Lenyapkan Mafia, Agenda Mendesak Bangsa

David Efendi


"Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain"
— Pramoedya Ananta Toer
Manusia-manusia rakus digerakkan oleh mimpi kekuasaan ekonomi-politik mencoba menggunakan segala macam startegi untuk memperlancar tercapainya tujuan. Mereka tidak enggan menaklukkan kebenaran atas nama demokrasi atas nama hak asasi manusia. Mereka meruntuhkan tesis besar mengenai idealinya sebuah republik atau res publica menjadi res privata yaitu transformasi kapitalis dari ruang publik menjadi hak milik perseorangan. Mereka juga mengkebiri negara leviathan sehingga kewenangan dan segala penentu jatuh ke tangan kelompok individu. Kelompok tersebut hadir di banyak negara dengan nama yang beragam mulai bos lokal-nasional, gengster, mafioso, preman, Jawara, Blater, dan sebagainya.

Dua istilah yang sering dikaji adalah kelompok bandit republik, dan negara predator. Kelompok bandit lebih dilihat sebagai aktor informal government dalam negaraa lemah. Mereka meminta projek dan keuntungan dari kebijakan negara dalam berbagai subsidi atau distribusi sehingga mengalir ke tangan orang tertentu yang dekat atau mendukung terpilihnya politisi. Bentuk bandit bisa dilihat dari kasus Bossism di Filipina, Beberapa propinsi di Indonesia, kasus zaman Suharto, dan untuk kasus era SBY lebih dikenal sebagai predatory state. Predatory state diartikan bahwa negara yang dikuasi oleh aktor-aktor politisi-pengusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dari kebijakan publik untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya (Polak 2001; Sidel 1983; Robinson 2001). Misalnya dari pajak, dari pengurangan subsidi BBM, dan kenaikan harga pangan lainnya. Negara predator siap memangsa rakyat sendiri sebagai karakter utamanya. Mereka dekat dengan MNC (multinational corporation), atau TNC (transnational corporation), untuk agenda ekonomi neoliberalnya. Rezim sekarang lebih dekat ke arah ini.

Jika Amin Rais menulis banyak hal persoalan bobroknya menejemen negara dan sumber daya alam dalam buku selamatkan Indonesia, agenda mendesak bangsa (2008) maka penulis di sini ingin mengambil salah satu agenda yang tidak kalah mendesaknya yaitu pemberantasan dan pelenyapan para mafia yang berdiri terdepan di gerbong demokrasi dan disentralisasi. Para mafia tidak hanya berada di luar panggung perpolitikan, mereka adalah pemain, pelaku utama dari segala bentuk pembuatan undang-undang, sistem pemerintahan dan sebagainya. Jika di Filipina Bos, menurut Sidel (1998) berada di luar politik hanya mempengaruhi kebijakan dan menjaidkan politisi menjadi suboridnate dari kekuatan bossim maka di Indonesia bos tersebut adalah politisi kawakan. Mereka sudah banyak makan garam, keluar masuk penjarah tetap tidak gentar menjadi pengusaha dan politisi lantaran yang belum masuk sel tidak kalah buruknya dari yang sudah berpengalaman di rumahkan (dipenjarah).

Akibat dari lahirnya bandit dan negara predator ini sangat jelas terlihat jika kita konsen terhadapnya. Beberapa akibat adalah negara semakin lemah dan tidak berdaya untuk mensokong negara sebagai republik yang berorientasi welfare state atau sosial welfare sebagaimana konstitusi menyebutnya. Negara predator bisa sangat kuat, tetapi kekuatan itu bukan berpihak untuk rakyat tetapi untuk bos global dan nasional saja. Dalam berbagai kebijakan menganut model lama yaitu trickle down effect. Jika negara diuntungkan ratusan trilyun rupiah dari pemangkasan subsidi bBM dan kenaikan harga maka rakyat cukup diberikan 18 triyun dalam program BLT (Bantuan langsung tunai) atau SLT (Subsidi langsung Tunai). Hal ini berbeda dengan Mexico dan Amerika latin yang mempunyai program serupa tanpa menunggu BBM naik karena kewajiban mewujudkan kesejahteraan bukan sebagai kompensasi.

Quo Vadis Pemberantasan Mafia?
Di Indonesia ada banyak istilah yang relevan digunakan untuk melabeli para parasit negara dan masyarakat mulai dari koruptor, mafia peradilan, boss lokal, local strongman, bandit, preman, dan julukan lainnya. Mereka sangat oportunis ketika tidak menduduki kekuasaan dan sangat predatoris ketiak menjabat sebagai politisi atau pengambil kebijakan. Sebagaimana tulisan-tulisan lainnya, kaum kapitalis yang menjelma sebagai berbagai model bandit ternyata bisa survive dari berbagai rezim baik demokratik atau non-democratik, monarkhi atau republik, dan sebagainya. Inilah kesulitan yang paling besar selama ini. Sebagai contoh, demokratisasi di Indonesia yang berujung kepada meluasanya wewenang daerah dalam kerangka otoda dan desentralisasi hanya memberikan peluang sangat besar bagi para bos lokal, dan bandit mulai dari pusat, daerah, desa melakukan kongkalikong untuk menguasai sumber daya ekonomi melalui kekuasaan formal dalam pemerintahan. Sebagai contoh, partai politik harus mengucurkan dana untuk pemenangan pemilihan kepala desa agar nantinya juga akan memenangkan pemilu legislatif, pemilukada, dan pemilu presiden. Ini adalah jejaring yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh bandit politik secara sistemik.

Kebutuhan kita untuk memeranginya adalah; Pertama, kita mengidentifikasi secara sosiologi aktor-aktor yang sudah berada dalam jejaring bandit atau mafia. Kedua, kita juga petakan secara politik apakah masih ada partai politik yang bisa dijadikan parner untuk melawan mafia. Jika tidak maka unsur gerakan sosial perlu diperkuat, diberdayakan, dan dijadikan organisasi perlawanan untuk bandit desa sampai pusat. Ketiga, kita harus bergerak untuk merebut simpati massa agar tidak terkontaminasi alam pikirnya oleh kekuasaan mafia dan bisa memilih calon politisi yang kredibel atas dasar kebutuhan dan tentu saja benar-benar pro-rakyat. Terakhir, kita harus percaya kepada kekuatan sendiri. Perjuangan memang beresiko tetapi tidak ada yang tidak mungkin bahwa kita bisa mengubah keadaan buruk ini.

Akhirnya, kepercayaan kita mesti kita tumbuhkan. Pemerintah sudah membentuk KPK dan lembaga pemberantasan mafia yang dipimpin Deny Indrayana. Salah satu tugas kita adlaah meyakinkan bahwa mesin itu mampu menangkap dan melibas habis mafia dan kaum bandit berkerah putih. Kita harus mengawalnya dengan berbagai cara sambil kita juga mengawasi tingkah pola dan manufer bandit di daerah dan di desa. Kelompok anti abndit dan mafia harus ditumbuhkan di berbagai daerah spesifik atau lokal. Jika ini bisa maksimal maka rantai bandit akan diputus, Kekuatan rakyat kebanyakan yang anti bandit masih jauh lebih besar. Hanya kekuatan rakyat yang bisa menghentikan bandit, hanya dengan cara menolak memilih politisi bandit masyarakat kita akan berubah menjadi lebih baik.

Keywords: Bakrie, Bossism, kedaulatan, weak state, gengster, informal government, failed state.

Honolulu, Jan 4, 2011 (editan dari Dec 28 2010)

1 Response to "Lenyapkan Mafia, Agenda Mendesak Bangsa"

  1. Mantap sekali & lebih mantap lagi kalau tulisannya dibaca oleh para mafia yang sudah menyandera negara.

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme