Catatan Pendek: Pendidikan Kita (2)

David Efendi

“Buat apa sekolah tinggi, kalau hanya jadi pengangguran.”

Kutipan diatas sering kita dengar di kampung-kampung atau di mana saja di Indonesia. Fenomena ini bukan tanda dasar munculnya. setidaknya ada beberapa sebab yang sekilas kita bisa sebutkan seperti tidak sinergisnya antara lembaga pendidikan yang memproduksi sarjana atau lulusan SMK dengan ketersediaan lapangan pekerjaaan yang diciptakan pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan sekaligus menekan jumlah pengangguran. Hal ini menyebabkan kepercayaan masyarakat akan pentingnya pendidikan menurun drastis seiring dengan budaya massa yang semakin materialis, kapitalis dan individualis dimana setiap tindakan dan status sosial diukur dengan harta dan uang.

Akibatnya, di tengah masyarakat kita kadang keluar ungkapan lebih baik lulusan smp dapat pekerjaan tetap dari pada sarjana yang menganggur tahunan tanpa pekerjaan tetap lantaran para sarjana terdampar atau memilih secara sadar bekerja di LSM/NGO atau menjadi pekerja sosial yang tanpa gaji apalagi gaji ke-13,14. Jangan bermimpi ada THR. Inilah dilema sarjana yang sebenarnya ingin mengabdkan pengetahuan dan ilmunya malah memunculkan sinisme masyarakat. Orang memilih menantu juga nanya pekerjaan dan apa yang sudah dimiliki dan tak penting harus sarjana atau lulusan SMA. Atau memang sama saja?. Berulang kali saya di desa ditanyakan jadi pegawai apa, lalu di bis dan kereta orang selalu bertanya bekerja apa. Ketika saya katakan saya bekerja di LSM, lalu mereka mengejar dengan bertanya, “berapa gajinya”?. Lalu membatin saja dalam diriku.
Dalam kesempatan ini perlu juga melakukan kritik pada tamatan sarjana, kebijakan pemerntah terkait lapanagn pekerjaan, dan sistem pendidikan yang berlaku di negeri ini.

Pertama, kritik tamatan sarjana ‘nganggur’. Belum lama saya membaca artikel judulnya sarjana miskin tamatan sma kaya yang cukup menyelekit sebab orang memutus hubungan antara orang pinter degan kekayaan yang kenyataannya banyak cukup lulusan smp atau sma tapi cukup kaya dan sukses. Inilah tantangan sarjana, mereka harus membuktikan bahwa sarjana juga banyak sukses dan dengan ilmu pengetahuan tidak hanya untuk diri sendiri tapi untuk kemaslahatan orang banyak, untuk menyiapkan masa depan anak bangsa sehingga pikiran sempit hanya ingin memperkaya diri sendiri dan meraih kekeyaan dengan cara yang tidak benar dan tidak halal. Masih ada satu tantangan lagi, kata orang awam bahw ayang koruptor juga orang pinter dan bahkan tamatan pendidikan luar negeri. Ini juga tantangan terberat zaman sekarang bagaimana kejujuran kelompok intelektual mutlak dibutuhkan. Pendiikan harus dilandasi semangat kejujuran dan kesahalehan sosial. Jika skripsi, tesis, dan desertasi dari plagiarisme bagaimana mungkin kita bisa garansi akan jujur ketika menjadi pejabat publik.

Kedua, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada tamatan sarjana. Pemerintah melalui presiden, menteri, dan DPR serta pemerintahan di tingkat daerah bisa memikirkan hal ini bersama-sama. Tren yang muncul sering hanya berlomba membangun universotas, sekolah, SMK dan tanpa memikirkan mau kemana dan orintasinya apa lulusan ini sehingga kebijakan sistem pendidikan selama ini sering menjadikan sekolah seperti pabrik sarjana atau tamatan SMK dan hanya sedikit memberikan peluang bagi tamatan sekolah untuk berkembang. Bahkan seringkali, terbatasnya lapangan kerja terutama PNS menjadikan praktek-praktek yang disebut Kuncoroningrat sebagai mentalitas menyerobot yang kemudian bermuara pada meluasnya praktik KKN (Korupsi, kolusi, nepotisme) dan suap-menyuap yang tak terhindarkan disetiap pembukaan lowongan pekerjaan atau CPNS. Perlu merumuskan education policy yang sesuai tantangan zaman dalam konteks kekinian.

Pemerintah seharusnya mengalokasikan dana untuk pengembangan sumber daya tamatan sarjana dan sekolah untuk diberdayakan dalam berbagai proyek padat karya atau menjadikan mereka punya bargaining, dan pemerintah tidak perlu terlalu berorientasi asing sehingga selama dan selama bisa dipenuhi dari anak bangsa sendiri tidak perlu mengimpor tenaga kerja ahli dari asing sehingga pertamina, UMN lainnya diisi anak-anak bangsa yang berkompeten. Selain itu pemerintah di semua level pemerintah menyedikan dana pinjaman lunak yang tidak berbelit-belit bagi lulusan smk atau sarjana untuk bereksperiman dan membuka lapangan kerja baru dengan segala ilmu oengetahuan yang dimiliki tentu pemerintah akan bangga dan dengan hati mensuport kreatifitas anak didik dan menggapai sukses kelak di kemudian hari. Jangnalah pemerintah menutup mata, mengenai potensi pengangguran terdidik jika tidak ada good will, dan social policy yang tepat dan cepat pada saat ini.

Terakhir, Sistem pendidikan kita. Hemat saya sistem pendidikan kita masih terdapat banyak kekurangan an ini harusnya disadari oleh stakeholder pendidikan untuk terus menerus melakukan upaya perbaikan tanpa henti. Pemerintah atau mendiknas harus berani open mind dan open hearth terakit kronisnya masalah pendidikan yang seringkali hanya berhasil memproduksi lulusan sarjana tanpa skil leaedrship, tanpa kompetensi dan tidak mampu berinovasi di tengah masyarakat yang sedang membutuhkannya.
Sebagai catatan penutup, nampaknya skil inovasi, leadership dan kompetensi mutlak diberikan di lembaga pendidika sehingga lulusan perguruan tinggi tidak membebani masyarakat dengan menambah pengangguran dan membuat akut sinisme masyarakat tentang pentingnya pendidikan.

Hawaii, Sept 7,2010

0 Response to "Catatan Pendek: Pendidikan Kita (2)"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme