Senjata Orang-orang Tertindas (2)

David Efendi

“…we fought back, Ma, even though only with our mouths.”
(Minke, dalam Child of All Nations karya Pramudya AT)


Orang miskin terkena bencana alam
Gambaran betapa ‘pedihnya’ seorang penulis yang hidup di zaman revolusi dan zaman modern di mana kekuasaan dituhankan oleh kolonialis dan kapitalis diilustrasikan dalam novel Pramudya Ananta Tour. Saya yakin imaginasi Pram sangat dipengaruhi oleh situasi kolonial. Zaman ini orang kuat (strong man) dengan mudahnya memangsa kelompok miskin dan tertindas dengan segala macam cara. Penguasa baik orang Indonesia atau penjajah asing sama kejamnya, sama predator, dan sama korupnya. Bedanya majikan dari bangsa sendiri memperbanyak istri dan gundik atas nama menolong keluarga miskin sedangkan orang kaya eropa menyumbangkan hartanya untuk membangun sekolah, penelitian, dan membuat penerbitan atau media massa.

Pada era penjajahan ini nyawa orang miskin snagat berharga, hukum hanya berpihak kepada penguasa dan seringkali antara penguasa saling memangsa tergantung derajat kekuatannya. Bukti dan saksi bisa dimanipulais tergantung situasi dan kondisi. Rakyat kecil terkadang dijadikan umpan dari kebiadapan kekuasaan dan keadaan ini sampai sekarang belum berubah secara signifikat. Alat hukum hanya digunakan untuk memastikan bahwa undang-undang tidak akan menjerat penguasa dan orang kaya. Inilah yang mencelakakan pers atau pemberitaan yang jujur dan mengandung perjuangan keadilan.

Pram menggambarkan sosok Minke sebagai pribumi, kelas menengah, berpendidikan barat yang sering tidak berdaya menghadapi kekuatan para bos lokal, dan penguasa kapital yang bersekongkol dengan penegak hukum. Pers sendiri dibuat atas order penguasa dan untuk melanggengkan kekuasaan. Minke mirip dengan sosok anak muda China yang mempunyai kecintaan tinggi terhadap bangsanya tetapi pemikirannya tidak dihargai bangsanya sendiri. Orang china di Indonesia zaman refolusi banyak yang pragmatis dan oportunis begitu juga pejabat pribumi yang nyaman berada di ketiak penguasa kolonial. Minke bisa saja menulis kebenaran dan berfikir merdeka, tetapi untuk memaksa orang membaca pikiran dan fakta yang ditemukannya dibutuhkan bukti dan saksi. Orang-orang miskin sangat lemah untuk dijadikan saksi apalagi bukti karena mereka akan terancam masa depan kehidupan dan keluarganya. Mereka bisa menderita selamanya akibat menjadi saksi.

Zaman itu ada juga beberapa orang mengorganisasi massa melakukan perlawanan di sekitar pabrik gula di Tulangan Sidoarjo. Kalau tidak salah dimpimpin seorang Kyai dan dihukum mati oleh penguasa tanpa peradilan. Begitu juga penulis novel yang menceritakan ini, Pramudya, juga dihukum tanpa peradilan pada zaman Belanda dan zaman orde baru. Inilah cerita dalam cerita, kesedihan dalam kesedihan seperti kisah seribu satu malam. Di mana saja, dan kapan saja, seolah dikepung oleh bandit di mana kekuasaan menjadi panglima dan kebiadaban dibenarkan oleh hukum. Petani kecil, rakyat miskin korban pemerasan sering dianggap powerless tetapi kenyataan membuktikan orang miskin tidak selalu diam mereka melawan dengan ekspresi diam seperti halnya Trunodongso melawan tunduk terhadap pemotongan biaya sewa tanah rakyat yang paling subur dengan biaya yang disunat, lalu diikuti anaknya Surati yang melakukan tindakan bom bunih diri dengan memberikan dirinya yang terserang cacar (smallpox) dipelukan bos korup dan brandal, Plikemboh alias ….yang akhirnya mati dimakan cacar. Ini adalah senjata biologi orang lemah yang pernah direkam dalam sejarah oleh Pramudya. Senjata orang miskin yang mematikan.

Dalam novel Pram, Anak Semua Bangsa, mengkisahkan bahwa antara orang miskin dan penulis berada dalam sama-sama derajat yaitu powerless dalam struktur kekuasaan tetapi mereka terus mencari cara untuk merubah minimal menancapkan dalam pikiran bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah kebenaran dan bukan kebiadaban sehingga ada usaha untuk melawan dan terus melawan bagaimana memberitakan kepada dunia dan masyarakat bahwa ada ketidakadilan, ada kesewenangan terhadap kaum lemah khsuusnya petani dan pemilik tanah yang dirugikan oleh kaum korup dalam skandal pabrik gula, kepala desa, camat dan sebagainya yang bersekongkol dalam menjaga kekuasaanya. Menulsi memang untuk keabadian tetapi sangat berat untuk diperjuangkan dari detik-ke detik selalu dihadapkan kepada ketakutan, terror dan kematian.

Tetapi, menulis adalah keunggulan peradaban tetapi juga kebengisan peradaban dalam hukum-hukum yang dibuat oleh orang cerdik pandai selalu mengkebiri kemanusiaan orang lemah. Untuk itulah pendidikan tinggi dari Barat tidak selalu memberikan kebaikan bagi pribumi bahkan menjadikan standar morlaitas semakin kabur dan larut. Orang pandai hanya untuk menciderai kaum miskin. Tetapi, ada keyakinan bahwa menulis adalah senjata orang lemah yang paling berbahaya baik bagi penulisnya atau bagi penguasa. Hal inilah yang menjadikan kebebasan pers terus dimata-matai oleh pemerintah dan penguasa tidak peduli di negara miskin atau kaya, demokrasi atau bukan.

Winter break, Dec 19, 2010

0 Response to "Senjata Orang-orang Tertindas (2)"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme