Arogansi Kekuasaan

by David Efendi on Sunday, January 9, 2011 at 4:05am



"L'État, c'est moi" ("Negara adalah saya") 
---Louis XIV dijuluki juga sebagai Raja Matahari, Perancis

Orang atau segerombolan orang menjadi sombong (arogan) ketika mempunyai kekuasaan (power). Mereka bisa memaksakan kehendak karena punya modal kuasa dan mendominasi alat kekerasan secara 'sah'. Mereka, setelah mengantongi kekusaan baik legitimasi tradisional, karismataik atau legal-formal, lalu merasa sudah memiliki otoritas (authority) untuk bertindak atau tidak bertindak terhadap isu sosial tertentu atau kepentingannya. Jika kekuasaan itu melekat sebagai pejabat pemerintahan maka kekuasaan itu berarti kemampuan untuk berbuat, tetapi kemampuan itu tidak selalu digunakan secara tepat. Dalam banyak hal, misalnya, negara mampu membela hak kaum tertindas tetapi mereka berbuat bukan untuk itu. Mereka digerakkan untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan kelas tertentu (baca: kapitalis).

Persoalan pertama muncul akibat kesenjangan pemahaman yang sangat besar antara pemerintah dan yang diperintah mengenai apa itu sebenarnya 'kekuasaan', dan 'jabatan politik' lainnya. Para politisi terpilih dalam pemilu meyakini bahwa kekuasaan adalah bagaimana untuk mendapatkan apa dan dengan siapa akan mempercepat tercapainya tujuan utama. Sementara rakyat atau konstituen berfikir bahwa politik adalah sarana mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa dan negara dengan memperjuangkan kebutuhan rakyat. Para penguasa berhutang budi kepada para sponsor dalam pemilu sehingga 99% upaya dan daya digunakan untuk membalasa budi para investor politik secara setimpal atau bahkan lebih baik lagi jika berkeinginan menjago lagi dalam pemilu berikutnya. Rakyat yang terlalu berharap lebih, bisa menderita kecele yang sangat besar.

Kekuasaan itu punya wajah janus. Artinya, jika dipegang dan dikendalikan oleh orang yang tepat dan menjaga amanah rakyat tentu kekuasaan bisa berbuah kesejahteraan. Sebaliknya, apabila kekuasaan mutlak itu dimiliki individu atau kelompok banidt, preman baik berkerah putih atau biru maka kekuasaan itu cepat atau lambat akan merusak sendi-sendi masyarakat sipil. Di tangan pihak ini kekuasaan menjadi angker, berdarah dingin, dan sangat arogan.Ini kemudian memunculkan model pemerintahan totaliter, kleptokrasi, dan predator state, meskipun jargon yang digunakan adalah demokrasi sebagai syarat akreditasi dunia international dan akses mencari pinjaman (hutang) luar negeri.

Pertanyaannya, siapakah aktor 'jahat' itu? bukankah negara ini dikuasasi oleh intelektual dan golongan cerdik pandai dengan kredibilitas pengetahuan, teknokrasi, yang jauh melampau pemimpin bangsa setengah abad yang silam? Mengapa tidak ada tanda-tanda perbaikan sedikit pun? Jumlah kemiskinan semakin meningkat dan semakin parah di berbagai lini kehidupan.

Arogansi kekuasaan ternyata berada tidak jauh dari peran serta kaum intelektual atau cendekiawan dan profesional. Mereka atas nama legitimasi pengetahuan ikut menjadikan rakyat sengsara sebab pengetahuannya digunakan untuk mengabdi kepada penguasa dan penguasa mengabdikan dirinya kepada kekuasaan global yang bernama kapitalisme itu. Jejaring penghambaan berakhir kepada runtuhnya kemanusiaan rakyat yang notabene pemilik kedalutan negara. Golongan intelektual menjadi parasit bagi orang miskin sehingga di sinilah letak arogansi intelektual mulai dibenarkan. Dalam term Benda, disebut sebagai pengkhianatan intelektual (the betrayal of intelectual).

Mereka, kaum cendekiawan mendukung kebijakan neoliberal, mendukung pengrusakan likungan dengan riset dan survey, menolak kearifan lokal dan menganggap local value sebagai local stupidity, dan sebagainya. Barat telah mengubahnya emnjadi anti nilai-nilai luhur aseli bangsanya dan menjadi silau untuk mendapatkan kepuasan intelektual jika mampu merubah pikiran rakyat.
Kasus ini membenarkan Faucolt bahwa pengetahuan itu tidak netral dan pengetahuan yang bersekongkol dengan kekuasaan yang dzalim dan tidak berdikari akan menghasilakan dampak jangka panjang atas penderitaan rakyat. Para lulusan luar negeri, menjadi kelompok think thank yang destructif baik dalam mafia berkeley, atau geng colombus atau Ohio yang sering kita dengar. Mereka saya sebut sebagai intelectual hit man dan mempunyai arogansi melebihi pengausa itu sendiri. Dengan legitimasi jebolan universotas hebat menjadikan bisa berbuat apa saja, dalam kuantifikasi nasib rakyat melalui angka-angka yang tentu saja hanya angka dan tidak mampu menjelaskan batas etika, nilai, dan penderitaan rakyat.

Jika golongan kelas menengah terdidik ini menjadi pejabat, dia kita sebut teknokrat. Tekhnokrat selalu mengidab penyakit pemuja developmentalisme, modernism dan pro privatisasi yang berujung kepada ketidakberadayaan negara untuk memproteksi rakyat dari kejahatan pasar (invisible hand) yang tidak lain tidak bukan adalah sistem kepercayaan yang menuhankan materi. Privatisasi hasil pikiran tekhnokrat, tidak kurang dan tidak lebih hanyalah order kelompok kapitalis nasional dan global dalam rangka akumulasi kapital. Dalam kata lain, privatisasi adalah menyerahkan kesejehteraan dari rakyat kepada swasta--kaum pemodal. Di samping itu, adalah upaya menjauhkan rakyat dari negara dan merampas tanggung jawab negara sebagai penyedia jaminan sosial bagi rakyatnya.

Jadi, arogansi intelektual ini sekarang menjadi sumber persoalan. Orang belajar tinggi-tinggi bukan untuk rakyat, orang meraih gelar profesor bukan digunakan untuk menolong kesengsaran umum, memberdayakan yang lemah, dan memberikan pancing bagi yang tidak bekerja, atau mengajarkan berhitung bagi kelompok tertindas, dan sebagainya. Orang mendapatkan pengetahuan hanya digunakan untuk bemper penguasa, dan mendapatkan imbalan secukupnya untuk melanggengkan ketidakadilan sosial. Pendek kata, bencana terbesar adalah akibat dari penolakan kaum intelektual terhadap nilai-nilai kemanusiaan secara praktis, yaitu ketika kaum terdidik ini menjauhkan diri dari rakyat tertindas.

Keywords: Politik, power/knowledge, Demokrasi, Partisipasi, propublik, republik, predator state, penghkianatan intelektual

0 Response to "Arogansi Kekuasaan"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme