Rapuhnya Imaginasi ke-Indonesia-an Kita

David Efendi

”Qu’est qu’une nation?” (apakah yang dimaksudkan dengan bangsa?). La nation c’est la volonte d’etre ensemble (bangsa adalah tekad untuk hidup bersama). [Ernest Renan, 1882 dalam Doed Yusuf, Kompas, 12/11/2010]
“Nation is political imagined community” [Bangsa adalah kemunitas bayangan] (Ben Anderson, 1983)
“Indonesia Bangsa yang (terus) membayangkan” (Agung Y. Achmad, wartawan)
“Indonesia is unfinished nation-state” (Max Lane, 2008)

“Indonesia is weak state, failed state, …collapse state?” (anonim; Dekpendi, 2009; Wanandi, 2004)
1292434078732806129
Banyak diantara kita seharusnya menyadari betapa landasan pembentukan bangsa Indonesia adalah sangat rapuh bahkan sangat imajiner. Rapuh artinya gampang lenyap dan rusak, imajiner artinya hanya ada dalam bayangan setiap kepala kita yang merasa mempunyai bendera, bahasa Indonesia, peta, musium, dan data sensus yang sama. Tetapi zaman terus berubah, upacara saja tidak cukup, angka dalam sensus tidak menjadi persoalan dan musium sudah jarang dikunjungi lalu apa yang kita bisa jadikan landasan untuk tetap mempertahankan nama bersama yang disebut “BANGSA INDONESIA”. Ketika nasib ratusan juta manusia merana dan pejabat berfoya-foya membangun mimpinya sendiri, lalu apa kita tega memaksa rakyat tertindad untuk tetap upacara menghormati bendera dalam keadaan lapar dan dahaga sementara pemimpin upacara berada di bawah payung yang teduh dan ber AC?

Setidaknya ada dua hal yang bisa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa lebih lama. Pertama, harus ada itikad baik atau political will dari pemerintah dan rakyat bahwa kita berbeda dan karena berbeda kita bersatu untuk membangun kekuatan mewujudkan the wealth of nation. Keragaman budaya tidak bisa ditindas atau dipaksakan sebagaimana Suharto memaksa keseragaman agar semua mengarah pada pembangunan meski Suharto membangun istanah dari tumpukan hutang maka runtuhlah akhirnya. Berbeda dengan Sukarno yang menyatukan bangsa dengan karisma dan ide nationalisme, atau nasakom, Suharto ‘menyatukan’ anak bangsa dengan kekuatan militer baik di Aceh dengan DOM, atau di Irian Jaya (Papua), dan Timur Timur. Terbukti Suharto gagal karena melawan kedaulatan alam. Alam terbentuk dari kekuatan berbeda-beda begitu juga bangsa Indonesia. Soekarno bisa dibilang gagal karena terlalu menuhankan nationalism dalam bayangan sementara manusia butuh kesejahteraan butuh kedaulatan ekonomi dan pangan tidak hanya hidup dengan nationalisme.
keragaman budaya harus dihormati sehingga kasus Yogyakarta harus diakhiri dengan ungkapan makna tahta untuk rakyat dan yogykarta tetap setia kepada Indonesia meski jauh lebih tua dari Indonesia. Demokrasi liberal ala Barat tidak bisa menjanjikan apa-apa selain tatanan masyarakat yang anti-keragaman. Ingat pembentukan Amerika sangat berbeda dengan terciptanya Indonesia yang penuh kearifan lokal, nilai luhur bangsa. Amerika nampaknya tidak lebih dari kesepakatan atau kontrak politik dan sosial antara gengster untuk hidup lebih tenang dan berbagi sumber daya alam.

Ikatan kedua adalah kesejahteraan bersama. Era demokrasi dimaksudkan untuk berbagi insentif kekayaan alam, distribusi pendapatan dan kesejahteraan untuk pemilik republik: RAKYAT. Sebagai pemilik republik kedaulatan tertinggi di tangannya. Rakyat bisa membatalkan pemilu jika mau, atau membubarkan negara bangsa jika dirasa perlu. Tapii, rakyat terlalu baik untuk kita kisahkan, rakyat tidak hendak emnentang penguasa yang dipilihnya walau korupsi mereka akan tetap menanggung derita akibat pilihannya. Rakyat menjaga dirinya dan pilihannya bahkan tidak pernah memaki presidennya yang tidak amanah.
12924341001843258833Mulai tahun1999, setahun pasca Suharto lengser keprabon dikenalkannya era baru yang saya sebut sebagai the big bang of decentralisasi. Makna tersirat dan tersurat dari desentralisasi adalah mendekatkan negara kepada pemiliknya, mendekatkan kemakmuran dan kesejahteraan kepada pemilik aselinya: RAKYAT. Selama lebih dari 32 tahun negara dihakmiliki oleh sekumpulan genster, preman yang menyedot segalanya untuk perutnya sendiri. Suharto adalah kekuatan kapitalis diktator sejati yang didukung oleh strong man. Indonesia pada saat itu diperintah oleh kelompok shodow state, black kapitalis, dan informal economy. Negera dibajak dan demokrasi dijadikan alat legitimasi memeras kekayaan alam yang mengakibatkan kemiskinan menyundul langit, busung lapar, polio, dan sebagainya.

Apakah fenomena itu sudah berakhir? BELUM. Indonesia masih dibajak oleh mereka. Selama 32 tahun mereka membangun jaringan sampai ke akar rumput. Jadi, desentralisasi juga sudah ditunggangi kepentingan mereka. Jika dulu mereka bermain di pemerintah pusat sekarang mereka menyedot lebih kuat ke tulang sumber kekayaan alam dan rakyat di daerah. Raja-raja baru bermunculan pasca pilkada langsung baik dari golongan borokrat, politisi-pengusaha, atau pengusaha. Desentralisasi kesejehteraan berubah menjadi desentralisasi korupsi dan aristokrasi lama dengan cara dan teknik baru. Jika demikian, kegagalan berbagi sejehtera di depan mata sampai puluhan tahun ke depan.

Akhirnya, jika pemerintah gagal mengapresiasi keragaman daerah, jika tidak menemukan alternatif inovasi untuk menjaga bayangan ide Indonesia tetap bersemayam dalam otak anak bangsa, jika saja desentralsiasi gagal menjadi alat berbagi kemakmuran dan masa depan anak bangsa, maka sekali lagi maka bangsa kita semakin rapuh dan tidak akan lama akan tenggelam terkubur dalam debu sejarah. Ini dramatis tetapi sangat mungkin terjadi. Ini pendapat saya. Mungkin ada manfaatnya.

Hi, Dec 10, 2010

0 Response to "Rapuhnya Imaginasi ke-Indonesia-an Kita"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme