Catatan Pendek: Pendidikan Kita (1)

Total Read66Total Comment2 Nihil.
David Efendi
 

By David Efendi
“…aku bertanya tetapi pertanyaan –
pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis – papan tulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan…”
(Rendra, Sajak Sebatang Lisong)

Ketika masih duduk di Madrasah seorang guru mengatakan dalam pidato tutup tahun ajaran bahwa hakikat pendidikan adalah meraih derajat kemuliaan di akherat kelak sambil mengutip ayat Al Quran Ar Ra’du 11 dan kami sebagian siswa yang mau melanjutkan ke jenjang menengah merasakan bahwa sekolah itu tujuannya jangkah panjang: akherat yang misteri. Tiga tahun kemudian ketika saya diberi kesempatan sekolah di SMA paling favorite dan paling diminati di Kota Soto, Lamongan ada semacam pergeseran yang luar biasa mengenai pemahaman makna pendidikan. karena sekolah ini negeri terbaik, guru-guru mengharapkan lulusan SMA ini diterima di perguruan tinggi negeri terbaik dan kelak mendapat pekerjaan yang baik pula. Secara sederhana, lalu otak kami sendiri harus dimodifikasi ulang dari makna pendidikan untuk akherat menjadi tujuan kesejahteraan atau kebahagiaan dunia. Mungkin orang bisa bilang, ini sekulerisasi pertama yang saya dapatkan.

Kalau di madrasah, masyarakat begitu merasa memiliki sekolahan dan sedih jika ada masalah menimpah sekolah agama yang bernama sekolah madrasah ibitadiyah Muhammadiyah yang berdiri sejak 1947 di kecamatan hanya satu-satunya sekolah yang ada waktu itu. Sekolah negara belum pernah ada sebelumnya. Dua hal yang sangat mengena dari pelajaran sewaktu itu adalah mengenai filsafat padi, semakin tua semakin menunduk sehingga guru-guru tersebut tidak menghendaki anak-anak didiknya hebat tapi lemah secara agama yang mengakibatkan kesombongan dan kekufuran. Beratus kali dalam  berbagai kesempatan guru kami mengatakan dengan meminjam dari kata hikmah bahwa agama tanpa ilmu adalah buta, dan ilmu tanpa agama adalah tuli. Selain itu, kita juga dikenalkan ‘mantra’ man jadda wajada, barang siapa bersunggu-sunggu ia akan berhasil.
Karena sekolah kami adalah sekolahnya masyarakat, tidak hanya milik warga di desa kami saja tapi lebih dari 7 desa di sekitarnya mendapatkan berkah dari sekolah islam ini sehingga nampak tidak ada antara siswa dan guru, guru dan masyarakat dan masyarakat dan siswa. taruhlah contoh, ketika ada murid satu saja mencuri mangga di sawah atau di kebun masyarakat akan mengatakan kepada guru bahwa si Ali atau si Agus mencuri mangga dan guru akan mengingatkannya atau sesekali menghukum berdiri di depan kelas atau menghafal hadis yang panjang dan lebar. Ada suasana tidak kapok sama sekali. Zaman itu, orang tidak naik kelas sama sekali tidak dianggap aib bahkan orang tua dengan sadar menerima realitas bahwa anaknya butuh lebih banyak waktu untuk belajar.

Hari ini, jika ada anaknya tidak lulus bisa protes dan kasak-kusuk kemana-mana sementara anaknya kabur tidak mau sekolah. Kenapa ini terjadi? ada apa gerangkan terkait mentalitas yang mudah marah, tersinggung, gengsi dan putus asa. Bisa jadi dugaan ini benar, manakalah masyarakat susah meterialistis, semua diukur dengan uang sehingga tidak naik kelas adalah hukuman yang sangat merugikan secara ekonomi. Selain itu terjadi distrust msyarakat bahwa bisa jadi yang salah gurunya jika anaknya gagal dalam ujian, atau bahkan orang tua yang bersangkutan tidak yakin bahwa anak-anak yang lain lebih hebat dari anaknya. Atau, guru itu hanya sentimen, murid lainnya pada nyontek sementara anaknya jujur tapi harus menerima keputusan tidak naik kelas. Bagaimana ini, ini bagaimana.

Mengenai pro dan anti ujian nasional yang acapkali muncul tahunan sebagai debat kusir dan pemerintah yang terlepas dari realitas. Kadang ada perasaan marah dan kesal sebab pemerintah konon mendengar banyak masukan dari berbagai lembaga dan perorangan, bahkan memahami protes, demonstrasi tapi tak bergeming untuk beritikad baik merubah kebijakan pendidikan yang tidak berbasis realitas. Saya ingat korban tsunami, gempa bumi, yang didarat yang dilaut yang nasibnya mengapung di udara atau yang dihimpit bumi, semua harus ikut ujian nasional tanpa ‘ampun’, tanpa empati dan simpati.
Satu pelajaran yang saya baca dari sebuah koran kampus di Universitas Hawaii at Manoa yang terbit mingguan. Salah satu edisi menerangkan kebijakan pendidikan baru khususnya di hawaii state (negara bagian USA termuda) yang memutuskan bahwa evaluasi pendidikan mengenai gagal-berhasilnya ditentukan berdasarkan evaluasi terhadap hasil ujian siswa sebesar 50% dan guru juga sebesar 50%. Hal ini mengakibatkan guru harus bekerja keras meningkatkan mutu pengajarannya dan selalu update serta kreatif. Guru juga menuntut pemerintah agar menyediakan berbagai fasilitas untuk mengajar, mengadakan training pemberdayaan guru, dan sebagainya dan sebagainya. Sementara masyarakat selalu memantai perkembangan tanpa kehilangan pemikiran kritis sehingga terlihat sekali bahwa semua aktor memberikan peran yang nyata. Ini hanya sedikit pelajaran, meski saya menulis demikian, kadang seorang guru, siswa dan orang tua di kampung saya menyeletuk, “itukan di Amerika, Mas.”. Itu yang penulis rasakan, membicarakan pendidikan kerap tak ubahnya berbicara sama tembok. Terus nada putus asa dalam diri saya menyeruak, “ya…sudahlah.!” Wallahu alam bishowab

0 Response to "Catatan Pendek: Pendidikan Kita (1)"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme