Album BersamaTragedi Kekuasaan Pak Beye

Disusun Oleh David Efendi

Judul awalnya tulisan ini, “Satoe Tahun dibawah Kekuasaan “Orde Cikeas”, lalu diubah jadi ” Setahun Tragedi Kekuasaan Pak Susi” kurang mantab lalu begitulah… Hal ini didorong oleh ‘keinginan luhur untuk merangkum berbagai pendapat baik yang pembela pak beye atau pembela rakyat. Jika ada yang belum lengkap silakan dilengkapi dan jangan lupa diposting lagi di kompasiana. Berikut saya rangkumkan refleksi dari berbagai perspektif mengenai jalan mundurnya pemerintahan Pak Beye yang melanggar konstitusi UUD 1945 terutama pasal 33. Inilah pandangan-pandangan sebagain anak bangsa silakan dinilai kejujurannya. (maaf saya tidak sampai hati menyampaikan keberhasilan pak beye karena hal tersebut akan dilaporkan oleh para jubir, pembela pak Beye baik dengan kebohongan atau secara membabi buta. Ini mungkin lebih tulus tanpa tendensi ingin berkuasa.
“Setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono diharapkan membawa perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setahun lalu masyarakat begitu yakin bahwa pasangan pemimpin ini akan membawa suasana yang lebih baik. Kenyataannya, situasi sosial ekonomi tidak lebih baik. Terorisme, kekerasan umat beragama, keamanan warga yang rendah, sampai tingkah laku elite yang semakin hari semakin membuat gerah. Situasi perekonomian juga dapat dikatakan tidak mengalami perubahan membaik. Ini semua yang membuat rakyat semakin apatis terhadap kemampuan yang dimiliki jajaran pemerintahan kali ini.” (Benny Susetyo, Sekretaris Dewan Nasional Setara)

“Ketimpangan sosial di negeri ini sangat tinggi. Paling tidak, hal ini tecermin dari perkiraan kasar Kepala BPN Joyo Winoto bahwa 56 persen aset negeri ini hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk (Dikutip oleh Prof. Dr. Kacung Marijan, Kompas, 4 Oktober 2010).
“Empat angka merah itu diberikan untuk kinerja SBY menyangkut hubungan internasional, kinerja ekonomi, kinerja hukum, dan kinerja politik. Agustinus Budi Prasetyohadi, Direktur Strategi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyatakan bahwa nilai paling buruk SBY ada pada kinerja hubungan internasional. Hal ini terlihat dari buruknya penanganan hubungan Indonesia-Malaysia.”Konflik Indo-Malay yang buat tidak puas. Misalnya masalah tukar nelayan, penyiksaan TKI, dan sebagainya. Pemerintah dianggap lemah terhadap Malaysia yang lebih kecil,” (Kompas.com)

“Negara yang korup dan manipulatif terhadap nilai-nilai cenderung mendidik masyarakat bermental instan, egoistis, dan materialistis. Masyarakat pun menganggap nilai yang benar adalah nilai yang menguntungkan dalam jangka pendek.Sikap pragmatis itu mendorong masyarakat meyakini kekerasan sebagai pilihan untuk menyelesaikan persoalan. Masyarakat berderap-derap melakukan demi bertahan hidup.Negara kehilangan martabat karena mangkir dalam berbagai persoalan publik. Negara telah kehilangan watak solider dan menjadi soliter (terasing dan menyendiri) karena kuasa kapital.” (INDRA TRANGGONO, Pemerhati Budaya dan Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa; Tinggal di Yogyakarta)


“Tingkat kemiskinan versi Badan Pusat Statistik yang relatif masih tinggi, 31 juta orang di bawah garis kemiskinan, merupakan salah satu tolok ukur luasnya kondisi rawan pangan di Indonesia. Bahkan, pada kasus yang ekstrem, tingkat kemiskinan Provinsi Papua mendekati 40 persen. Hampir separuh dari rakyat provinsi ini miskin meski sudah dikucurkan dana Otonomi Khusus tidak kurang dari Rp 29 triliun. Namun, tingkat kemiskinan yang sebenarnya jauh lebih luas. Kementerian Kesehatan yang mengukur dengan cara lain menemukan, tidak kurang dari 76 juta orang masuk kategori miskin, rawan kesehatan, dan rawan pangan.” (Didik J Rachbini, ekonom)

“Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida menyatakan bahwa dalam evaluasi kinerja pemerintahan SBY dan Boediono selama satu tahun ini di bidang pemberantasan korupsi justru lebih parah ketimbang rezim Soeharto”Soeharto kita benci karena diktator dan korupsinya, tapi sekarang di era SBY kita sedang membiarkan korupsi dalam skala besar di berbagai belahan Indonesia,”. (kompas.com)
“…Presiden sibuk meningkatkan citra politiknya dengan berbagai cara, termasuk merekam dan menyebarluaskan lagu-lagu ciptaannya. Politisi ribut soal perebutan kursi di kabinet, pimpinan DPR RI dan Komisi III DPR RI berebut dekat dengan calon Kapolri. Kekuasaan seakan tak ada kaitannya dengan nasib rakyat, kesejahteraan rakyat, dan rasa aman masyarakat.Penyelenggaraan negara juga berjalan apa adanya, seolah tidak ada persoalan kritis yang perlu ditangani. (Ikrar Nusa Bakti, LIPI)
“Di samping perubahan-perubahan menggembirakan, terlihat juga perubahan yang menunjukkan kemunduran. Paling mendasar dari gejala ini adalah bertambah besarnya jumlah anak-anak miskin yang tidak mampu bersekolah. Persentase penduduk miskin masih sangat tinggi dan karena itu persentase siswa-siswa yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya—karena kemiskinan—juga sangat tinggi. Jumlah sekolah telantar dan memprihatinkan masih banyak di sejumlah daerah dan tidak ada tanda-tanda pemerintah turun tangan.” (Mochtar Buchori, Kabinet dan Pendidikan.)
“Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia menilai pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono - Wapres Boediono gagal total setelah enam tahun memimpin. Penilaian itu didasarkan atas kajian terhadap enam sektor yaitu hukum, kesehatan, ekonomi, pangan, energi, dan pendidikan.Di bidang kesehatan, mahasiswa menilai jaminan kesehatan masyarakat gagal diimplementasikan. Di bidang pendidikan, terjadi komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Di bidang lingkungan, kerusakan lingkungan merajalela sehingga memicu bencana.” (Kompas.com)

“Jika Presiden Cile rela begadang tiga hari tiga malam menunggui penyelamatan para petambang, Presiden Yudhoyono hanya berkunjung selama tiga jam di Wasior! Presiden dan para orang dekatnya juga seakan meremehkan bencana Wasior dengan menyalahkan ”hujan” sebagai penyebab bencana dan bukan pembalakan liar, dan mengecilkan jumlah korban dibandingkan dengan bencana tsunami di Aceh, 24 Desember 2004. Tanpa sadar, para petinggi negara ini telah melakukan diskriminasi rasial!( Ikrar Nusa bakti, Sebelum Prahara).
“Batal ke Belanda, Pak Beye ikut menonton pertandingan PSSI melawan Uruguay di Stadion Senayan (8/10). Padahal, 4 Oktober pagi terjadi banjir bandang di Wasior, Papua Barat. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton bergegas mengirimkan surat ikut berdukacita kepada Presiden pada 6 Oktober. Sampai saat itu, Pak Beye belum memberikan pernyataan langsung terkait bencana Wasior. Semoga ironi atau tragedi pencitraan tidak terus berlanjut ke tahun kedua. Salah-salah, rakyat makin rindu pada sosok semacam SBP: Sebastian bin Pinera, yang pencitraannya dekat dan tulus kepada rakyat.” (EFFENDI GAZALI, Satu Tahun Tragedi Pencitraan)
“Dalam hal perlindungan pada produksi dalam negeri, pemerintah perlu memberikan perhatian pada ekonomi domestik. Sekarang ini, impor kita murah sehingga mematikan produk dalam negeri. Kalau impor mahal, orang pasti akan beli barang produksi dalam negeri,” (Aviliani)

“…angka kematian ibu masih bertengger pada 228 per 100.000 kelahiran hidup (2007), masih jauh dari target 102 tahun 2015. Angka itu setara dengan tiga pesawat jumbo yang penuh ibu hamil jatuh dan membunuh semua penumpang tiap bulan.Sayang sekali, kematian para ibu tersebut masih dinilai sebagai kematian biasa, tidak ada berita dan upaya besar yang dilakukan. Program jaminan biaya persalinan semua penduduk tahun depan sangat bagus. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kecukupan dan ketidakbocoran dana. (Hasbullah Thabrany, Pembenahan Strategis Belum Tampak)
Menurut World Food Programme (Program Pangan Dunia) 2010, indeks kelaparan global Indonesia masuk kategori serius. 

“Sekitar 14,7 juta orang kurang gizi dan prevalensi anemia pada anak dan perempuan tinggi. Dari 245 juta penduduk, 35 juta orang berpendapatan kurang dari 65 sen dollar AS atau Rp 6.000 sehari dan 127 juta orang kurang dari 2 dollar AS, setara dengan subsidi sapi di Eropa. (Rachmat Pambudy, Hak dan Kewajiban atas Pangan)
“Sebagai seorang kepala negara berlatar militer, SBY diharapkan mengirimkan pesan tegas, sedikit menyentil arogansi Pemerintah Malaysia, dan meningkatkan harga diri bangsa. Namun, harapan itu tak kesampaian.SBY seharusnya bisa menangkap pesan penting dari serangkaian protes rakyat, baik berupa demonstrasi di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, inisiatif warga membentuk kelompok anti-Malaysia, maupun—barangkali—ratapan veteran pejuang yang merasa dipecundangi dengan isi pidato yang tak mencerminkan semangat nasionalisme pejuang.” (Kurniawati Hastuti Dewi, LIPI)

“Harian Kompas menurunkan dua berita yang penting, di bawah judul ”Negara Seakan Tak Hadir” dengan mengutip pendapat Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, bahwa ada jarak yang kian lebar antara komitmen politik dan pilihan tindakan kekuasaan (negara) dalam pengurusan kehidupan publik.Rakyat berada dalam situasi batas menakutkan dengan ketidakpastian perlindungan sosial, politik, dan ekonomi memadai dari negara. Selama sebulan terakhir kesaksian kritis ini mendapatkan pembenaran yang tidak terelakkan.” (Max Regus, Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI; Direktur Parrhesia Institute Jakarta)
”Di Indonesia hukuman untuk Koruptor terlalu ringan. Di China, koruptor bisa dihukum mati dan masyarakat senang terhadap proses itu. Karena itu, jika tak ada ketegasan sikap seperti ini, tak ada kata jera bagi koruptor” ( Mahfud MD, Ketua MK).
Catatan: mengingat sifat penakutnya Pak Beyemenghadapi Belanda sebagai tamu, kutipan ini penting diturunkan disini melengkapi rekam jejak sang peragu ini:
“…saya pikir Presiden SBY segeralah berangkat mengunjungi negeri Belanda. Ratu Beatrix menunggunya. Sebelum abdikasi menyerahkan takhta kepada putra mahkota Alexander, Ratu Beatrix ingin menyambut kunjungan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tugasnya terakhir demi hubungan baik Belanda-Indonesia.( Rosihan Anwar, Jurnalis lima zaman)
Mengingat banyaknya kebijakan Negara yang memiskinkan rakyat dan mematikan juga kekerasan komunal kedzaliman FPI dan preman berjubahkutipan ini penting membuka kesadaran kita: “Izinkanlah saya mengutip nasihat seseorang dari lima abad silam yang paling banyak dihujat sekaligus diikuti dalam politik: Niccolo Machiavelli. ”Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji, tak peduli agama,” demikian tulisnya, ”tidak dapat disebut kegagahan. Cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, tetapi bukan kemuliaan.” (F Budi Hardiman, Politik yang Bermartabat)

“Jika tahun 2004-2009 “JK is the real president”, maka tahun 2009-sampai hari ini The Real President itu adalah Aburizal Bakri. Dia beribu kali lebih hebat dari pak Beye yang bukan presiden sesungguhnya lantaran ABR bisa menembak lebih cepat dari bayangannya”
(Depkpendi, 2010)
“Namun, kekuatan yang dimiliki pemerintahan SBY-Boediono seakan-akan hanya kalkulasi mati di atas kertas, bukan kekuatan nyata yang dapat mendukung realisasi kebijakan-kebijakannya. Oleh karena itu, meskipun dalam merespons berbagai bencana alam dan manusia (seperti Lapindo) SBY cukup sigap, tindak lanjutnya dirasakan tidak tuntas dan menyisakan masalah.” (J KRISTIADI)

“Indonesia ini seperti kampung tak bertuan. Ada pemimpin, ada elit, tapi tidak dirasakan kerjanya”
( Buya Syafii Maarif, Detiknews.com, 10/6/2010)

“Hingga 2010, hardware Indonesia demokrasi tapi software tetap Autoritarian, mabokrasi, kleptokrasi, oligarki, dan despotic.” (Defendi, Dari berbagai sumber)
Inilah kutipan dari the real president yang lebih licin dari belut dan dapat menembak lebih cepat dari bayangannya:
”Kalau wilayah taktis, kita harus lebih rileks sedikit, pandai membaca arah angin, mendesak jika diperlukan, merangkul dan memberikan ruang gerak jika memang kondisinya menghendaki.” (Aburizal yang juga Ketua Harian Setgab)
SIlakan ditambah panjang….

0 Response to "Album BersamaTragedi Kekuasaan Pak Beye"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme