Privatisasi Negara, Matinya Republik

David Efendi

 "...sungguh tahun 2010 adalah bencana politik bagi kita semua. Ketika kepemimpinan republik bertubi-tubi terbelenggu kepentingan elite politik maupun privat..." (Erlangga Pribadi, Kompas 12/23/10)

Tulisan ini sedikit menyimpang dari beberapa tulisan sebelumnya mengenai kritik terhadap kecenderungan pemerintah untuk memprivatisasi (swastaniasi) badan usaha milik negara (BUMN). Model swastanisasi sektor BUMN adalah jelas sebagai skenario kapitalisme global untuk melumpuhkan negara sebagai pensubsidi kebutuhan utama rakyatnya. Kaum penganut neoliberal tidak senang jika rakyat sejahtera karena campur tangan negara. Dalam negara berbentuk republik justru negara berkewajiban mensejahterakan rakyatnya dengan berbagai cara. Artinya campur tangan negara mutlak diperlukan. Negara leviathan di era modern kemudian diartikan sebagai kekuatan negara untuk berpihak kepada rakyatnya, menggunakan segala sumber dayanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Di Indonesia ditengarai adanya sifat condong kepada mekanisme pasar itu semenjak periode Orde Baru (1966-1998) lalu dilanjutkan secara parsial dan tidak terlalu kentara pada periode pemeirntahan setelahnya sampai sekarang pada era SBY-JK (2004-2009) dan SBY--Budiono (2009-2014) di mana mereka berusaha privatisasi krakatau steel. Malangnya, pembicaraan privatisasi ini ketika bencana bertubi-tubi menghantam Indonesia, menambah jumlah kemiskinan baru di berbagai daerah mulai lapindo, wasior, mentawai, dan Yogyakarta. Inilah ketidakarifan pemerintah yang minus sense of crises, kekurangan empati dalam segala tindak tanduk dalam pembuatan kebijakan. Penulis tidak hendak membahas privatisasi BUMN tetapi lebih kepada etika berpolitik dan bernegara yang penulis beri judul provokatif: privatisasi negara dan ancamannya terhadap eksistensi nilai-nilai falsafah republik (res publica).

Privatisasi negara diartikans sebagai fenomena personalisasi jabatan atau kekuasaan pemerintahan yang melekat kepada diri baik eksekutif, legislatif, atau yudikatif bahkan dalam partai politik. Kecenderungan ini terlihat dari fenomena merumahkannya kegiatan publik-kenegaraan menjadi project atau mekanisme sempit berupa pertemuan keluarga, elit partai koalisi dan sebagainya. Demokrasi yang merupakan perdebatan publik menjadi pembicaraan private atau individu tertentu. Dari sinilah politik dijinakkan dalam arti demokrasi dipersempit sebagai kedai, restoran, atau semacam kumpulan aktor politik. Hal ini bisa terlihat dari seringnya pembicaraan isu negara oleh sekretariat gabungan dan rumah pribadi presiden di Cikeas. Secara komunikasi politik ini semakin merusak tatatnan demokrasi selama ini dibangun. Jika pemerintahan suharto eksekutif sangat kuat dari pada legislatif, jika pemerintahan mega dan gus dur lebih kuat legislatif maka pemerintahan sby jilid kedua lebih terlihat bahwa aktor diluar eksekutif dan legistaltif yang kuat. Sebut saja setgab. Fenomena setgab adalah fenomena informal government, sejajar dengan mafiaso di Italia atau bossism di Filipina.

Di bawahnya mekanisme kenegaraan ke dalam rumah pribadi atau rumah sekumpulan individu adalah upaya pelemahan terhadap negara. Aktor sangat kuat dan negara lemah/dilemahkan. Ini adalah ancaman terbesar negara dunia ketiga mengikuti model demokrasi liberal ala Amerika. Persis, di Amerika, kongres hanya mengikuti keputusan bos-bos perusahaan besar yang selama ini mensponsori perang dan program pemerintah federal. Para pemagang modal/kapital kekuatanya dan daya tawarnya di atas segalanya termasuk rakyat (konstituen) para politisi. Jadi, dalam demokrasi liberal seperti di Indonesia saat ini, rakyat tidak bisa berharap sebab hanya menjadi alat legitimasi sementara produk kebijakan bukan diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan. Meraka hanya mengalokasikan sedikit anggaran negara untuk menyantuni rakyat dalam label negara kesejahteraan seperti BLT, BOS, Keluarga harapan, dan PNPM Mandiri. Itu hanya alat justifikasi bahwa Indonesia masih pantas disebut negara kesejahteran (welfare state) atau penganut social welfare sebagaimana konstitusi UUD 1945 menyebutnya (khusunya pasal 34).

Tepat sekali, bahwa Indonesia sebagai negara sudah jatuh ditangan para pemilik kapital, bos nasional sampai lokal. Para big bos atau raja besar baik lokal dan nasional mempunyai karakter 'garong', ‘preman’, dan bersifat parasit terhadap negara. Negara tidak lagi mempunyai kekuasaan sebagaimana Weber yang mengatakan negara sebagai lebaga sah memonopoli kekerasan untuk menegakkan ketertiban dan tentu saja melekat upaya mensejahterakan pemilik republik. Karena republik itu sendiri diartikan sebagai kembali ke publik atau untuk kepentingan umum (res publica). Jika tidak, maka nama republik menjadi tidak relevan untuk digunakan.

Lalu apa, jika bukan republik?
Ketiak perdebatan mengenai keistimewaan propinsi Yogyakarta SBY menyinggung bahwa tidak bol;eh ada monarki dalam sistem demokrasi (liberal). Tetapi beberapa kalangan termasuk ilmuwan politik justru pemerintah pusat, partai penguasa menjalankan model politik feudal, monarkhi dalam batas tertentu lantaran kepengurusan partai, menteri, dan berbagai penentu kebijakan hanya berdasarkan aspirasi elite atau berasal dari keluarganya. Personalisasi kekuasaan sangat kentara dalam bingkai keluarga SBY dan antek-anteknya. Kalau pun merekrut tekhnokrat, meraka dipilih karena loyalitas dan bukan kompetensi sebagai profesional dan kemampuan menemukan soulsi dari persoalan kebangsaan. Jika pemerinatahan sekarang tidak dibilang monarkhi, tentu ada sebutan lainnya yang layak seperti shodow state, private state, autocracy, undemocratic state, atau negara swasta (kumpulan/korporasi pebisnis nasional dan global).
Apa pun sbeutannya, label-label itu mengarah kepada nihilisasi keberadaan republik secara substansial dan konseptual. Tidak ada dan tidak seharusnya teradi di negara republik demokrasi dirumahkan, diswastakan sebagai milik sekumpulan orang/bandit yang sangat menentukan kebijakan. Privatisasi demokrasi artinya membunuh republik dan sebagai akibat jangka panjang adalah kelangsungan kemiskinan, pengangguran, dan eksploitasi kemanusiaan yang berkepanjangan sebab persoalan ini hanya mungkin diatasi ketika republik ditegakkan, sendi-sendi ‘leviathan; di bawah kembali untuk tujuan kebaikan dan ketertiban umum dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama.

Dalam kata singkat, privatisasi negara sedang berlangsung mulai dari privatisasi demokrasi di mana berbagai kebijakan pemerintahan didistorsi dalam mekanisme kekeluargaan atas nama partai koalisasi atau bertukar kasus untuk saling melindungi. Sebagai akibatnya negara terus mengalami kelemahan secara subtansial dan paradigmatic. Label republik atau res publica diganti res-privata, dan akhirnya ujung-ujungnya adalah penelenataran terhadap pemilik republic itu sendiri (rakyat). Dalam keadaan ini negara tidak bisa membela rakyat dan tidak mampu menggunakan kekuasaannya untuk rakyat sebab aktornya sudah dibajak dan berpihak kepada kepentingan ekonomi politik untuk melanggengkan kekuasaanya. Sama persis, mereka adalah penganut neo-liberal an sich, demokrasi liberal yang selalu berkutat kepada siapa mendapatkan apa dan bagaimana (Laswelian), dan tentu saja mereka penggemar berat Lord Acton dengan bangga mereka mendapatkan kekuasaan yang absolute dan menyimpangkannya secara absolute. 

Keywords: Negara, Republik, black kapitalis, black market, self-government, personalisasi, relasi kuasa, capitalist hit man, state label, politisi-pengusaha, state subordinat, failing state, tragedy of the common.

Halemanoa, Jan 6, 2010

0 Response to "Privatisasi Negara, Matinya Republik"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme