Men-Demokratisasi-kan Telinga Istana

David Efendi

“A President’s success if measured by his domestic and international achievements, not by his popularity in the polls”.
(Richard M. Nixon) 
“The President is there in the White House for you, it is not you who are here for him.”
(Walt Whitman)


Judul yang tidak keren-keren amat tapi judul ini lambang anomali demokrasi yang kita banggakan dan dipuja-puja Barat bahwa Indonesia sekarang, hari ini adalah negara paling demokratis di muka bumi atau kalau terlalu dramatis minimal di Asia tenggara. Meski dalamnya hancur lebur, rakyat kalah tarung melawan monster pasar kapitalis yang heartless (gak punya ati kata orang-orang). Mengapa judul ini anomali? Karena bagaimana istana punya Indra (punya Deni INDRAyana) wong Istana itu terdiri dari tembok beton dan kawat berduri, dimana kita yakin istana punya telinga mendengar kita. Di negara Indonesia, pemerintah hanya mau didengar tapi tidak mau mendengar. Jika demonstra teriak, jika analis politik berkoar sana-sini, ilmuwan LIPI memberikan rekomendasi, maka mereka hanya sekedar bicara dengan tembok. Seperti kata puisi Wiji tukul “bunga dan tembok” dibawah ini (sebagai selingan):

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak Kau kehendakiadanya
Engkau lebih suka membangun Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!

Dari Puisi perlawanan sunyi itu, refleksi kita adalah anomali bangsa. reformasi lebih dari 10 tahun ini hanya mempertebal tembok istana, mempertajam duri penguasa dan makin berat kita menghadapi tembok. Andai saja tembok bisa mendengar. tentu darah tidak akan tumpah sembarangan dan sia-sia di negeri para ‘bedebah’ ini. Agar istana telinganya mau sedikit terbuka bacalah sajak ‘negeri para bedebah’ in:i

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor menjatuhkan bebatuan menyala-nyala
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau menjadi kuli di negeri orang Yang upahnya serapah dan bogem mentah
Di negeri para bedebah Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedangkan rakyatnya hanya bisa pasrah
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya


Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan !
(Adhie M Massardi,2009)
Telinga Tembok
Jika istana merasa demokratis tentu bukan melawan kritik dengan cara membabi buta dan jurus mabok tapi dijawab dengan program nyata, dijawab dengan menceraikan negara dengan sistem kapitalisme global. Tapi ironis memang kalau sekarang negara mengendus-endus cara berhutangnya kalau dengan IMF tidak berani takut dikritik aktifis, takut dicerewetin mahasiswa, takut didemo dan takut akan bayangannya sendiri yang makin gontai dan kalah cepat gerak sama partai lawannya. Rezim Cikeas, adalah periode paling ragu sepanjang sejarah Indonesia, paling penakut sepanjang kisah kekuasaan di Asia bahkan di dunia. Contohnya, ketika masyarakat marah dengan malaysia pak Beye cukup menulis surat cinta mengharu biru ke Malaysia, ketika komunitas Islam Indonesia marah dengan isu rencana pembakaran qur-an di Florida pak Beye ngirim surat ke Obama. Jika semua diselesaikan dengan surat, apa gunannya Presiden dipilih, untuk apa uang rakyat dihamburkan untuk biaya pemilu langsung yang mencapai trilyunan rupiah itu. Berdasarkan perhitungan KPU, biaya Pemilu 2009 sebesar Rp. 47.941.202.175.793, yang bersumber dari APBN dan APBD yang diturunkan pada tahun 2008 dan 2009. Dan berdasarkan pengumuman KPU tanggal 24 Oktober 2008, jumlah daftar pemilih tetap adalah 174.410.453. Jadi biaya pesta demokrasi ini per orang adalah Rp 271.376,-

Fakta yang lain menunjukkan betapa presiden kita mengalami (maaf) “disfungsi ereksi” dalam bahasa intelektual jalanan. Ketika KPK dihancurkan oleh para ‘bajingan tengik’ koruptor, oleh kekuatan jahat iblis konglemerat hitam kelas kakap, apa yang dilakukan pak beye? Ketika cicak dikunya-kunya buaya pak beye hanya diam dan beretorika bahkan nulis lirik album. Ketika konflik di Palangkaraya, ketika Ahmadiyah sebagai minoritas ditindas, ketika banjjir bandang Wasior? Apa guna presiden? nonton bola kan pak Beye. Jika boleh saya mengutip salah satu judul tulisan di media memang ada benarnya yang saya gubah: “Rakyat dan perekonomian tetap jalan, tanpa presiden”. Dan apa yang diungkapkan Syafii Maarif seratus persen saya setuju bahwa kita tidak merasakan kehadiran pemimpin negara beberapa tahun terakhir ini. Kita punya elit pejabat tapi selalu minta dilayani. Ketika butuh, ketika rakyat memerlukannya? Presiden malah Nonton Bola, Anggota dewan study banding ke Yunani. Dalam bathinku kenapa tidak sekalian saja keduanya study banding atau kunjungan kerja ke akherat atau ke alam kubur.

Capek rasanya, tapi menulis, sebagaimana kata Pram, adalah bekerja untuk keabadian. Menulis, selain tugas pribadi, adalah tugas nasional. Maka saya salut pada kompasioner, pegiat facebook yang update status politiknya, blogger yang memihak pada rakyat kecil, dan semua anak bangsa yang dalam alam pikir dan tindakannya selalu berjuang merubah keadaan. Mari kita bersatu padu samakan langkah dan perjuangan untuk meruntuhkan tembok yang menutup telinga istana. Lawan!

Oct 21.2010

2 Response to "Men-Demokratisasi-kan Telinga Istana"

  1. Istana cikeas mengepung Indonesia! Waspadalah

    Kios Galesong (cheng Prudjung)
    Prdujung di Kompasiana: 21 October 2010 18:03:30
    Good Comment
    0
    wah, Cantik skali catatan ini cak david… Beautifull << sy senang sudut pandangnya…
    kukirimkan jutaan kardus “Cotton bud” untuk istana !!

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme