Negara Jatuh-Bangun, Elit [Justru] Naik Daun

By David Efendi, Pekerja Perusahaan ‘Kompor’ Swasta

banjir bandang ana ngendi-endi gunung njeblug tan anjarwani,
tan angimpeni gehtinge kepathi-pati marang pandhita
kang oleh pati geni marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti
12914879581848429320
Gambaran paradoksal negeri ‘zamrud katulistiwa’ yang sedang mengarah kepada kegagalan negara sangat apik digambarkan dalam ramalan jaya baya beberapa ratus tahun lalu. Jayabaya menggambarkan kontradiksi dan ironisme dalam sajak-sajak yang menusuk, menjadikan mawas dalam tembang zaman edan. Peramal legendaris ini memberikan angin segar bagi yang tidak edan dan senantiasa waspada ditempatkan sebagai manusia yang paling beruntung. Hari ini, khususnya pejabat dan penikmat insentif dunia, menjaga tetap waras saja akan sangat sulit apalagi menularkan kewarasan.

wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil
sing ora abisa maling digethingi sing pinter duraka dadi kanca
wong bener sangsaya thenger-thenger
wong salah sangsaya bungah akeh bandha musna tan karuan larine
akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe
(bait terakhir ramalan Jayabaya, year)
Apa yang ditulis Jayabaya sudah terbukti dan sedang dipraktikkan sejarah manusia Indonesia. Bumi berguncah dan penguasa tetap dalam keadaan lena. Penegakan hukum hanya berlaku kepada rakyat kecil dan gayus serta bos-nya Gayus tidak tersentuh. Koruptor banyak teman sementara orang jujur tergadaikan dengan kejahiliyahan modern. Mentalitas pemimpin dari pengabdian kepada rakyat bergeser menjadi siapa cepat dia dapat, siapa yang pintar bermain akan mendapatkan yang besar dari roti perekonomian Indonesia.
Kita bisa saksikan, ketika 40 juta rakyat di bawah garis kemikinan, dan puluhan juta lainnya sedang terancam masuk dalam jurang kemiskinan. Kebijakan pemerntah belum mengarah untuk menolongnya bahkan berbelok arah ke haluan lain yang menjauhi rakyat. Rakyat yang bertahan hidup sejatinya sedang menolong negara tapi negara memberlakukan prinsip ditulong mentong artinya negara melakukan pembiaran kepada rakyatnya yang dihempas badai bencana dan krisis yang beratnya se-gunung bromo dan panasnya seperti sengatan awan panas merapi, merasuk sampai ke tulang. Itulah rasanya kemiskinan.

Sayang sejuta sayang, penguasa tetap dimabukkan jabatan, pergi ke luar negeri hendak belajar kitab etika, sementara TKI ditelantarkan, rakyat dibiarkan nestapa dihancurkan masa depannya, dihina derajatnya di belahan bumi arab, atau malaysia sama saja. Agama sudah musnah hanya jadi perhiasan, Kota arab kota nabi tapi generasinya tidak lagi mengikutinya perbudakan terjadi di negara yang mengklaim paling islam di Arab dan di Malaysia begitu juga di Indonesia. Zaman akhir, tanda kiamat sudah dekat.

pancen wolak-waliking jaman amenangi jaman edan
ora edan ora kumanan
sing waras padha nggagas
wong tani padha ditaleni
wong dora padha ura-ura beja-bejane sing lali,
isih beja kang eling lan waspadha


Tapi, orang tetap enggan bertobat apalagi para pejabat. Tuhan sudah mati dalam bathin meski menyalah dalam properti rumah dan santunan anak yatim. Hasil korupsi dan nepotisme dijadikan alat pencuci harta walau sejatinya itu sangat hina di mata tuhan siapa saja. Mereka percaya pada gelar dan simbul Haji tapi tidak mengerti esensi agama sebenarnya. Ilang dalan, ilang kewarasan.

ratu ora netepi janji musna kuwasa lan prabawane
akeh omah ndhuwur kuda
wong padha mangan wong
kayu gligan lan wesi hiya padha doyan dirasa enak kaya roti bolu
yen wengi padha ora bisa turu

Hi, Dec, 3. 2010

0 Response to "Negara Jatuh-Bangun, Elit [Justru] Naik Daun"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme