Kecil tapi Kuat, Negara masa Depan

1290504055234152026


By David Efendi

“The new nation state is small but important” (J.Wilson,2010)


Negara kuat belum tentu besar, negara besar belum tentu kuat. Sebaliknya, negara kecil belum tentu lemah dan negara kecil bisa jadi kuat. Seperti iklan sabun, ‘kecil tapi hebat’. Dalam kontek dunia persilatan politik di Amerika Serikat partai demokrat begambar gajah bengkak (elephant), sementara partai republik di Amerika bersimbul keledai (donkey) yang kadang kurus tapi konon gesit (meski sering dibilang bodoh) begitu juga gajah merasa perkasa dan menampis tuduhan bahwa gajah itu lambat. Tidak cukup sampai di sini perdebatan du dunia internet antara kubu gajah dan keledai dan yang tidak memihak keduanya (independent).
Adalah Francis Fukuyama, seorang tokoh liberal yang sangat berpengaruh, menuliskan buku tipis yang diberikan judul memperkuat negara (state building) yang dikahiri dengan chapter ’small but wtrong’ yang memberikan masukan betapa negara tidak perlu memperluas (scope) jumlah pekerjaan tapi cukup memperkuat peran dasar didirikannya negara(fungsi).

Mari kita tengok betapa gemuk dan luasnya scope pemerintahan Indonesia ini. Hal ini merupakan fenomena tersendiri pemerintahan pasca reformasi terutama setelah pemilu 2004 pemerintah cenderung “menggendutkan birokrasi yang sudah gemuk” (meminjam bahasa Prof. Riswanda Imawan) dan hal ini terus berlanjut sampai sekarang tahun 2010 yang mana lembaga non struktural beranak pinak ibarat amuba membela diri dengan cepat hingga sampai 92 lembaga atau badan non struktural. Luasnya cakupan dalam berbagai bentuk komisi, badan, tim ini menjadikan tumpang tindih pekerjaan dan tidak efektif bahkan menhamburkan keuangan negara yang notabene keuangan rakyat.

Lembaga nonstruktural (disingkat LNS) adalah lembaga negara di Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi sektoral dari lembaga pemerintahan yang sudah ada. LNS bertugas memberi pertimbangan kepada presiden atau menteri, atau dalam rangka koordinasi atau pelaksanaan kegiatan tertentu atau membantu tugas tertentu dari suatu kementerian. LNS bersifat nonstruktural, dalam arti tidak termasuk dalam struktur organisasi kementerian ataupun lembaga pemerintah nonkementerian. Kepala LNS umumnya ditetapkan oleh presiden, tetapi LNS dapat juga dikepalai oleh menteri, bahkan wakil presiden atau presiden sendiri. Sedangkan nomenklatur yang digunakan antara lain adalah “dewan”, “badan”, “lembaga”, “tim”, dan lain-lain.

Kita coba evaluasi apa capaian dari banyaknya lembaga tersebut? apakah makin gesit pemerintah bergerak dan makin cepat menangkap koruptor kakap? atau sebaliknya sebab hukum bilogi bekerja jika merunut teori bahwa pemerintahan itu ibarat organ manusia (body politics) tentu akan sulit berjalan atau tidak stabil jika kepala lebih besar atau tangan lebih panjang dari bentuk ideal dan sebagainya. Jika menurut hukum Esinten, maka simple itu adalah bentuk paling sempurna.

Hal ini bisa jadi benar lantaran pemeirntahan kita makin lamban, koruptor bisa bangun istana di penjarah, bisa berlibur dan sebagainya. Banyaknya badan non struktural hanya memberatkan pekerjaan, banyak rapat, banyak pertimbangan dan sebagainya yang ujungnya kaan menjadikan birokrasi dan tata kelola pemerintahan sulit mengatur dan mengurus diri sendiri dan rakyat sebagai ‘raja’ yang harus dilayani menjadi sangat terabaikan dan jauh dari kata prioritas.

Gagasan pemerintahan dan birokrasi harus kecil dalam artian simple tidak terlalu rumit menjadi pilihan sadar hari-hari kedepan. Dengan badan yang ideal, kecil dan gesit dan yang diurusin tidak terlalu banyak tapi serius dan detail maka pemerintaah akan lebiuh baik, dan tentu saja 240 juta rakyat akan jauh lebih terurus. Saya sangat yakin ini meski penjelasan ini belum memadai. Mari kita teruskan gagasan smart government is small ones.
Ide negara kecil yang gesit ini akan membuka peluang kembali bentuk federalisme atau negara yang sama sekali baru menyusul Timur Leste sehingga tanggung jawab negara dalam memakmurkan rakyatnya akan lebih cepat dan lebih baik mengingat jumlah penduduk yang tidak terlalu besar dan tentu saja akan didukung oleh sumber daya manusia dan alam yang mumpuni dan berkelas international. Saya menyadari unitary state menjadi aliran utama madzab nasionalisme, tapi menolak federalisme secara membabi buta juga bukan hal yang etis mengingat tantangan ke depan tentu harus diantisipasi dari pada mengorbankan masa depan apa salahnya mulai mewacanakan dan mencari solusi cerdas bangsa. Bagi saya, nationalisme bisa dilakukan tidak hanya dengan unitary/negara kesatuan (dengan jumlah rakyat miskin besar, biaya demokrasi mahal) yang sering hanya digunakan alasan para elit untuk meminjam uang dari lembaga asing dengan bunga tinggi dan ujungnya rakyat yang harus membayar dnegan gagal panen, putus sekolah, dan kehilangan pekerjaan dan sebagainya akibat pemerintah gendut yang susah mengurus diri sendiri.

Sebagai kesimpulan, negara di era ‘responsible sovereignty’ yang mana suatu negara akecil adalah bagian dari tata dunia international yang harus berkontirbusi kepada upaya peace building sebagaimana amanah deklarasi of human right, pembukaan UUD 1945. Selain itu tiap negara harus berhasil memenuhi standar minimun pelayanan kepada warganya sehingga tidak masuk dalam kategori weak atau failed state yang menjadikan ancaman tidak hanya bagi pemerintah dan warga negara dalam negeri sendiri tapi juga bagi negara lain dalam berbagai bentuk terorisme (Baca power and responsibility karya Bruce Jones,Carlos Pascual, & Stephen John Stedman,2009). Jadi semakin besar suatu negara semakin besar tanggung jawab ekosospolnya, dan perlu dimengerti bahwa negara kecil bukan berarti lemah tapi justru enting dalam tata dunia global atau era global social contract (Kant [year], Hobbes 1561).

Oahu, Nov 9.2010

0 Response to "Kecil tapi Kuat, Negara masa Depan"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme