Sampai mana Perburuanmu?

---Catatanku tentang ‘gerakan ilmu’[2]

Oleh David Efendi)*
“Tanpa membaca, peradaban kelam, langit hitam, dan kemanusiaan pun akan tenggelam”


Waktu TK ABA di Lamongan saya sama sekali saya hanya mengenal gambar-gambar ditempel di dinding dan buku cerita yang sangat tua kalau tidak dikatakan butut. Di madrasah saya, tidak disediakan perpustakaan atau ruang baca, di mushola dan masjid hanya ada kitab al qur-an yang umurnya lebih tua dari kebnayakan anak seusia saya bahkan sangat tua sampai warnanya mirip tanah terbakar. Menginjak memasuki smp saya melihat ada perpustakaan, tetapi hanya buku dari pemerintah saja alias buku paket dan saya tidak tertarik. Saya bersukur ada majalah kuntum yang waktu itu saya diberitahu pak guru bahwa yang membuat adalah pelajar Muhammadiyah di Yogykarta. Saya tidak kebayang di mana Yogyakarta itu lokasinya. Kita tidak bisa membaca di rumah hanya membaca di sekolah karena jumlahnya terbatas.

Ketika saya beranjak ke SMA di Lamongan, saya melihat perpustakaan besar tetapi sebagian besar memang buku mata pelajaran tetapi ada beberapa hanya saja kita dibolehkan ememinjam selama seminggu, dan jika terlambat dendanya 500 rupiah. Tahun 2002, saya belajar bahasa inggris di Pare dan tinggal di ponpes Darul Falah, ada perpustakaan punya tokoh islam di sana yang konon dulu dipakek Geertz meneliti. Tidak heran, jika di perspustakaan itu sebagian besar bukunya bahasa inggris, jerman, dan perancis serta bahasa belanda. Saya hanya bisa membaca judul-judul bukunya saja. Saya menyesal kenapa tidak serius belajar bahasa inggris sehingga saya hanya berhenti membaca cover buku saja.  Setahun kemudian saya masuk sebagai mahasiswa UGM, di sanalah saya menemukan perpustakaan raksasa yang tidak ada bandinganya selama hidup waktu itu, kita bisa meminjam 3 buku dan maksimal dua minggu. Saya sudah senang karena ada beberapa perpustakaan dan bisa pinjam di beberapa tempat baik di fakultas, jurusan, atau fakultas lain.


Kelebihan tinggal di Yogyakarta, kita sama sekali tidak ada kesulitan akses buku. Jika uang gak cukup beli tentu saya biasa embaca di social agency, atau di gramedia. Di shopping waktu tahun 2003-2004 masih kayak pasar biasa dan bebas membaca tidak seperti sekarang suasananya tidak nyaman untuk membaca di depan toko. Selain, itu banyak pameran buku yang menyenangkan karena selain harga murah, kita bisa berburu buku di tumpukan buku yang dipamerkan, mencari buku bermutu dan berkualitas. Biasanya, saya sangat hobi fotokopi jika menemukan buku bagus milik teman atau perpustakaan. Saya masih ingat, teman foto kopi itu banyak selain di kampus, ada teman IPM yang selalu join kopi buku yaitu Mas Mul, Mas Danan, Kapur, Arie, Nugi, Umat Iskam, dan Mudzakkir. Sebagai nostalgia, antara tahun 2005-2008 saya merasakan nikmatnya menyeruput kopi the di kantor dengan membaca dan diskusi bersama di KH dahlan atau agus salim 64a, atau di angkringan sego kucing dengan tidak melupakan membawa buku, dan tentu saja di warung pecel lele Muallimin. Walau tidak membaca secara sunguh-sungguh di tempat umum, tapi membawa buku itu memancing diskusi, membuka pertanyaan dan menjadi Sokrates satu sama lain.

Tahun berganti, benua yang aku injak pun berubah. Dari benua asia ke benua Amerika. Saya menikmati petualngan mencari buku. Di kampus saya perpustakaan ada dua bangunan masing-masing 4 lantai dan 6 lantai. Bukunya jutaan jumlahnya saya tidak tahu. Setiap hari ramai dikunjungi mahasiswa dan masyarakat bahkan homeless biasa membaca buku sebab masuk perpustakaan tidak diminta menunjukkan student ID card. Waktu pinjam pun lama yaitu 6 bulan dan tanpa batasan jumlah buku yang kita pinjam. Ini adalah saat-saat yang aku tunggu, bisa berinteraksi dan berdialog dengan jutaan ilmuwan dalam karya-karya buku terhebat dalam sejarahnya. Saya, jika dibandingkan mahasiswa lain yang notabene berkulit putih, jauh tertinggal dalam membaca. Mereka sepertinya hanya membaca dan membaca setiap waktu aku melihatnya. Mereka tidak kesulitan emmbaca karena memang bahasa mereka, sedangkan saya sedikit terseok-seok di perjalanan membaca. Tapi, perburuan ini sudah lumayan jauh, tidak ada kata lain selain harus maju terus, no retreat no regret.

Stategi lain ketika kita tidak bisa mendapatkan akses buku adalah dengan membaca ringkasan buku yang sekarang banyak dimuat di media massa, internet, dan sebagainya. Dikusi juga sarana yang penting untuk mengunyah buku dan menjadikan kita mempunyai pengetahuan yang lebih luas dan beragam pula. Dengan demikian kita diharapkan mampu mengolanya dan saat yang tepat menuliskannya entah membantah, merevisi, atau sama sekali memunculkan ide baru yang lagir dari proses pembacaan.Membaca, sebaiknya, memang atas motivasi sendiri dan bukan karena motivasi pragmatis di luar diri kita sendiri. Mengapa demikian, karena itulah yang akan menjamin kelangsungan tradisi membaca kita dan anak cucu kita.

Kesempatan akses buku zaman sekarang sangat berbeda dengan keadaan 20 tahun yang lalu atau ketika zaman orde baru misalnya dimana sensor buku diadakan, dan kebebasan menulis juga dikekang sehingga secara langsung berdampak kepada kuantitas dan ragam bacaan yang tersebar di perpustakaan, pasar, dan media. Hari ini, taman baca dan perpustakaan berkembang pesat, di Indonesia penerboit buku luar biasa berkembang pesat tinggal kita bertanya kapan kita mulai emmbaca, kualitas buku seperti apa yang kita harapkan, atau bahkan berharap pemerintah mensubsidi buku murah. Tidak bisa disangkal lagi, kita berada di lautan ilmu. Tapi, sebagian besar kita tidak memanfaatkannya. JIka perumpamaan ayam mati di lumbung padi itu berlaku dalam kehidupan dan tradisi membaca kita tentu ini sangat ironis. 

Sekedar berbagi, saya sangat menaruh perhatian trdaisi membaca di keluarga saya di mana saya mengalokasikan anggaran yang 'besar' untuk membeli buku ketimbang membeli barang lainnya. tepat dua bulan setelah anak saya lahir, Hafiz, saya dan istri membelikan kado untuknya buku dari Mizan yang kata banyak orang too expensive. Dan nampaknya anak saya merasakan kehebatan buku itu dan menekuni setiap hari berinteraksi dengan buku. Kado ulang tahun istri, tidak ada yang istimewa selain buku bacaan. Dengan uang sebesar 9 juta saya habiskan membeli buku pada tahun 2008. Selain buku untuk rumah baca ada juga buku yang siap dijual. Idealisme masih kuat, saya akhirnya mewujudkan rumah baca di desa saya diliahirkan tetapi antusiasme warga tidak dapat membahagiakan diri saya sehingga saya merasa terus tertantang. Saya juga memberikan buku ratusan mungkin kepada guru di Sedayu dan di Modo,. Lamongan agar dapat dimanfaatkan sedemikian rupa. Waktu saya di IPM saya mempunyai ambisi gerakan hibah buku nasional tetapi kurang menggigit lantaran kesibukan saya pribadi dan lemahnya tim yang ada. Walau demikian ratusan buku berhasil dikumpulkan dan didistribusikan ke beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Jember, dan Lamongan.

Hanya disini saya berhasil menjumpai, bagaimana 24 jam dalam seminggu, 30 hari dalam sebulan perpustakaan tidak ada tutupnya dan tidak ada kekurangan pengunjungnya. Namanya Library Hamilton dan Sinclair Library. Keduanya ada di University of Hawaii, USA dimana saya sedang menempuh study master saya. Suasana tenang dan nyaman begitu terkesan saya di lingkungan library, banyak teman, dan juga sumber bacaan yang tidak terbatas, jika kita butuh referensi apa saja semua tersedia, mulai buku abad pertama manusia mengenal tulisan sampai buku mutkahir yang keluaran terbaru dengan wacana paling up date di bumi. Subhanallah, lautan buku ini menguji nyali saya: apakah terus membaca atau mati di dalam tumpukan ilmu.

Tidak ada hari tanpa membaca. Itulah kesimpulan umum saya. Saya juga tidak mensia-siakan waktu bercengkerama dengan buku setiap hari. Paling tidak 6 jam membaca sehari lumayan bisa membantu mengerti dunia. Di sisni, di gedung-gedung library di sini anehnya tidak saya temukan motivasi membaca atau peringatan agar menjaga buku. Mungkin lantaran manusianya sudah sadar fungsi sesungguhnya buku ditulis. Berbeda dengan di Indonesia, plakat motivasi membaca menempel di banyak sudut library. Suatu hari di tahun 2007 saya ke perpustakaan pasca sarjana UGM, utara Graha Sabha Pramana, tertempel lukisan besar bertuliskan: Banyak baca banyak lupa, tidak baca tidak lupa. Aku tidak sulit memahami sindiran itu, tetapi setahu saya kebanyakan kita ya masuk golongan tidak baca tetapi merasa bisa dan mengerti. Ini repotnya. 

Salah satu manfaat membaca, sekiranya, adalah menjaidkan kita berproses tiada henti dari learn-unlearn-learn, atau meminjam buku yang ditulis Donals Rafsfled (2011), mantan sekretaris pertahanan USA yang diberikan judul known and unknown. Ini juga berasal dari kegiatan membaca sehinga kita tahu bahwa kita tahu, kita tahu bahwa kita tidak tahu, kita tidak tahu bahwa kita tahu, dan jangan sampai yang paling parah terjadi akibat kita ogah membaca yaitu orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.

Untuk menutup catatan ini saya akan mengutip dan mengadopsi kata Alfin Tofler,
" The illiterate of the 21 st century will not to be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn and relearn." Bahwa buta aksara zaman sekarang bukanlah orang yang tidak bisa membaca dan menulis, melainkan orang yang tidak mau membaca dan menulis sebagai pekerjaan utama manusia dalam memahami dunia sekitar dan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Fatalisme modern, adalah ketika orang menolak belajar yang diawali dari penolakan terhadap tradisi membaca dan menulis. Mari membaca untuk mengubah dunia!

0 Response to "Sampai mana Perburuanmu?"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme