadikan ideologi yang hilang kembali dijadikan pegangan (bringing the ideology back in) dalam rangka menjalankan fungsi tersebut secara baik dan benar serta bertanggung jawab. Tidak ada elemen lain yang akan menjalankan fungsi tersebut sampai demokrasi qiamat selaian partai politik itu sendiri sebagai pilar demokrasi yang sementara ini diyakini banyak bangsa di dunia sebagai salah satu sistem terbaik dari yang terburuk yang berpeluang membawa kesejahteraan bagi semua rakyatnya.

Seperti ilustrasi gambar diatas. Partai politik seperti tong kosong tanpa jiwa tanpa ruh dan tanpa kekuatan yang bisa melindungi rakyatnya, melindungi pemilihnya bahkan tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari pragmatisme, oportunisme dan perbudakan atas dirinya oleh kuasa kapital. Jika Partai sudah mati, demokrasi juga sudah menjadi mayat! Innalillahi wainna ilaihi rojiun.

Honolulu, Oct 2010

)* Prof.Dr. Riswandha Imawan, M.A, dalam pidato pengukuhan guru besar Ilmu Politik tahun 2004 dengan judul: “Partai Politik di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri”

0 Response to "Sekali Lagi, Partai Politik Mati!"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme