Never Ending Read! Membaca Itu Melawan

Oleh David Efendi

Judul note ini kebetulan saya ambil dari PIN cantik dan anggun yang diberikan oleh seorang teman dan senior di Organisasi pelajar IPM. Saya bawa pin itu dari bandara Soekarno Hatta sampai ke USA. PIN itu memberikan banyak makna selama ini sebagai aktifis yang mengkampanyekan pentingnya membaca. Di negeri ini membaca masih menjadi barang mewah untuk mengatakan hal yang langkah maksudnya. karena berbagai toko buku dibuka, perpustakaan diperlebar toh tidak membelokkan langkah sekerumunan orang untuk tidak masuk ke Mall atau theatre atau nongkrong di warung kopi. Ternyata perlu perenungan panjang mengapa tradisi oral itu tetap tegak seperti karang di laut meski bertalun-talun genderang yang mengatakan bahwa zaman sekarang adalah zaman informasi, siapa yang ketinggalan dialah yang akan luluh dilumat zaman. Ada juga yang pemerintahan Daerah kampanye pentingnya membaca untuk hidup yang lebih baik tapi di kantor pegawainya ngrokok, gosip, di tempay menunggu di halte bus tidak ada buku tersedia, di ruang tunggu kantor nihil koran atau bacaan. bagaimana ini? tanya taufik ismail. Bagaimana ini tanya sastrawan lagi dari kampung yang sama.
Pentingnya membaca, belum semua menyadarinya. Tapi setidaknya kampanye gerakan membaca itu tidak boleh dihentikan oleh apa pun dan siapa pun lantaran ada pergeseran yang besar bahwa era ini tafsir mengenai butu aksara, butu huruf sudah bergeser miliaran kilometer yang awalnya didasarkan pada kemampuan membaca dan menulis kini adalah didasarkan sejauh mana orang bisa memanfaatkan kemampuan membaca menulis tersebut untuk mengembangkan diri dan lingkunganya. Bisa membaca tapi tidak untuk membaca, lalu dimana letak kesukuran atas karunia membaca itu? Dalam al-Qur-an jelas tersebut perintah dengan bertalu-talu kepada ummat manusia: Iqro!, artinya bacalah. Bukan belajarlah membaca lalu tidak perlu membaca kalau sudah bisa membaca.

Menyambung tulisan sebelumnya, ada tambahan baru bahwa saya haqqul yakin dengan tesis kebudayaan membaca dan menulis mempunyai korelasi yang positif dengan pertumbuhan kualitas demokrasi di negara berkembang atau maju. kira-kira rumusan hipotesisnya begini: semakin tinggi minat baca tulis rakyat, semakin demokratis negara tersebut. Hal ini sejalan dengan kata seorang pejuang revolusioner yang saya lupa namanya; “jika semua rakyat membaca, penguasa, pendeta, raja, tidak akan mampu melawan kedaulatan kata” artinya bahwa tradisi membaca dan menulis itu akan menghindarkan rakyat dari rezim dzalim, korup, otoritarian, dan sejenisnya. APakah ini tidak menjanjikan bahwa demokrasi akan subur, demokrasi yang mensejahterakan dan bukan quasi demokrasi yang serba fatamorgana, serba image, serba wacana tentang mimpi-mimpi pertumbuhan ekonomi makro yang hanya diketahui dan dinikmati segelintir elite yang berada dalam pusaran kekuasaan.

Kita tengok sekarang, buka lebar-lebar mata kita. Adakah bangsa yang maju tanpa memiliki kebudayaan membaca dan menulis?ADakah bangsa modern yang ketinggalan dalam karya keilmuwan dalam kebudayaan buku dan media massa cetak? India dan China sedang menumbuhkan pusat-pusat kebudayaan yang jantungnya dalam dunia pendidikan. India membeli izin cetak buku ke berbagai universitas di Barat agar biaya produksi bisa ditekan dan rakyat bisa mengakses secara luas dan leluasa tanpa merasa tidak mampu membeli. Di Hawaii disini yang kampusnya sudah melimpah bahan bacaannya masih membangun hawaii state library yang besarnya mungkin dua kali lipat mall ambarukma plasa di Yogyakarta. APalagi yang mesti kuperbuat untuk meyakinkan diri kita? Tengok sejarah Mesir, Turki Usmani, tengok peradaban yang brilian di abad pertengahan termasuk di Roma memiliki perpsutakaan yang dahsyat setidaknya saya bisa melihat dalam film angel and demons atau davinci code dari buku Karya Dawn Brown.Itu…minjam pak Mario Teguh.

Agar tidak lupa ingatan, saya juga pernah mengikuti seminar sastra di Universitas Gadjah Mada sekitar tahun 2008 yang mendatangkan Max Lane yang merupakan penerjemah buku Pramudya Ananta Toer yang lalu terkenal di berbagai belahan dunia itu. Dia mengatakan dengan keras dan menohok titik pusat kesadaran kita (pinjam bahasa buya syafii) tentang keluhan dia bagaiamana bisa, Pram dan Soekarno, Hatta karyanya dibaca diberbagai perguruan tinggi di Barat, tapi di negaranya sendiri tidak diminati. Bagaimana ini, ini bagaimana? pinjam kata Taufik Ismail lagi.
Max Lane menyayangkan betul, jumlah eksemplar dan karya anak bangsa yang tidak dihargai di dalam negerinya sendiri. Karya luhur seperti di bawah bendera revolusi itu, katanya hanya 1% penduduk Indonesia yang membaca. Ini menjadi halangan terberat bagi bangsa ini untuk maju, karena tidak ada penghargaan bagi karya founding fathers-nya.
Sebagai catatan, memang mengkampanyekan membaca tidaklah mudah, kadang tenaga dan energi finansial tidak sebanding dengan hasilnya yang masih suram. Potret bangsa ini akan terus dalam gulita selagi orang, pemerintah, politisi, pengusaha tidak berpihak pada upaya mencerdaskan bangsa dengan emndirikan pusat-pusat kebudayaan seperti perpustakaan publik. Pengusaha, politisi, mungkin takut akan kehilangan kekuasaan dan kesempatan ekspolitasi jika rakyat menjadi cerdas karena membaca. Paradigma itulah sebenarnya kolonialisme terhadap hati nurani yang layak kita musuhi dan singkirkan sampai disudut kerangjang sampah peradaban. Mereka, yang berkuasa, dan tidak punya political will untuk mencerdaskan bangsa dengan membuat anggaran yang lebih untuk mencerdaskan anak negeri, merekalah penjahat peradaban yang nyata adanya dan wajib kita perangi. Mereka itu, tidak rela anak bangsa ini cerdas dan bangkit dari segala penindasan!

Bersambung…
Hawaii, EWC Lab,over the night
June 28,2010

0 Response to "Never Ending Read! Membaca Itu Melawan"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme