8 Dosa Sosial Pemerintah


David Efendi

“It is better in prayer to have a heart without words than words without a heart.” (Mahatma Gandhi)
Tentu pembaca akan sebagian setuju dengan pendapat bahwa menghitung dosa lebih baik dari pada menghitung-hitung pahala yang kita merasa sudah banyak melakukan. Menghitung dosa artinya kita instropeksi dan evaluasi sedangkan menghitung pahala artinya pamrih, riya, pamer dan ujungnya akan menjadikan manusia sombong dan terbuai oleh kekuatan yang ia sendiri tidak memilikinya. Lalu kenapa kita perlu berhitung dosa pemerintah? Tugas manusia adalah mengoreksi diri sendiri dan berbuat untuk sesama, jika kita tidak mengoreksi pemerintah lalu siapa yang akan mengevaluasinya? jika pemerintah salah bukankah akan membawa dampak yang besar menyangkut hajat hidup orang banyak?

Hal inilah kenapa manusia dibumi ini harus menaruh perhatian yang serius kepada pemimpinnya. Jika pemimpin baik akan dicintai rakyatnya dan jika buruk dosa sosial yang akan dihasilkannya. Ada dua hal yang harus dipahami yaitu dosa sosial, dan pemerintah. Pertama, dosa sosial (social sins, meminjam istilah Mahatmagandi) kita artikan sebagai dosa yang dilakukan orang perorang sebagai individu, kelompok, dan lembaga kekuasaan yang mempunyai dampak langsung di muka bumi atas kehidupan banyak orang baik langsung maupun tidak, baik terang atau tersembunyi. Sedangkan Pemerintah atau governmant sebagai lembaga atau isntitusi yang mengatur kehidupan komunitas tertentu dengan aturan hukum yang sudah menjadi kesepakatan umum melalui kontrak sosial atau politik. Anggota komunitas sudah emmberikan haknya kepada lembaga tersebut dan berharap mendapatkan perlindungan dan pelayanan sebagai simbiosis mutualisme  (saling menguntungkan).

Masa 32 tahun bukanlah sebentar, karena itu setapak demi setapak sepak terjang Orde Baru itu berdampak luas terhadap perilaku masyarakat secara keseluruhan. Akhirnya di dalam masyarakat terbangun sikap dan perilaku yang oleh Mahatma Gandhi disebut sebagai “dosa sosial”. Menurutnya, masyarakat terpuruk hebat karena berlangsungnya 7 (tujuh) macam “dosa sosial”, yaitu: politics without principle; wealth without work; commerce without morality; education without character; pleasure without conscience; science without humanity; dan workship without sacriifice. Apakah dalam masyarakat kita sekarang ini “dosa-dosa” sosial tersebut masih ada? Saya kira masih! Bahkan mungkin lebih merajalela. Berikut adalah 7 dosa sosial pemerintah Indonesia terutama orde cikeas yang dianalisi menurut pemikiran cemerlang seorang Mahatma Gandi yang ditulis tahun 1925 dan satu tambahan dosa sosial menurut Arun Gandi. Berikut adalah detailnya semoga menjadikan manfaat dan bukan mudhorat dari catatan singkat ini.

Pertama, Politics without Principle. Hal ini secara bebas dapat diartikan bahwa perilaku politisi yang tidak mempunyai prinsip yang memegang teguh nilai-nilai kebaikan umum, kebenaran dan kejujuran sehingga mereka semakin memperkuat pandangan negatif orang awam bahwa politik itu kotor lantaran pemainnya yang berlumpur dosa dan bukan politiknya. Orang yang mempunyai prinsip, pejabat yang memegang teguh prinsip dengan nurani maka output yang dihasilkan seharusnya progres untuk kepentingan poltiik kebangsaan yang bermartabat. Belajar prinsip, etika, atau moral pejabat tidak perlu mahal dan jauh ke Yunani.di bagian terkecil bangsa ini penuh dengan ayat-ayat moralitas dan kebajikan.
Kedua adalah Wealth Without Work artinya memperkaya diri dengan cara-cara melawan hokum dan keadilan seperti cuci uang, rentenir, koruptor dan segala jenis model penyuapan yang sudah dipraktikkan sekian lama meski dalam konteks Indonesia masih ada perdebatan apakah kebiasaan KKN diajarkan oleh colonial Belanda atau bahkan semenjak jauh sebelum belanda datang ke pulau nusantara ini. Kita bisa mempertanyakan soal rekening gendut para petinggi polri dan tentara, calon presiden dan kepala daerah yang begitu besarnya diumumkan KPU menjelang event pemilihan umum. Ketiga, Pleasure Without Conscience. Kesenangan yang minus nurani yang mengakibatkan lunturnya toleransi, hilangnya solidaritas lantaran mementingan kesenangan dan kepuasan pribadi diatas kepentingan orang banyak. Hal ini diekpresikan oleh berbagai kebijakan Negara yang tidak pro rakyat, tidak menguntungkan grassroot sehingga seolah elit politik yang panen raya capital seentara rakyat bawah menderita kematian yang mengancam.

Keempat, Knowledge without Character. Miskinnya karakter pemerintah menjadikan bangsa kaya raya ini berubah menjadi bangsa pengemis lantaran para elitnya selalu didete kapitalisme global seperti IMF dan Bank Dunia (Pramudya ATour, The new ruler of the wordl). Keunggulan pengetahuan, kepandaian hanya digunakan untuk memperpuruk keadaan bangsa seperti munculnya kelompok tekhnokrasi, meritokrasi tahun 1970-an yang hanya menjadi justifikasi dan alat legitimasi negara untuk berbuat lebih buruk. Kita lihat mafia berkeley, mafia columbus, dan sekarang kelompok baru sudah terbentuk seperti kelompok yang memainkan angka-angka kemiskinan dan membuat kebijakan yang kalap seperti orang salah minum obat atau over dosis.

Kelima, Commerce without Morality. Berdagang dengan membolehkan segala cara adalah tragedy kemanusiaan sebagaimana yang sudah dipraktekkan pengusaha hitam, kapitalis kelas kakap yang secular dalam artian membunuh moralitas dalam urusan transaksi perdagangan dalam rangka mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Ini lah yang disebut oleh Garret Hardin (1968) sebagai the tragedy of the common. Pemerintah yang terlalu friendly dengan kapitalis sangat memungkinkan mendatangkan tragedy tersebut dan selama ini Negara pura-pura memusuhi kapitalis tapi sebenarnya mereka itu seperti ungkapan benci tapi cinta atau ‘friendly enemy’. Keenam, Science without Humanity. Di Indonesia pernah membesarkan dewa perusak ekonomi meminjam istilah yang penulis baca dari the confusion of hit man pada saat masih kuliah di UGM seperti agen donor pinjaman international yang menjerat Negara berkembang atas nama kuasa pengetahuan, the power of knowledge telah menjadikan Negara miskin semakin miskin lantaran besarnya bunga yang harus dibayar hingga menggadaikan kekayaan alam dan bumi yang kaya raya secara murah bahkan gratis kepada kapitalis global. Pengetahuan atau ilmu tanpa nurani kemanusiaan akan menjadi mesin pembunuh paling dahsyat abad ini. Sama bahayanya jika pengetahuan tanpa agama atau sebaliknya. Jika individu hanya membnuh satu orang maka tekhnologi bisa membunuh jutaan orang dalam perang-perang dunia yang pernah terjadi baik perang dunia 1 (year) atau perang dunia 2 (year). Sederhana saja, pengetahuan yang pernah dijadikan indicator kemiskinan dan menjadikan kebijakan yang salah lantaran madzab ekonomi yang tidak berakar pada tradisi dan kearifan lokal. Praktik mafia Berkeley pada saat penguasa orde baru di atas langit (tidak hanya daun), mafia colombus atau mafia survey akhir-akhir ini yang mengukuhkan rezim kuantitatif di Indonesia. Jika kemiskinan diangkakan, ditabulasi dalam bentuk terdistorsi serta dibuat indicator siapa miskin siapa tidak oleh orang yang tidak pernah merasakan kemiskinan betapa akan menjadikan berbagai tragedy? Salah resep dan salah minum obat serta overdosis yang mematikan bagi wong cilik. ICMI, LIPI, dan lembaga-lembaga riset pelat merah bisa saja terlibat dalam rezim pengetahuan yang memblinger (menipu). Bagaimana pengetahuan obyektif bisa diciptakan? Untuk kepentingan sebasar-besarnya rakyat?
Ketujuh, Worship without Sacrifice. Dalam konteks sekarang perjuangan dalam agama sering dimaknai beragam seperti kelompok islam tertentu merasapaling ebnar dan memaksakan kelompok lain berfikir dan bertindak sebagaimana mereka berbuat dan berperilaku. Banyak orang merasa menjadi pembela tuhan meski dengan ekspresi anti ajaran agama secara berkebalikan sehingga penuh anomaly akibatnya. Kasus berbagai penyerangan kelompok Ahmadiyah, gereja, dan sebagainya adalah manifestasi dari pemahaman agama atau ibadah tapi miskin pemaknaan kemanusiaan meski dalam segala kitab suci pasti menjunjung dan memuliakan kehidupan bukan saling memusnakan. Negara seperti Indonesia yang mirip theokrasi sebab banyak mencampuri urusan agama maka seharunyalah mampu menjadi pengayom keyakinan dan kepercayaan rakyat selama hal tersebut tidak menimbulkan keresahan public. Bagi saya, makna dosa social ini bukan mewajibkan orang melakukan perang tapi menghindari hawa nafsu perang (untuk FPI dan balatentara) adalah pengorbanan yang besar sebagaimana nabi bilang, seusasi peperangan, bahwa perang terbesar adalah perang melawan hawa nafsu. Inilah pengorbanan itu dan manusia lebih down to earth, akhirnya manusia lebih mengutamakan menghindarkan dari segala bentuk kekerasan (zuhud).

Kedelapan, Rights Without Responsibility. Dosa social ke delapan ini bukan berasal dari kata-kata gandi tapi dari anaknya namun hal ini sangat relevan dengan keadaan sekarang seperti berbagai kebijakan dan pernyataan pejabat public dan politik yang tidak menunjukkan sikap bijak dan bajik di tengah masyarakat yang tidak berpemimpin secara utuh lantaran pemimpin agama dan pemerintah tidak memenuhi kreteria sebagai pemimpin di tengah rakyat yang tergerus distrust akut. Taruhlah contoh alas an menaikkan BBM, tariff dasar listrik, pernyataan mengenai resiiko bencana penduduk pesisir pantai yang dinyatakan oleh Marzuki Ali, ketua DPR RI, oleh banyak kalangan dinilai perbuatan yang tidak bertanggung jawab meski bicara adalah hak tapi tidak seharunya hak itu untuk menyakiti korban bencana yang sudah kesusahan.
Demikian dosa-dosa yang saya lakukan, kita lakukan, pemerintah lakukan selama ini.Karena dosa pejabat pelaksana pemerintahan yang paling berat dampaknya maka selaykanya kita selalu melakukan check and balance dalam ranka menjaga agar pemerintah tidak berbuat kerusakan di muka bumi Indonesia. Jika tetap melakukannya maka rakyat yang sadar harus bergerak menghentikannya sebagaimana yang selama ini dilakukan para pemimpin kita yang mulia hati dan tindakannya seperti Mahatmagandi, Kia Dahlan, Hatta, Soekarno, Guevara, Gie,dan seterusnya.

Oct 23,2010

0 Response to "8 Dosa Sosial Pemerintah"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme