Demokrasi Hipokrit

David Efendi


Banyak paradok demokrasi di negara kita diantaranya adalah: demokrasi minus etika, demokrasi minus kesejahteraan, membangun dengan hutang, demokrasi berbasis angka, demokrasi elitis, demokrasi anti keragaman, demokrasi tanpa partisipasi sejati, partainya demokrat tapi anti kritik, dan sebagainya. Jika kita bahasa kupas satu persatu kisah ini akan berlangsung lama dan menjenuhkan. Demokrasi tentu masih dikampanyekan sebagai sistem terbaik dan terus mencari basis dukungan dnegan berbagai undang-undang dan pemilu.Sayang, kepura-puraan atau sifat quasi dari demokrasi terlalu menufik untuk dilupakan.

Keharanan mulai menyeruak manakalah elit penguasa memandang pemilu sebagai legitimasi paling kuat untuk melakukan kerusakan, membuat kebijakan anti kesejahteraan seperti pengurangan subsidi, penaikan harga BBM, dan komersialisasi pendidikkan. Sebagaimana kata Mosca dan Michels, para individu penguasa Indonesia sedang membangun sistem oligarkhi yang kuat dan menjadikan partisipiasi massa dalam demokrasi hanyalah bagian kecil dari tujuan mereka untuk membangun basis ekonomi yang 'abadi'. Kelompok elit berusaha dalam banyak tindakannya sedang menjalankan apa yang disebut oleh George Grant sebagai private government--di mana aktor-aktor secara pribadi atau berkelompok menjalankan apa yang mereka inginkan dan bukan berdasarkan konstitusi atau minimal tidak melanggar konstitusi secara langsung (literal). Mereka biasanya sangat lihai mengakali hukum dan prosedur.

Bagi penguasa pusat dan daerah plus pendukungnya kemenangan demokrasi elektoral adalah 'berkah' luar biasa yang perlu disukuri dan tentu saja diabadikan sehingga mereka akan cenderung mempertahankan apa yang sudah mereka capai dengan berbagai cara atas nama demokrasi. Meskipun pemerintahan korup mereka akan membela kebijakan yang anti orang miskin sampai titik darah penghabisan. Persetan dengan janji kampanye karena semua dianggap sudah lupa. Kemunafikan demokrasi adalah tergantung siapa aktor atau penguasanya. Mereka ingkar janji dan mengganti janji baru ketika pemilu datang lagi atas nama incumbent dengan jargon lanjutkan atau dengan jargon sudah terbukti dan seterusnya meski itu adalah bagian dari kebohongan untuk publik.

Banyak ilmuwan berpendapat bahwa demokrasi adalah hanya stau jenis sistem pemerintahan, tetapi banyak juga yang meyakini bahwa demokrasi memberikan peluang lebih besar untuk mensejahterakan rakyat. Demokrasi elektoral mempunyai persoalan serius mana kalah pemilu dianggap sebagai tujuan dan bukan alat. Tidak ada salahnya pendapat-pendapat tersebut. Persoalan adalah siapa yang menjalankan pemerintahan? aktor demokrat? pengusaha? mafia? preman dan gengster dalam konsep shodow state (Reno, 1993), atau model pemerintahan oleh Bos (Sidel, 1983). Jika Reno dan Sidel yang kita pakai maka Indonesia sekarang adalah pemerintahan di bawah kendalai mafia pengusaha yang merangkap politisi. Kelompok Aburizal Bakri adalah bentuk pemerintahan bayangan yang sangat berbahaya sebab kekuatannya melebihi mekanisme parlemen dan presidensial.

Tarulah contoh, koalisi di parlemen diganti dengan setgab yang diketuai oleh Aburizal Bakri. Mereka membicarakan apa saja mengenai isu politik yang menjadi tugas parlemen di rumah sendiri. Bangunan demokrasi parlementer atau prsidensial berubah menjadi kedai demokrasi swasta atau restoran demokrasi dengan pemilik personal (private ownership). Kita tidak bisa bayangkan bagaimana demokrasi yang sifatnya publik menjadi privat. Ini adalah ancaman yang serius di era demokrasi bahkan lebih parah dari sekedar mengkebiri parpol menjadi 3 yang dilakukan oleh rezim Suharto pada saat itu.

Apa yang terjadi?
Akibat serius adalah cita-cita demokrasi tidak akan terwujud di bawah bayang-bayang aktor hipokrit, merasa demokrat padahal sebenarnya hanya wayang dari sutradara kapitalis yang kuat. Akibat lain dari privatisasi atau hipokrasi demokrasi adalah menjauhnya kesejahteraan dari rakyat, lumpuhnya penegakan hukum, menguatnya kekuatan pada satu kelompok yang berujung pada kegagalan demokrasi konsosiasional di masyarakat majemuk seperti Indonesia. Lembaga negara hanya di buat sebagai simbol adanya penegakan kebenaran sementara kebenarana itu disamarkan, barang bukti disembunyikan atau dimusnakan.

Contoh pertama yang mengemuka sampai hari ini adalah cerita lapindo yang tetap aman lantaran semua calon gubernur Jawa timur disponsori pemilik Lapindo, begitu juga aktor civil society sudah dibungkam dengan damai. Contoh lainya adalah pelemahan KPK, penghasutan MK, pengaggalan pengusutan century gate, kasus Gayus yang aman-aman saja, dan kasus RUU KY yang ditelantarkan dan menjadi pemain para kapitalis untuk meluluhlantakkan keistimewaan DIY. Tidak terlupakan bahwa buruknya manajemen TIM NAS PSSI adalah akibat politisasi yang berlebihan baik oleh Golkar, Demokrat, presiden, menpora dan tentu saja semua di bawah kendali the real presiden, Abu Rizal Bakrie.

Demokrasi jika jatuh ke tangan individu atau sekelompok orang kuat dengan karakteristik mafioso, gengster, bossism maka ruh demokrasi sudaha lenyap, harapan sejahtera untuk semua hanyalah mimpi tanpa landasan sehingga kita butuh gerakan massa yang solid untuk melawan kepanikan dan juga kesewenang-wenangan pemerintah hipokrit, presiden yang tidak berani mengambil resiko, menteri yang sifatnya ABS, dan parlemen yang dirumahkan. Jika civil society masih kuat, masih ada harapan itu pula masih belum sirna. Akhirnya, rakyat harus bersatu padu, agar tidak mudah dikalahkan. Anak-anak generasi muda harus sekolah yang hebat dan tidak silau kepada jebakan kekuasaan. Kaum intelektual harus segera melawan balik sebagaia kelompok pembangun bukan pengkhianat intelektual yang berlindung dibalik ketiak kekuasaan.

Hi, Dec 27, 2010

0 Response to "Demokrasi Hipokrit"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme