Runtuhnya Ide ber-Negara

by David Efendi on Sunday, January 9, 2011 at 11:29pm

Tulisan ini terinspirasi oleh beberapa bacaan dan diskusi dengan teman di dunia facebook. Di dunia sedang tunggang langgang ini konon negara dipertanyakan eksistensinya dan juga dinihilkan keberadaanya. Beberapa orang mengklaim tidak perlu negara, tidak relevan mencantumkan kebangsaan. Mereka utopis seperti lagu Jhon Lenon, "jika tidak ada negara". Tapi rasionalitas juga dibangun sebab kenyataanya beberapa batas geografi antar negara mulai menghilang. Di sisi lain, banyak kelompok negara yang semakin memperketat batas geografi untuk lalu lalang warganya tetapi membuka gerbang selebar-lebarnya untuk kepentingan bisnis, mengimpor barang dan tentu saja membunuh produk lokal. Artinya menghabisi masa depan rakyat sendiri atas nama perdagangan bebas. Di sinilah neoliberal berwatak iblis. Tetapi banyak yang mau berteman dan berinteraksi dengannya.
Dalam tulisan singkat ini penulis hendak mendiskusikan bagaimana ide negara itu muncul, dan bagaimana psimisme era modern yang berimplikasi terhadap pasang surut ide bernegara dalam kepala warga negara. Sampai abad 21 ini perdebatan negara didominasi oleh wacana negara demokcratik dan non-democratik, juga dikotomi antara demokrasi dan kesejehteraan. Beberapa ilmuwan menyatakan dmeokrasi tidak selalu berakhir dalam kesejahteraan umum dan ini menjadi salah satu perdebatan sengit antara kebebasan bereskpresi dengan terwujudnya kesejahteraan. Salah satu yang membela kebebasan politik penting adalah Amartya Sen dalam bukunya Development as freedom (1999).

Ide Negara
Beberapa political scientist seperti Hobbes, Locke, Roesou berpendapat bahwa lahirnya negara adalah dalam ranka menjamin kepentingan umum melalui kontrak sosial. Individu menyerahkan kedaulatannya kepada 'negara' atau dalam bahasa Hobbes divine being--kekuatan yang besar diluar diri individu. Keyakinan akan pentingnya kontrak sosial ini berakhir pada terbentuknya pemerintahan republik dimana kedaaluatan berada ditangan rakyat dan untuk melaksanakan kedaulatan itu dibentuklah institusi negara sebagai alat meonopoli kekerasan secara sah dalam rankah menciptakan ketertiban umum. Konsep ini sudah jelas tetapi dalam praktek selalu memunculkan perdebatan panjang dan tidak pernah selesai.

Jika di setiap kepala warga ada ide negara, pemilu akan berjalan dan  pemerintahan baru akan terbentukin. Begitu rutinitas negara-negara di dunia penganut demokrasi. Lalu apa yang terjadi jika demokrasi itu macet, atau meminjam bahasa Budiono (2011), mengalami disfungsi dan degenerasi? Degenerasi saya bahasakan sebagai konflik interest dalam diri aktor politik yang menjadikan negara sebagai sandera untuk kepentingan jangka pendek politisi dan aktor disekelilingnya. Degenerasi tidak lebih dari premanisme atau pemerintahan banidt yang menggusur nilai demokrasi menjadi nilai bisnis an sich. Degenerasi sebagai produk 'mutan' dari demokrasi yang merusak. Sebelumnya hal ini ditandai oleh keruskaan birokrasi, terkontaminasinya ideologi negera kesejahteraan menjadi negara feudal, predator, dan terinveksi virus neoliberalisme yang menjauhkan mastarakat dengan negara, mengeliminasi ksejehateraan dalam diri rakyat.

Ide negara, meski demikian, tetap melekat pada diri masyarakat. Satu hal yang menjadi kekhawatiran publik adalah masyarakat sudah tidak peduli terhadap pilihan demokrasi atau autocracy, bagi rakyat hal yang utama dan terutama adalah segera terpenuhinya kebutuhan jangka pendek. Hal ini mengakibatkan masyarakat akan memilih sosok pengaus ayang kuat yang mengetahui kebutuhan mereka meski secara jangka panjang totalitarian selalu berakhir dengan mengenaskan baik di pihak rakyat kebanyakan atau penguasa. Kisah dramatis ini sudah dialami oleh Perancis pada abad ke-18 yang lewat. Dalam batas tertentu, munculnya Suharto pasca pemerintahan demokrasi parlementer atau presidensial di Indonesia adalah bentuk lain munculnya sosok 'totaliter' atau pemerintahan despotic. Sebagai tambahan, kemenangan SBY (sosok militer), pasca pemerintahan sipil adalah akibat frustasi rakyat terhadap demokrasi mainstream sipil yang lemah. Rakyat ingin penguas akuat, walau sejahat apa pun. Inilah tantangan demokrasi akhir-akhir ini.
Tantangan ini belum selesai dijawab Amartya Sen, yang menolak dikotomi demokrasi dan kesejehteraan sebab beberapa kasus menunjukkan rakyat cenderung tidak peduli terhadap kebebasan berpendapat lantaran kebebasan berpolitik tidak mendatangkan kesejahteraan. kalaupun butuh proses, rakyat tidak akan sabar menunggu kemiskinan dan penderitaan menurun sampai ke anak cucu cicitnya. Mereka membutuhkan kue demokrasi itu langsung diberikan dan dinikmati sebagaimana janji-janji demokrasi. Rakyat sudah kehilangan kesabaran menunggu demokrasi kesejahteraan itu.

Kembali ke ide negara, walau kesusahan dihadapi rakyat bertahun tahun dengan tingkat akselerasi penderitaan setiap harinya rakyat nampaknya tetap setia. Tetapi kesetiaan itu akan menjadi bara dalam sekam yang suatu wkatu muntah dalam berbagai ekspresi frustasi sosial atau putus asa secara kolektif. Beratnya kehidupan, kemiskinan, dan mereka menyaksikan anak cucunya menderita tentu akan mengancam ketabahan sebagai warga negara. Hal ini ditambah dengan ketidakstabilan sosial, rendahnya keamanan, dan tidak ada jaminan akan membaiknya "nasib" di kemudian hari. Ini akan mengakumulasi dalam ritual kekerasan baik secara laten atau manifest yang dalam bahasa James C. Scott (1985) disbeut sebagai perlawanan orang-orang lemah, atau bahasa Thoreu yang dikutip Mahatma Gandhi sebagai civil disobideience (pembangkana sipil).

Jika pembangkangan sipil meluas dan massif, maka eksistensi negara menjadi goyah, kekacauan akan terjadi dimana-mana dan alat negara seperti tentara dan polisi hanya menjamin keamanan penguasa dan persetan dengan nasib orang-orang kecil tertindas. Ini pula akan menggiring konflik antara rakyat dan pemerintah/polisi dan tentara, lalu jika pemeirntah menggunakan sipil (pamong praja) untuk menghadapi sipil, maka terjadilah perang sipil yang korbannya akan sangat banyak. Ini akan menguras sumber daya ekonomi, material, dan juga mental masyarakat. Sebagai klimaknya, mengikuti para ilmuwan politik, keadaan kacau ini juga bisa berpotensi melahirkan penguasa baru bertangan besi dengan kekuasaan yang totaliter. Kata-kata Louis XIV akan kembali bergema, bahwa "negara adalah saya".

keywords: Leviathan, utopia, Ide, Kesejahteraan, Predatory state, Bandit, demokrasi, privatisasi, failed state.

0 Response to "Runtuhnya Ide ber-Negara"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme