Negara [masih] Dalam Keadaan Darurat

David Efendi

"A citizen, first in war, first in peace, and first in the hearts of his countrymen. ( Funeral oration on the death of George Washington.)" - Henry Lee


Setiap peringatan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus selalu diselingi dengan refleksi dengan mempertanyakan sudahkah bangsa ini merdeka? siapa yang paling beruntung menikmati kue kemerdekaan dan siapa yang paling buntung dalam nestapa zaman edan: yang kaya makin kaya yang miskin menurun ke anak cucu. Rintihan lain muncul bahwa sebagain besar anak negeri ini yang sekarang miskin (40 juta jiwa) nenek moyangnya ikut membangun dan berjuang untuk memulangkan Belanda dari pulau-pulau di Indonesia. Tapi revolusi telah dibajak oleh kapitalis domestik dan manca negara untuk kemudian memangsa para palaku revolusi dan mimpi besarnya. Semakin sering diselenggarakan pesta kemenangan, semakin porak poranda masa depan anak bangsa yang masih tersungkur di belakang 'pembangunanisme'. Pemerintah yang menjebakkan dirinya dalam kubangan hutang, anak negeri miskin yang akan menanggung segala resikonya.

Negara dalam keadaan darurat ketika tidak adanya kedaulatan pangan, otonomi pemerintahan, dan tidak terjamainnya keamanan warganya. Ketiga indikator terpenting ini juga merupakan karakteristik dari sebuah negara disebut negara lemah (weak state) atau negara kuat (strong state), sukses atau gagal, bangkit atau collapse di belakang sejarah bangsa-bangsa. Ketiga indikator itu akan dibincangkan secara singkat dan semoga jelas.

Point pertama bahwa Indonesia masih jauh dikatakana sebagai bangsa yang berdaulat penuh dalam ketahanan pangan dan masa depan kemakmuran yang mana sangat tergantung kepada sektor agrikultur. Pendapat demikian sangat klasik mulai dari ekonomi merkentilism, Adam Smith sampai zaman kapitalisme #4. Bobroknya sektor pangan diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang memanjakan importer sehingga mematikan pasar dalam negeri sendiri. Negara berpenduduk petani terbesar berubah menjadi pengimpor beras terbesar. Ini sangat ironis dan dramatis jika tetap berlanjut sampai 20 tahun ke depan bangsa ini akan layu, kaku dan lumpuh sebelum berkembang menjadi developed country. Lalu apa solusina? negara harus bergerak menjamin perkembangan sektor tani, kebun, dan nelayan dengan memberikan program anti pemiskinan sebagaimana anti hama tanaman sehingga kebijakan yang pro kapitalis harus berganti haluan menjadi kebijakan anti kapitalis alias pro poor (berpihak kepada ekonomi paling rentan). Akibat dari salah kebijakan bangsa ini menderita hutang luar negeri sangat parah terhitung tahun 2010 ini hutang Indonesia mencapai 234 trilyun atau sebanyak $ 223 million (citation needed).

Poin kedua lebih menekankan kepada pentingnya negara otonom yaitu pemeirntahan yang dijalankan atas dasar konstitusi dan amanah rakyat dan menjaga jarak dari kepentingan kapitalis, mafia, baik dalam atau luar negeri. Jika kemerdekaan memerintah tidak ada maka negara memang hanya menjadi alat kaum kapitalis dan agen neoliberal untuk terus mengeksploitasi rakyat dan kekayaan bumi nusantara. Dalam kondisi ini demokrasi, desentralisasi, multi partai hanya menjadi hiasan dinding dari rumah besar kapitalis yang siap menjual, menggadaikan, dan menghancurkan apa saja yang bertentangan dengan kerakusan kaum neolib. Salah satu ciri neolib adalah campur tangan dan pembuatan undang-undang ditujukan untuk memperlancar jalannya pasar (market) memperkaya tuannya.

Keadaan ini terlihat dari pembuatan berbagai undang-undang yang didesain oleh kapitalis global dan antek-anteknya berbagai agen seperti IMF, ADB, Bank Dunia, dan sebagainya. Kita bisa lihat undang-undang keparatian dan pemilu, UU PMA, Undang-undang sisdiknas, Sumber daya air, dan berbagai piranti hukum privatisasi lainnya sebagaimana karakter kapitalis yang menjauhkan negara dari rakyatnya. Pemotongan subsidi BBM, penaikan harga BBM, pemberian BLT hanyalah salah stau contoh bagaimana strategi kelompok setan neo-lib memanfaatkan pemerintahan demokrasi. Tidak hanya di era demokrasi, era orde baru yang otoriter kapitalis juga tetap menang dan aman.

Sedangkan point terakhir adalah mengingatkan pentingnya kedaulatan teritorial dan keamanan warganya sebagai basis pembangunan bangsa. Negara sebagai pemegang otoritas kekeraan secara sah, sebagaimana ide Weber, harus memanfaatkannya untuk menegakkan kedaulatan sipil, keamanan untuk berusaha, mencapai kesejahteraan bersama dam kemakmuran untuk semua golongan tanpa memandang kelas, ras, suku, agama, dan partai politik. Jika fungsi ini tidak jalan maka yang ada kekarasan komunal, militer bermain mata dengan pengusaha dan politisi, tentara negara adalah tentara rakyat, tidak sehrausnya menjadi tentara bayaran pengausa dan pengusaha. Kita lihat kasus DOM di Aceh, oeprasi militer di Timur timur, Papau dan densus 88 yang hanya menjaidkan bisnis pengausa dan militer. Hal ini terungkap di website wikileaks.com yang menggemparkan dunia persilatan dunia karena dibelakang itu semua ada kekuatan sutrdara besar: AMERIKA SERIKAT.

Kesimpulan dari note ini adalah bahwa bangsa indonesia harus mulai menyadari dirinya bahwa negara ini belum merdeka, bahwa bangsa ini masih disandera sehingga harus berbenah. Jika ada pemilu, rakyat harus diajari kebenaran menyalurkan suara yang tepat pada orang yang bisa diandalkan sebagai agen perubahan bukan menjadi pejabat eksekutif atau hanya bermental wong kere mungga bale (orang kaya baru), atau menjadi budak dari kapitalis. Bangsa yang benar adalah bangsa yang menolak perkuliaan dan perburuhan anti manusiawi. Negara masih gawat manakalah anak bangsa ini menjadi budak dalam negeri sendiri, menggelandang di negeri orang, menjadi kuli di negeri orang, atau sebagaimana Sukarno berkoar-koar bangsa yang besar adalah bangs ayang menolak menjadi kuli bagi bangsa-bangsa lain. Sekali lagi keadaan memang belum membaik benar, jika saya boleh berkata, "negara ini benar-benar masih berada dalam keadaan darurat".

Oahu winter break, Dec 27, 2010

0 Response to "Negara [masih] Dalam Keadaan Darurat"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme